Demo Tolak Kudeta Membesar, Militer Matikan Internet Se-Myanmar
Massa yang menentang pengambilan kekuasaan secara paksa itu lalu ramai-ramai mengecam angkatan bersenjata
YANGON - Militer Myanmar pada Sabtu (6/2/2021) memutuskan jaringan internet di seluruh negara itu. Langkah tersebut dilakukan saat ribuan orang turun ke jalan-jalan di Yangon untuk melawan kudeta dan menuntut pembebasan Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi. Kudeta militer melanda Myanmar sejak Senin (1/2/2021).
Massa yang menentang pengambilan kekuasaan secara paksa itu lalu ramai-ramai mengecam angkatan bersenjata. "Diktator militer gagal, gagal. Demokrasi menang, menang," teriak mereka seraya beberapa membawa spanduk bertuliskan "Lawan kediktatoran militer".
Menurut pantauan jurnalis Reuters di lokasi, orang-orang yang melintas lalu menawari mereka makanan dan minuman. Banyak di antara massa kontra-kudeta mengenakan baju merah, warna kebesaran partai National League for Democracy (NLD) Suu Kyi yang menang telak dalam pemilu 8 November 2020 lalu.
Namun, ketika unjuk rasa membesar setelah para aktivis mengeluarkan ajakan di media sosial, internet di negara itu mati. Pengamat jaringan internet NetBlocks melaporkan pemadaman internet terjadi dalam skala nasional. Di Twitter mereka menerangkan, konektivitas turun sampai 54 persen dari tingkat biasanya. Beberapa orang mengatakan, data seluler dan Wi-Fi juga mati. Militer Myanmar sejauh ini belum berkomentar.
Sebelumnya mereka sudah memblokir Facebook, disusul Twitter dan Instagram hari ini (kemarin-red). Penyedia layanan seluler asal Norwegia, Telenor, mendapat perintah dari pihak berwenang Myanmar untuk memblokir akses ke Twitter dan Instagram sampai ada pemberitahuan lebih lanjut. Akibatnya, banyak warga Myanmar yang memakai VPN, tapi arus informasi dan akses berita tetap sangat terbatas.
"Internet sudah mati tapi kami tidak akan berhenti bersuara," tulis akun Twitter Maw Htun Aung. "Ayo berjuang dengan damai untuk demokrasi dan kebebasan. Ayo berjuang sampai menit terakhir demi masa depan kita," lanjutnya dalam twit yang dikutip Reuters.
Ormas sipil Myanmar juga mengimbau penyedia jaringan internet dan seluler menolak perintah militer. "Dengan mematuhi perintah mereka, perusahaan Anda pada dasarnya melegitimasi otoritas militer, padahal ada kecaman internasional terhadap mereka," kata salah satu anggota ormas dalam pernyataannya.
“Sebelum mematikan internet, secara hukum kami wajib mengikuti perintah untuk memblokir beberapa media sosial. Namun, kami juga menyadari bahwa perintah itu bertentangan dengan hukum HAM internasional,” timpal Telenor.
Lakukan kontak pertama
Informasi lain, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan kontak pertama dengan militer di Myanmar sejak terjadinya kudeta Senin (1/2/2021). Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Antonio Guterres, pada Jumat (5/2/2021), dan mengulang seruan agar para pemimpin sipil dibebaskan. "Utusan khusus kami hari ini (Jumat-red) melakukan kontak pertama di mana dia menyatakan dengan jelas posisi kami kepada wakil komandan militer," kata Guterres kepada wartawan.
Kontak pertama PBB diwakili diplomat Swiss yang merupakan utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener. Burgener juga dikatakan melakukan kontak dengan negara-negara lain di kawasan itu. "Kami akan melakukan semua yang kami bisa untuk membuat komunitas internasional bersatu, dalam memastikan kudeta ini gagal," kata Guterres dikutip dari AFP.
Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, ditangkap pada Senin (1/2/2021) dan digulingkan dari kekuasaan. Myanmar pun jatuh lagi ke pemerintahan militer setelah sempat 10 tahun menjadi negara demokrasi. Guterres mencap kudeta itu benar-benar tak bisa diterima.
Namun, Dewan Keamanan PBB sejauh ini justru melunakkan tanggapan. Terbaru mereka menyatakan keprihatinan mendalam atas kudeta Myanmar, mengubah pernyataan pada Selasa (2/2/2021) yang mengecamnya. Para diplomat mengatakan, Cina dan Rusia yang memiliki hak veto dan pendukung utama Myanmar di PBB, meminta waktu lebih untuk menyempurnakan tanggapan dewan keamanan.
Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara (Jubir) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Teuku Faizasyah mengatakan, kondisi warga negara Indonesia (WNI) di Myanmar dalam keadaan baik. Hal itu disampaikannya saat dikonfirmasi mengenai update situasi di Myanmar setelah selama sepekan ini ramai dengan kudeta pemerintahan oleh militer.
Faizasyah menyebutkan, sekitar 500 WNI mayoritas tinggal di wilayah Yangoon. "WNI dalam kondisi baik. Ada sekitar 500 orang dan mereka mayoritas tinggal di wilayah Yangoon," ujar Faizasyah saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (6/2/2021).