Sudan Akhiri 30 Tahun Pemerintahan Islam
Pemerintah transisi Sudan sepakat mengakhiri pemerintahan Islam negaranya yang sudah berjalan 30 tahun
* Mulai Pisahkan Urusan Agama dan Negara
ADDIS ABABA - Pemerintah transisi Sudan sepakat mengakhiri pemerintahan Islam negaranya yang sudah berjalan 30 tahun. Hal itu ditandai dengan penandatanganan deklarasi oleh Perdana Menteri Sudan, Abdalla Hamdok dan Ketua Kelompok Pemberontak Pembela Kebebasan Warga Sudan Utara, Abdel Azis al-Hilu, Kamis (4/9/2020), di Ibu Kota Etiopia, Adis Ababa.
"Sudan akan menjadi negara demokratis yang mana semua hak warga negara akan diabadikan, konstitusi didasari dengan prinsip perbedaan urusan agama dan negara," begitu isi dokumen yang ditandatangi keduanya dikutip Bloomberg.
Diketahui, perjanjian ini muncul setelah pemerintah Sudan menyatakan damai dengan kelompok pemberontak dalam waktu kurang dari seminggu. Perjanjian perdamaian ini juga menandai harapan baru warga Sudan akan berakhirnya perang sipil yang terjadi di kawasan Darfur dan wilayah Sudan lain yang sempat dipimpin oleh diktaktor Omar al-Bashir.
Kesepakatan menghilangkan Pemerintahan Islam ini muncul karena Kelompok Pemberontak Kebebasan Warga Sudan Utara enggan berdamai jika tak ada jaminan berdirinya negara bersistem sekuler.
Sudan memang tengah bangkit dari isolasi dari negara-negara internasinal yang muncul akibat kepemimpinan Bashir yang dimulai pada tahun 1989. Selama kepemimpinannya, Bashir dikenal sebagai orang yang berusaha membuat Sudan dikenal sebagai 'Garda Terdepan Negara Islam' dengan menerapkan interpretasi hukum-hukum garis keras.
Amerika Serikat (AS) pun sempat melabeli Sudan sebagai negara yang mensponsori terorisme pada tahun 1993, dan kemudian menjatuhkan sanksi ke Sudan pada tahun 2017.
Pemerintahan transisi Sudan terbentuk setelah Panglima Militer negara tersebut, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan beserta perwira militer lainnya menggulingkan Presiden Omar al-Bashir pada April 2019 lalu. Ini terjadi akibat protes berkepanjangan terkait buruknya perekonomian dan kediktatoran.
Pasca-digulingkannya Bashir, Sudan melalui masa-masa bergejolak, dengan kuatnya tekanan pada militer untuk menyerahkan pemerintahan kepada sipil yang diwarnai demonstrasi dan kekerasan.
Setelah menyepakati kesepakatan pembagian kekuasaan, pihak militer dan oposisi Sudan membentuk Dewan Kedaulatan yang akan memerintah selama masa transisi, menggantikan dewan militer yang dibubarkan.
Dewan Kedaulatan kemudian menunjuk pakar ekonomi terkemuka, Abdalla Hamdok sebagai Perdana Menteri sekaligus menjadi pemimpin pemerintah transisi.
Sejak berada di bawah pemerintahan transisi, sejumlah aturan terkait Islam mulai dibatalkan, di antaranya mengizinkan non-Muslim untuk mengonsumsi minuman beralkohol, mencabut larangan pindah agama, mencabut hukuman cambuk, menghapus pembelajaran Alquran di tingkat kanak-kanak, menghapus sebutan ‘Negara Islam’ dari konstitusi, dan beberapa aturan lainnya.
"Kami (akan) membatalkan semua hukum yang melanggar hak asasi manusia di Sudan," kata Menteri Kehakiman, Nasredeen Abdulbari. "Kami ingin menghancurkan segala bentuk diskriminasi yang diberlakukan oleh rezim lama dan untuk bergerak menuju kesetaraan kewarganegaraan dan transformasi demokratis," tambah dia.
Hal itu sempat memicu protes dari masyarakat Sudan karena keputusan pemerintah itu dianggap anti-Islam. Juli 2020 lalu, ratusan masyarakat turun ke jalan-jalan ibu kota Khartoum. Mereka meneriakkan, ‘Hukum Allah tidak bisa diganti!’ dan membawa papan bertuliskan, ‘Katakan “tidak” untuk sekulerisme’.
Akibat demonstrasi itu, pasukan keamanan memblokir jalan-jalan di Khartoum tengah dan di jembatan yang menghubungkan ibu kota itu dengan kota kembarnya, Omdurman.
Untuk diketahui, Islam adalah yang agama terbesar di Sudan, dan Muslim telah mendominasi lembaga pemerintah nasional sejak kemerdekaan pada tahun 1956. Statistik menunjukkan bahwa populasi Muslim adalah 97 persen, termasuk sejumlah Arab dan kelompok non-Arab. Sisanya 3% menganggap baik untuk Kristen atau agama tradisional animisme.(Bloomberg/CGTN)