15 Tahun Damai Aceh

Milenial Aceh Bicara Soal Konflik dan Damai Aceh

Bahkan ada yang beranggapan bahwa perdamaian Aceh ini hanya dimaknakan sebagai kompensasi bagi GAM.

Penulis: Masrizal Bin Zairi | Editor: Taufik Hidayat
Dok Kontras Aceh
Sejumlah peserta mengikuti diskusi daring dengan tema “Milenial mengulik nota kesepahaman Damai” pada hari damai Aceh, Sabtu (15/8/2020). 

Laporan Masrizal | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Sejumlah lembaga mengadakan diskusi daring dengan menghadirkan tiga orang narasumber dari kalangan milenial, yaitu Ihan Nurdin dari Forum Aceh Menulis (FAMe), Teuku Raja Muda D Bentara (Alumni Mahasiswa FISIP Unsyiah), dan Khalida Zia (Direktur Eksekutif The Leader).

Acara yang dipandu oleh Azharul Husna (Kontras Aceh) ini membicarakan tentang “Milenial mengulik nota kesepahaman Damai” dan berlangsung bertepatan pada hari damai Aceh, Sabtu (15/8/2020). 

Dalam diskusi daring itu, masing-masing pembicara menyampaikan pengalaman mereka pada masa konflik masih berkecamuk di Tanoh Rencong.

Ihan mengatakan sudah merasakan konflik sejak ia masih kecil ketika masih tinggal di Aceh Timur. Perempuan yang saat ini berprofesi sebagai jurnalis itu sudah merasakan tenda pengungsian di usia sekolah dasar.

“Jika anak seusianya saat itu berpikir akan belajar apa besok di sekolah, saya malah berpikir apakah gedung sekolahnya masih akan tetap ada. Bukan tidak berasalan pemikiran tersebut hadir, karena pada saat itu sekolah-sekolah banyak yang dibakar oleh oknum tidak dikenal,” katanya.

Kemudian saat damai hadir, Ihan sudah kuliah ke Banda Aceh dan akhirnya memilih “jalan pedang” literasi dengan menjadi jurnalis untuk mengambil peran mengabarkan pengetahuan tentang perdamaian dan juga menuliskan sejumlah artikel dan buku.

“Literasi sebagai sarana penting untuk menyampaikan pengetahuan dan melibatkan lintas generasi dalam pembangunan perdamaian,” ujar penulis buku Rihon yang akan segera terbit ini.

Berbeda dengan Ihan yang mengalamai dua fase, konflik dan damai Aceh, Khalida Zia yang saat proses damai masih terlalu kecil. Ia baru mengerti tentang konflik dan damai saat kuliah di Sosioplogi Unsyiah.

Zia juga aktif terlibat dalam beberapa tim penulis sejarah konflik Aceh. Tidak sedikit rekam jejak yang ditemukan selama berada di lapangan,  mulai dari keluhan masyarakat sampai pada tekanan batin yang masih dirasakan sebagian masyarakat Aceh.

“Itu menjadi bukti bahwa perdamaian ini belum selesai. Masih banyak konflik batin yang dialami sebagian masyarakat Aceh, bahkan ada yang memaknai bahwa perdamaian ini hanya dimaknakan sebagai kompensasi bagi GAM,” jelasnya.

VIDEO Mantan GAM Kuta Pase dan Perlak Aceh Timur Peringati 15 Tahun Aceh Damai di Lhokseumawe

Bendera Merah Putih Raksasa Dikibarkan di Tiro, Lokasi Pengibaran Dua Jam Perjalanan

Ini Pernyataan Wali Nanggroe Terkait Realisasi MoU Helsinki

Sementara Teuku Raja Muda D Bentara berpendapat bahwa perjanjian damai adalah berkah. Saat konflik terjadi di Aceh, ia mengatakan berada di Jakarta dalam rangka melanjutkan studinya dengan konsentrasi pertahanan dan pemberontakan. Ia hanya merekam Aceh dari sisi nasional.

Dalam diskusi itu para pembicara sepakat bahwa milenial mengemban tanggungjawab bersama untuk menjaga pembangunan perdamaian Aceh dengan keahlian masing-masing.

Kaum milenial harus terus mengkampanyekan MOU Helsinki, sehingga masyarakat Aceh tercerahkan.

Dalam dikusi itu, juga diberikan kesempatan kepada peserta untuk memberi pendapatnya tentang makna perdamian. 

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved