Kupi Beungoh

Prestasi Aceh di MTQ Padang, Gejala atau Penyakit? (Bagian II - Habis)

Itu artinya kalimat Islam adalah Aceh dan Aceh adalah Islam telah memudar, dan mungkin sudah pupus dalam kehidupan keseharian masyarakat. 

Editor: Zaenal
KOLASE SERAMBINEWS.COM
Ahmad Human Hamid, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

DALAM konteks prestasi MTQ Nasional Padang dapatkah “musibah” itu  dilihat sebagai penyakit atau gejala saja.

Jawabannya, tentu saja tidak adil kalau prestasi kafilah Aceh yang telah berjuang keras itu dianggap sebagai penyakit, apalagi penyakit biasa yang nanti akan sembuh sendiri, persis seperti demam ringan anak muda Aceh yang imun tubuhnya tinggi melawan Covid-19.

Kekalahan “telak” yang dialami Aceh pada MTQ Padang mesti dilihat sebagai sesuatu yang sangat serius.

Disebut serius, karena untuk ukuran apapun, derajat “keislaman” Aceh, baik formal yuridis, maupun budaya, dan bahkan pengerahan dana untuk kehidupan beragama, provinsi ini jauh di atas provinsi lain di Indonesia.

Kalau itu inputnya, maka salah satu output yang mudah diukur adalah “penguasaan” membaca kitab  Suci Alquran.

Maka untuk ukuran awam biasa, MTQ nasional adalah ukuran untuk melihat bukti klaim “Dienul Islam” baik dalam konteks formal maupun substantif sebagai salah satu indikator penting tentang kehidupan islami sebagai darah daging masyarakat Aceh sehari-hari.

Kalau yang terjadi adalah prestasi MTQ yang tidak paralel dengan klaim Islam sebagai darah daging masyarakat dan daerah Aceh, pasti ada sesuatu yang salah dengan ekosistem yang menghasilkan produk kafilah Aceh ke MTQ Padang.

Baca juga: Prestasi Aceh di MTQ Padang, Gejala atau Penyakit? (Bagian I)

Diagnosa pertama adalah, bahwa rendahnya prestasi itu tidak lebih dari  gejala dari penyakit sebuah ekosistem besar, tempat di mana kafilah Aceh lahir, dibesarkan, dididik, dipilih, dilatih, diuji, untuk kemudian ditentukan sebagai duta yang mewakili daerah.

Itu artinya kalimat Islam adalah Aceh dan Aceh adalah Islam telah memudar, dan mungkin sudah pupus dalam kehidupan keseharian masyarakat. 

Islam yang tampil di permukaan bukanlah Islam yang sebenarnya, melainkan Islam pamer, atau Islam hiasan dinding.

Ekosistem itu adalah kehidupan keharian masyarakat Aceh yang dianggap sangat islami, padahal dalam kenyataannya tidak lebih baik atau lebih hebat dari masyarakat Islam provinsi lain manapun di Indonesia.

Rendahnya prestasi Aceh pada MTQ Padang secara lebih spesifik adalah refleksi bahwa Islam yang dipajang di dalam undang-undang bukan jaminan bahwa Aceh sangat islami.

Qanun jinayah, dan dua tiga lembaga pemerintah daerah berikut dengan dana yang melimpah tidak ada apa apanya dalam penguatan kehidupan islami.

Penugasan yang diberikan untuk memantapkan dan memajukan kehidupan beragama di kalangan masyarakat, bukan lah sebuah jaminan bahwa Islam dan Aceh adalah zat dan sifat seperti yang selama ini dibanggakan dan digaungkan dimana-mana.

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved