Kilas Balik Pembelian Pesawat Seulawah, Di Hotel Atjeh Soekarno Menolak Makan Malam

HARI itu, 16 Juni 1948, dalam sebuah jamuan makan malam yang diselenggarakan Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) di Hotel Atjeh

Editor: bakri
DOK SERAMBI
Anak-anak bermain sepatu roda di pelataran monumen replika Pesawat Dakota RI-001 di Lapangan Blangpadang, Banda Aceh, Minggu (7/5/2017) lalu. 

Kenangan sosok ‘Seulawah’ mengapung kembali hari ini, 16 Juni. Sebuah kenangan yang--boleh jadi--sudah  dilupakan. Hotel Atjeh tempat jamuan makan malam dengan Soekarno itu sudah hilang jejak. Tinggal tiang pancang yang oleh beberapa seniman Aceh diperingati dalam sebuah pertunjukan ‘mengenang tangis Soekarno’.

HARI itu, 16 Juni 1948, dalam sebuah jamuan makan malam yang diselenggarakan Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) di Hotel Atjeh, Banda Aceh, Presiden Soekarno angkat bicara, "Saya tidak makan malam ini, kalau dana untuk itu belum terkumpul.".

Peserta pertemuan yang terdiri dari para saudagar dan tokoh masyarakat Aceh saling melirik. Lalu salah seorang dari mereka bangun. Seorang pria muda, berusia sekitar 30 tahun. Dia saudagar. Namanya  M Djoened Joesof.

"Saya bersedia," Djoened Joesof yang juga menjabat Ketua Gasida. Selanjutnya menyusul kesediaan saudagar lainnya. Alhasil  malam itu terkumpul dana yang cukup besar. Presiden Soekarno puas dan menyunggingkan senyum. Ia lalu mengajak hadirin beranjak ke meja makan.

Adegan jamuan makan malam itu salah satu bagian penting dari episode keikhlasan rakyat Aceh mengumpulkan dana untuk pembelian pesawat terbang. Kehadiran Presiden Soekarno dan rombongan ke Aceh pada waktu itu dalam rangka mengumpulkan dana untuk pembelian pesawat terbang. Penulis sejarah Tgk AK Jakobi mencatatkan peristiwa itu dalam bukunya ‘Aceh Daerah Modal’ (Yayasan Seulawah RI-001, 1992).

“Bung Karno mengharapkan malam itu dapat terkumpul sejumlah dana  perjuangan untuk membeli sebuah pesawat terbang, yang sangat diperlukan dalam tahap perjuangan kemerdekaan saat itu," tulis AK Jakobi.

Penulis sejarah Aceh lainnya, H.Muhammad TWH dalam satu artikelnya (Tabloid Bersatu, 1999) mengutip  buku ‘Modal Perjuangan Kemerdekaan’ yang ditulis TA Talsya, menyebutkan Presiden Soekarno dalam pertemuan itu menyampaikan pidato antara lain berbunyi, "Harga satu pesawat Dakota hanya M$ 120.000. Saya belum mau makan sebelum mendapat jawaban 'ya' atau 'tidak'," kata Soekarno yang berhasil membakar semangat para saudagar itu.

Dalam pertemuan tatap muka Presiden Soekarno dengan tokoh-tokoh pejuang, tokoh masyarakat, pengusaha serta pemuda, di Hotel Atjeh itu, Bung Karno mencetuskan sebuah ide dan menantang jiwa patriotisme rakyat Aceh untuk meneruskan dan melestarikan perjuangan kemerdekaaan. Dan Minta dukungan moril dan materil.

"Melihat hasil dana yang masuk, Bung Karno dengan senyum berseri mulai mengajak  hadirin beranjak ke meja makan," tulis AK Jakobi  lagi dalam ‘Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang’ PT Gramedia, 1998.

Presiden Soekarno dan rombongan tiba di Banda Aceh dengan dengan pesawat, mendarat di lapangan terbang Lhoknga, pada 16 Juni 1948. Dalam rapat raksasa di Lapangan Blang Padang, Presiden Soekarno menyatakan bahwa Aceh adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang masih utuh, tidak diduduki oleh Belanda.

Karena itu Aceh disebut ‘Daerah Modal’ yang berarti "daerah untuk meneruskan cita-cita perjuangan kemerdekaan yang sedang dalam ancaman penjajah." (Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemrdekaan  1945-1949 dan Peranan  Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang, PT. Gramedia, 1998)

Ketika Soekarno mengakhiri kunjungannya di Aceh pada 20 Juni 1948, dana yang terkumpul untuk pembelian pesawat itu berjumlah 120.000 dollar Singapura dan 20 kilogram emas. (Buku Sejarah Perjuangan Indonesian Airways, 1979,  menyebut 130.000 Straits Dollar).

Dana tersebut dihimpun dari masyarakat Aceh oleh  Panitia Dana Dakota (Dakota Fund)  di Aceh yang dipimpin  HM Djoened Joesoef dan Said Muhammad Alhabsji. Adalah Opsir Udara II Wiweko Soepeno yang ditugasi membeli pesawat dari hasil sumbangan rakyat Aceh tersebut.

Selang tiga bulan kemudian, pesawat berhasil didapatkan, jenis Dakota milik seorang penerbang Amerika Mr JH Maupin di Hongkong. Pesawat dengan kode VR-HEC itu mendarat di Maguwo Padang dan kemudian diregistrasi RI-001. Adalah Presiden Soekarno sendiri yang memberi nama ‘Seulawah’ pada pesawat tersebut.

Dana dan emas yang terkumpul cukup untuk membeli dua pesawat dakota. Pesawat sumbangan Aceh inilah yang kelak menjadi pesawat angkut pertama Indonesia dan menjadi cikal bakal lahirnya Garuda Indonesia.(fikar w eda)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved