Opini

10 Tahun Menuju Akhir AIDS 2030

Tahun 2020 ini, HAS diperingati masih dalam kondisi pandemi Covid-19, saat perhatian pemerintah sedang terfokus pada upaya penanganan Covid-19

Editor: bakri
zoom-inlihat foto 10 Tahun Menuju Akhir AIDS 2030
IST
Sri Mulyati Mukhtar, SKM., MKM, Promotor Kesehatan dan Konselor HIV-AIDS pada RSU Cut Meutia Aceh Utara

Oleh Sri Mulyati Mukhtar, SKM., MKM, Promotor Kesehatan dan Konselor HIV-AIDS pada RSU Cut Meutia Aceh Utara)

Tanggal 1 Desember rutin diperingati sebagai Hari Aids Sedunia (HAS) atau World Aids Day (WAD). Tahun 2020 ini, HAS diperingati masih dalam kondisi pandemi Covid-19, saat perhatian pemerintah sedang terfokus pada upaya penanganan Covid-19 dan berbagai dampak ditimbulkannya. Pun demikian, kondisi ini tidak menghalangi untuk tetap menjalankan tugas yang tidak kalah penting, pastinya ini tertuang dalam komitmen bersama Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu pengendalian HIV-AIDS yang akan berakhir pada tahun 2030.

Peringatan HAS tahun ini cukup spesial karena bertepatan momentum 10 tahun menuju ending AIDS, tentunya moment tak terlewatkan agar terus mengobarkan semangat memerangi epidemi HIV-AIDS meskipun berhadapan permasalahan kesehatan lainnya, yaitu pandemi Covid-19.

Tema Global HAS tahun 2020 `Global Solidarity, Shared Responsibility'. Pemerintah adopsi menjadi tema nasional: `Perkuat Kolaborasi, Tingkatkan Solidaritas, 10 Tahun Menuju Akhir Aids pada 2030. Bersama tema ini diharapkan tumbuh komitmen, komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi di antara segenap pemangku kepentingan dalam pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS agar semakin sinergis dan nyata. Diperlukan partisipasi para pihak, tidak semata menjadi kewajiban pemerintah pusat dan daerah, tak luput juga dukungan dunia usaha dan masyarakat terutama Sumber Daya Manusia (SDM), pendanaan, pendampingan teknis atau bentuk lainnya, sangat diperlukan.

Jajaran pemerintah dan para mitranya mengajak segenap lapisan masyarakat meraih sukses mencapai three zeroes pada tahun 2030, yaitu: zeroes: Pertama, tidak ada lagi infeksi baru HIV, Kedua,  tidak ada lagi kematian akibat AIDS, dan Ketiga, tidak ada lagi stigma dan diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA).

Untuk mempercepat three zeroes diperlukan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat melalui program dicanangkan pemerintah yaitu, `STOP'; S  dengan `suluh dan skrining' kita beri penyuluhan dan kita ajak untuk skrining, T `test' HIV: 90% ODHA tahu status HIV, dan O `obat': 90% ODHA mendapatkan obat, serta P `pertahankan': 90% ODHA mengalami supresi (penurunan jumlah) virus.

Sungguh sangat beruntung HIV-AIDS berbeda dengan Covid-19, sama-sama penyakit disebabkan oleh virus, namun HIV-AIDS sudah ada obat ARV (Anti Retro Viral) untuk mengendalikan virusnya walaupun tidak dapat menyembuhkan. Hampir sama dengan penyakit kronis lainnya semisal diabetes dan hipertensi, obatnya harus diminum seumur hidup.

Pengendalian HIV-AIDS salah satu agenda pembangunan kesehatan di Indonesia dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan pada indikator ke-12, yaitu Pelayanan Kesehatan Orang dengan risiko terinfeksi HIV. Ini ditandai dengan perluasan akses pengobatan ARV untuk memperpanjang masa harapan hidup ODHA dan pencegahan penularan selanjutnya.

Data tahun 2019, hanya 20% ODHA yang menerima ARV (Panduan HAS, 2020). Lebih lanjut, Direktur P2PML Kemenkes menyebutkan, tahun 2020 estimasi ODHA sebanyak 543.100 orang dan capaian sejak Januari s/d September 2020 baru tercapai sebesar 409.857 orang (75,47%), hanya 139.585 orang (34,06%) yang tetap minum ARV dengan teratur. Artinya, program nasional dilaksanakan selama ini, masih sangat perlu ditingkatkan awareness (kesadaran) masyarakat minum obat teratur (Webinar series HAS, 14 November 2020).

Beberapa tantangan dalam penemuan kasus baru dan pengobatan yang terputus. Utamanya, tingginya stigma dan diskriminasi ditemukan sebagai hambatan yang menghambat penderita mengakses layanan pencegahan, tes dan pengobatan HIV, karena malu menerima stigmatisasi tertentu dari masyarakat. Untuk menghapus stigma ini di tengah masyarakat bukanlah perkara mudah dan butuh kolaborasi dan dukungan penuh kita semua.

Sejatinya seluruh jenjang herarki mulai dari pejabat hingga masyarakat awam, harus bisa dijangkau dan mampu mengedukasi untuk pemahaman yang benar kepada masyarakat sehingga tidak lagi memandang HIV/AIDS sebagai momok menakutkan. Penyakit HIV-AIDS bisa diderita siapapun, jangan berpikir stereotip (jalan pintas) untuk penderita, apalagi menstigma dan diskriminasi.

Sangat diperlukan pemahaman bahwa ODHA bisa tetap hidup sehat secara normal dan tidak menularkan bila rutin mengonsumsi obat ARV, karena ARV akan menekan virus HIV hingga pada tahap tidak terdeteksi (viral load undetectable). Bila virus sudah tidak terdeteksi lagi, maka tidak akan bisa menularkan kepada orang lain.

Hingga kini ARV masih disediakan gratis oleh pemerintah, walaupun hargannya cukup mahal. ARV merupakan obat andalan untuk menekan pertumbuhan virus HIV dalam tubuh ODHA. Dengan minum ARV ODHA bahkan bisa produktif bekerja, berkeluarga, dan virusnya tidak menular ke istri/suami dan anaknya. Artinya ODHA yang meminum ARV teratur mereka dapat hidup layaknya orang yang tidak menderita HIV/AIDS.

Masa pandemi Covid-19, tidak berdampak siqnifikan pada program HIV, walaupun sedikit terjadi penurunan pada deteksi dini dibandingkan tahun 2019. Stuart Watson, Country Director UNAIDS Indonesia juga mengatakan belum ada bukti yang menunjukkan bahwa ODHA mempunyai risiko lebih tinggi terinfeksi Covid-19. Namun, tidak dapat ditampik pasien HIV yang tidak minum ARV dan virusnya belum tersupresi, akan rentan terinfeksi Covid-19, sehingga ODHA harus memiliki stok ARV, agar tetap sehat selama masa pandemi, tentunya dengan menjaga protokol kesehatan.

Pedoman WHO selama pandemi Covid-19, ODHA harus mendapatkan stok obat langsung selama 3-6 bulan lewat pemberian obat multi-bulan atau Multi Month Dispensing (MMD). Hal ini dilakukan agar mengurangi frekuensi ODHA mengakses fasilitas kesehatan, khususnya Rumah Sakit rujukan Covid-19.

Program pemerintah dalam upaya pencegahan pengendalian HIV-AIDS semakin aktif terutama dalam deteksi dini, terbukti dengan banyaknya ditemukan penderita HIV/AIDS fase belum ada gejala. Petugas akan melakukan skrening misalnya jika ada salah satu anggota keluarga terdeteksi reaktif HIV, maka seluruh anggota keluarga diskrining. Bila reaktif segera diberikan terapi sebelum ada infeksi oportunistik (penyakit penyerta).

Upaya meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap HIV-AIDS perlu terus digalakkan, supaya semakin banyak masyarakat peduli pencegahan HIV. Terpenting masyarakat harus melakukan pemeriksaan diri ke fasilitas kesehatan bila pernah melakukan perilaku berisiko. Pentingnya melakukan test HIV, agar setiap orang tahu status HIV-nya bila positif segera diobati sehingga kematian dapat dicegah, kualitas hidup dan produktivitas dapat dipertahankan atau bahkan ditingkatkan.

Semakin meningkatnya pemahaman masyarakat maka dapat mendorong tercapainya penurunan epidemi HIV dan tujuan mengakhiri epidemi pada tahun 2030 dapat terwujud dengan tercapainya `three zeroes 90-90-90'.

Namun cita-cita tersebut akan hampa tanpa kolaborasi dan dukungan lintas program, lintas sektor serta masyarakat, juga akses layanan kesehatan berkualitas tinggi, upaya pencegahan, pendampingan dan dukungan dari para pihak tentunya tanpa adanya stigma dan diskriminasi. Selamat Hari Aids Sedunia tahun 2020.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved