Jurnalisme Warga
Jadi Santriwati Sekaligus Mahasiswi di Kota Santri
Di Aceh, masyarakat menyebut ‘dayah’ sebagai lembaga pendidikan agama Islam swasta yang sudah sangat masyhur

OLEH AIZUL AZWINAR, putri asal Pante Garot, santriwati Dayah Baitul Ihsan, dan Mahasiswi IAIA Samalanga, melaporkan dari Samalanga, Bireuen
Di Aceh, masyarakat menyebut ‘dayah’ sebagai lembaga pendidikan agama Islam swasta yang sudah sangat masyhur. Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, merupakan salah satu wilayah di Aceh yang banyak kita dapati dayah atau pesantren.
Saat ini, saya menimba ilmu agama di Dayah Baitul Ihsan Al-Hanafiah. Lokasinya di Desa Kampong Putoh. Sebuah dayah yang berdiri di antara impitan Dayah Ummul Ayman, Dayah Putri Muslimat, dan Dayah Mudi Mesra.
Dayah dengan bangunan yang terlihat berupa bangunan rumah biasa saja ini didirikan oleh sosok perempuan bersama suami dan keluarga besarnya yang sangat peduli terhadap pendidikan agama. Hal ini juga sangat wajar mengingat dalam jiwa beliau-beliau ini mengalir darah ulama. Dayah ini berdiri sejak medio tahun 2015 M/1436 H di bawah pimpinan Tgk H Abdul Wahab BA (Abati) dan Ummi Hj Zainab (Tu Zainab).
Uniknya, dayah ini dikhususkan bagi wanita. Selain belajar ilmu agama melalui kelas nonformal, santriwati di sini juga diizinkan untuk belajar ilmu formal berupa kuliah di Institut Agama Islam Al-Aziziyah (IAIA) yang berjarak sekitar 200 meter dari dayah ini.
Ada banyak tujuan didirikannya dayah ini. Di antaranya untuk menjaga santriwati dari pengaruh dunia bebas luar. Selain itu, juga untuk menjadikan santriwati Dayah Baitul Ihsan sebagai pejuang agama yang berbasis kepada kepribadian yang baik lagi berkarisma, dan intelektual yang agamis.
Aktivitas santriwati
20 Juni 2020 Masehi. Itulah pertama kalinya saya menginjakkan kaki di tanah Baitul Ihsan ini. Jantung berdebar kencang seolah-olah kehidupan berubah drastis kala itu. Ya, berbeda sekali dengan kehidupan saya ketika di kampung, mulai dari memejamkan mata malam hari hingga membuka mata esoknya.
Tentu, banyak hal yang saya hadapi ketika awal-awal berada di kehidupan dayah. Di sini, subuh hari misalnya, suara alunan gayung menjadi satu-satunya alarm untuk membangunkan santriwati. Beberapa petugas membangunkan santriwati dengan penuh kesabaran. Kami menyebut mereka dengan panggilan ‘haritsah’, bahasa Arab yang berarti ‘petugas’.
Pemandangan mulai berbeda dari semenjak santri membuka mata. Mereka berlomba-lomba memburu keran air untuk berwudu. Menuju ke keran tersebut, ada sebagian santriwati yang berjalan sempoyongan. Setelah itu, kami langsung ke mushala untuk khatam Quran sembari menunggu azan subuh. Setelah shalat Subuh berjamaah kami langsung beranjak ke ruang dan balai masing-masing dengan aktivitas mengaji subuh, berupa pengajian Quran. Namun, ada juga beberapa santriwati pagi-pagi begitu sudah bertugas menyapu, membersihkan kompleks dayah, sebagai khidmat kepada dayah yang terus diawasi oleh pengontrol kebersihan.