Internasional
Teal Group Sebut Jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air Bukan Karena Cacat Desain
Pesawat Sriwijaya Air, jenis Boeing 737-500 berusia 26 tahun, bagian dari seri "Classic" 737 telah dihentikan diproduksi pada 1999.
SERAMBINEWS.COM, WASHINGTON - Pesawat Sriwijaya Air, jenis Boeing 737-500 berusia 26 tahun, bagian dari seri "Classic" 737 telah dihentikan diproduksi pada 1999.
Richard Aboulafia, seorang analis penerbangan di Teal Group, tidak percaya kecelakaan itu akibat cacat desain pada model tersebut.
"Ini bahkan bukan model sebelum Max, ini telah beroperasi selama 30 tahun sehingga tidak mungkin terjadi kesalahan desain," katanya kepada Bloomberg pada Minggu (10/1/2021).
"Ribuan pesawat ini telah dibuat dan produksinya berakhir lebih dari 20 tahun yang lalu, jadi sesuatu akan ditemukan sekarang," harapnya.
Dalam email ke Business Insider, Aboulafia mengatakan meskipun 26 tahun masa kerja melebihi usia pensiun yang biasa dari banyak pesawat, bukan hal yang aneh.
Bagi pesawat yang sudah tua untuk tetap terbang.
"Dan akan sangat aman dengan asumsi prosedur pemeliharaan yang benar diterapkan dan ditegakkan oleh regulator lokal," tulisnya.
Baca juga: Kesaksian Penyelam, Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 Hancur Berkeping-keping di Bawah Laut
Kecelakaan itu terjadi di tengah-tengah beberapa tahun yang sulit bagi Boeing.
Pada Oktober 2018 dan Maret 2019 , dua pesawat model Boeing 737 Max jatuh, menewaskan total 364 orang.
Pesawat itu diperintahkan dikandangkan di seluruh dunia.
Sedangkan regulator dan Boeing bekerja untuk memperbaiki apa yang tampaknya menjadi cacat desain mendasar pada model tersebut
Pada akhir tahun 2020, setelah penyelidikan intensif, Administrasi Penerbangan Federal mengizinkan 737 Max terbang lagi.
Minggu ini, Boeing setuju untuk membayar denda pidana 2,5 miliar dolar AS untuk menyelesaikan tuduhan konspirasi penipuan terkait dengan skandal 737 Max..
CEO Boeing David Calhoun mengatakan resolusi itu adalah pilihan yang tepat bagi perusahaan.
"Resolusi ini merupakan pengingat serius bagi kita semua betapa pentingnya kewajiban transparansi kita kepada regulator," katanya.
"Juga ada konsekuensi yang dapat dihadapi perusahaan jika ada di antara kita yang tidak memenuhi harapan tersebut," ujarnya.
Baca juga: Kotak Hitam Sriwijaya Air SJ 182 Terdeteksi di Kedalaman 17-20 Meter
Pada Sabtu (9/1/2021), sebuah pesawat Boeing yang membawa 62 penumpang menghilang beberapa menit setelah lepas landas dan pihak berwenang mengatakan diasumsikan telah jatuh ke Laut Jawa..
Perusahaan Penerbangan Sriwijaya Air Indonesia # SJ182 lepas landas dari Jakarta, membawa 50 penumpang dan 12 awak.
Menurut situs web pelacak penerbangan FlightRadar24, pesawat kehilangan ketinggian lebih dari 10.000 kaki dalam waktu kurang dari satu menit.
Seorang nelayan setempat kepada BBC mengatakan melihat kecelakaan itu dengan mengatakan:
"Pesawat itu jatuh seperti kilat ke laut dan meledak di dalam air."
Beberapa puing dari pesawat telah ditemukan di dalam air oleh para penyelam, termasuk mayat para korban.
Dilansir AP, pada Oktober 2018, sebuah jet Boeing 737 MAX 8 yang dioperasikan oleh Lion Air jatuh ke Laut Jawa hanya beberapa menit setelah lepas landas dari Jakarta.
Menewaskan 189 penumpang dan awak pesawat yang berada di dalamnya.
Baca juga: VIDEO Pencarian Sriwijaya Air SJ 182 Dilanjutkan, Barang dan Puing Dibawa ke KRI Parang
Pesawat yang jatuh pada Sabtu (9/1/2021) tidak memiliki sistem kontrol penerbangan otomatis yang berperan dalam kecelakaan Lion Air dan kecelakaan lain dari jet 737 MAX 8 di Ethiopia lima bulan kemudian.
Yang menyebabkan MAX 8 dilarang terbang selama 20 bulan. .
Kecelakaan Lion Air adalah bencana maskapai terburuk di Indonesia sejak 1997.
Ketika 234 orang tewas dalam penerbangan maskapai Garuda di dekat Medan di pulau Sumatera.
Pada Desember 2014, penerbangan AirAsia dari kota Surabaya di Indonesia ke Singapura jatuh ke laut, menewaskan 162 orang.
Sriwijaya Air hanya mengalami insiden kecil di masa lalu, meskipun seorang petani terbunuh pada tahun 2008 ketika sebuah pesawat jatuh dari landasan pacu saat mendarat karena masalah hidrolik.
Amerika Serikat melarang maskapai penerbangan Indonesia beroperasi di negara itu pada 2007, tetapi membatalkan keputusan pada 2016.
Dengan alasan peningkatan kepatuhan terhadap standar penerbangan internasional.
Uni Eropa sebelumnya memiliki larangan serupa, mencabutnya pada Juni 2018.(*)