Internasional
Polisi Tidak Dapat Memeriksa Penyerang Gereja Nice, Dinyatakan Positif Covid-19
Pria Tunisia yang menikam tiga orang hingga tewas di sebuah gereja di Nice Prancis selatan, telah dites positif Covid-19.
SERAMBINEWS.COM, PARIS - Pria Tunisia yang menikam tiga orang hingga tewas di sebuah gereja di Nice Prancis selatan, telah dites positif Covid-19.
Sehingga, pihak berwenang menunda pemeriksaannya, menurut sumber pengadilan.
Ibrahim Issaoui (21) tetap berada di rumah sakit usai ditembak 14 kali oleh polisi setelah mengamuk di basilika Notre-Dame Nice pada Kamis (28/10/2020).
Dia dikabarkan tidak lagi dalam kondisi kritis, tetapi polisi belum dapat memeriksanya hingga Selasa (3/11/2020).
Meneriakkan "Allahu Akbar", dia memenggal kepala seorang wanita dan membunuh dua orang lainnya di Basilika Notre-Dame Nice.
Sebuah serangan pisau mematikan kedua di Prancis dalam dua minggu dengan dugaan motif Islamis, lansir The Telegraph, Selasa (3/11/2020).
Dikenal oleh polisi Tunisia karena kekerasan dan pelanggaran narkoba, dia tiba di Prancis bulan lalu, setelah pertama kali menyeberangi Mediterania ke pulau Lampedusa di Italia.
Baca juga: PM Prancis Ancam Siswa Tak Hormati Guru Samuel Paty Yang Tewas Dipenggal Kepalanya
Empat orang lagi ditahan untuk diinterogasi pada Selasa (3/11/2020) pagi, termasuk seorang pria berusia 29 tahun yang diduga berhubungan dengan Issaoui, kata sumber pengadilan.
Mereka ditahan di departemen Val-d'Oise di utara Paris.
Enam orang sebelumnya ditahan karena diduga memiliki hubungan dengan penyerang , tetapi hanya satu yang tetap ditahan, seorang warga Tunisia 29 tahun yang berada di atas kapal yang membawa Issaoui ke Lampedusa.
Penangkapan itu terjadi sehari setelah 12 juta anak sekolah Prancis memberi penghormatan kepada Samuel Paty.
Seorang guru yang dipenggal kepalanya karena menunjukkan kartun Nabi Muhammad kepada murid-muridnya sebagai bagian dari kelas tentang kebebasan berekspresi bulan lalu.
Pembunuhan itu mengejutkan negara itu dan mendorong tindakan keras baru terhadap politik Islam, tetapi juga seruan baru dari kelompok ekstremis untuk menargetkan Prancis.
Baca juga: Puluhan Ribu Demonstran Bangladesh Protes Prancis, Teriakkan Kata-kata, Ganyang Prancis
Presiden Emmanuel Macron akhir pekan lalu berusaha meredakan kemarahan di dunia Muslim atas kebijakan anti-Muslim.
Dia mengatakan kepada Al Jazeera perannya sebagai penjamin sekularisme Prancis dan kebebasan berekspresi telah terdistorsi.
Turki telah memimpin seruan untuk memboikot barang-barang Prancis setelah Macron mengatakan akan membela hak untuk menerbitkan kartun yang mengejek agama.
Dalam sebuah langkah yang mempertaruhkan hubungan lebih lanjut dengan Ankara, Prancis pada Selasa (3/11/2020) mengatakan akan melarang kelompok ultra-nasionalis Turki yang dikenal sebagai Serigala Abu-abu.
Dipandang sebagai sayap partai yang bersekutu dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Langkah itu diumumkan setelah pusat peringatan pembunuhan massal orang-orang Armenia selama Perang Dunia I dirusak dengan grafiti termasuk nama Serigala Abu-abu.
Ketika Prancis menangani ekstrimisme Islam di tanah air, pejabat Gallic mengkonfirmasi pasukan mereka di Afrika Barat telah membunuh lebih dari 50 jihadis dan menahan empat orang dalam operasi di Mali pekan lalu.
Baca juga: Austria Berduka, Serangan Bersenjata Mengerikan Pendukung ISIS Menewaskan Empat Orang
Tentara Prancis di wilayah itu juga menyita senjata dan peralatan dari para pejuang dalam operasi Jumat (29/10/202020).
Menteri Pertahanan Florence Parly men-tweet pada Senin (2/11/2020) malam sekali lagi menunjukkan bahwa kelompok teroris tidak dapat bertindak dengan impunitas.
Prancis mengirimkan serangan udara dan pasukan darat setelah drone yang memantau wilayah di Mali utara melihat konvoi pejuang dengan sepeda motor.
Sumber militer mengatakan operasi militer terpisah yang lebih besar berlangsung selama beberapa minggu di daerah dekat perbatasan Mali dengan Burkina Faso dan Niger.(*)