Muslim Rohingya Terancam Kudeta Myanmar, Bandara Ditutup Jaringan TV dan Internet Dimatikan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) khawatir kudeta di Myanmar akan memperburuk keadaan sekitar 600 ribu muslim Rohingya
NAYPYIDAW - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) khawatir kudeta di Myanmar akan memperburuk keadaan sekitar 600 ribu muslim Rohingya yang masih di negara itu. Militer Myanmar telah merebut kekuasaan pada Senin (1/2/2021) dalam kudeta melawan pemerintah Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint serta para tokoh politik lainnya.
"Ada sekitar 600.000 orang Rohingya yang tetap berada di Negara Bagian Rakhine, termasuk 120.000 orang yang secara efektif dikurung di kamp,” kata juru bicara PBB, Stephane Dujarric dikutip dari CNA.
“Mereka tidak dapat bergerak bebas dan memiliki akses yang sangat terbatas ke layanan kesehatan dan pendidikan dasar," sambungnya.
Kekhawatiran cukup beralasan mengingat sejarah tindakan genosida yang dialami muslim Rohingya. Tindakan brutal militer Myanmar alias Tatmadaw pada 2017 di Negara Bagian Rakhine memaksa lebih dari 700 ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Saat itu, operasi militer diluncurkan atas perintah Panglima Militer Jenderal Senior Min Aung Hlaing yang kini menguasai Myanmar setelah kudeta pada Senin (1/2/2021) dini hari.
Para diplomat mengatakan, Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 orang berencana untuk membahas Myanmar dalam pertemuan tertutup. "Kami ingin mengatasi ancaman jangka panjang terhadap perdamaian dan keamanan, tentu saja bekerja sama erat dengan negara tetangga Myanmar di Asia dan ASEAN," kata Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward.
Rayakan penangkapan
Sementara itu, umat muslim Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh, merayakan momen saat Aung San Suu Kyi ditangkap tentara pada Senin (1/2/2021). Suu Kyi adalah pemimpin de facto Myanmar saat itu, dan membela militernya dalam sidang Pengadilan Kriminal Internasional tahun 2019, atas kekejaman terhadap Rohingya termasuk pemerkosaan dan pembunuhan.
Lalu sekarang, berita penangkapan Suu Kyi menyebar cepat di kamp pengungsian Rohingya di Bangladesh, yang ditempati sekitar 1 juta orang. "Dia alasan di balik semua penderitaan kami. Kenapa kami tidak merayakannya?" kata Farid Ullah pemimpin komunitas itu kepada AFP, dari Kutupalong yang merupakan permukiman pengungsi terbesar di dunia.
Kemudian Mohammad Yusuf pemimpin di Balukhali kamp sebelahnya mengatakan, "Dia (Suu Kyi) harapan terakhir kami, tetapi dia mengabaikan penderitaan kami dan mendukung genosida terhadap Rohingya," imbuhnya.
Beberapa orang Rohingya memanjatkan doa khusus untuk menyambut keadilan, kata Mirza Ghalib pengungsi di kamp Nayapara. "Jika otoritas kamp mengizinkannya, Anda akan melihat ribuan Rohingya keluar dalam pawai perayaan," tuturnya kepada AFP.
Tutup bandara
Pada hari kedua kudeta, Selasa (2/2/2021), para jenderal Myanmar tampak memegang kendali kuat. Pengamanan ekstra diterapkan di jalanan Yangon, kota terbesar dan ibu kota komersial Myanmar. Militer Myanmar juga melakukan patroli dan menerapkan jam malam.
Dilansir BBC, pemerintah sementara menerapkan jam malam dari pukul 20.00 hingga pukul 06.00 waktu setempat. Selain itu, seluruh jaringan televisi, baik domestik maupun internasional dimatikan. Internet dan telepon diputus dan bank tutup lebih awal. Militer mengumumkan 24 menteri dan wakilnya dibubarkan, dan menggantinya dengan 11 orang di keuangan, kesehatan, hingga dalam negeri.
Myanmar juga telah menutup Bandara Internasional di Yangon. Diketahui Bandara Internasional di Yangon merupakan pintu masuk ke negara tersebut.
Manajer Bandara Internasional Yangon, Phone Myint mengatakan kepada Reuters bahwa bandara ditutup sampai Mei.
Ia pun tidak menyebutkan sampai tanggal berapa penutupan bandara akan berlaku. Namun, surat kabar Myanmar Times melaporkan bahwa izin mendarat dan tinggal landas sudah dicabut bagi semua pesawat, termasuk pesawat untuk kepentingan bantuan. Larangan mendarat dan tinggal landas itu, lapor Myanmar Times, berlaku hingga 31 Mei 2021 pada pukul 23:59.(kompas.com/yos/*)