Migas Aceh
Realisasi Penerimaan Aceh dari Migas 2020 Tercatat Rp 483,451 Miliar
Realisasi dana bagi hasil (DBH) dan tambahan dana bagi hasil (TDBH) dari minyak dan gas bumi untuk Aceh pada 2020 tercatat 483.451.621.724...
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Jalimin
Laporan Fikar W Eda | Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Realisasi dana bagi hasil (DBH) dan tambahan dana bagi hasil (TDBH) dari minyak dan gas bumi untuk Aceh pada 2020 tercatat 483.451.621.724. Jumlah itu berasal dari minyak bumi sebesar Rp 240.358.086.336 dan gas sebesar Rp 243.093.535.388.
Perolehan dana bagi hasil dan tambahan dana bagi hasil migas tersebut disampaikan Deputi Pengembangan Bisnis BPMA (Badan Pengelola Migas Aceh), Afrul Wahyuni dalam pertemuan BPMA dengan Forum Bersama (Forbes) Anggota DPR dan DPD RI asal Aceh di Kantor Badan Penghubung Pemerintah Aceh (BPPA) di Jakarta, Selasa (9/3/2021).
Dalam pertemuan itu Afrul hadir hadir bersama Kepala BPMA Teuku Mohammad Faisal hadir Wakil Kepala BPMA M Najib, Deputi Operasi Edi Kurniawan, Deputi Perencanaan Mulyawan, Deputi Internal Muchsin, Kepala Divisi Eksplorasi dan Eksploitasi Ibnu Hafid dan dua staf.
Sedangkan dari Forbes tampak M Nasir Djamil, Anwar Idris, Irmawan, Rafli, Illiza Sa'dudin Djamal, Syekh Fadil Rahmi dari DPD RI, serta Kepala Staf Forbes Fachrulsyah Mega.
Tapi untuk prakiraan penerimaan DBH dan TDBH 2021, akan mengalami penurunan drastis dari gas, hanya Rp 26.933.760.835, sementara dari minyak neaik sedikit yakni Rp 242.351.641.507, sehingga total penerimaan diperkirakan Rp 269.285. 402. 342.
Afrul menyebutkan, penurunan penerimaan Aceh dari migas karena terjadinya penurunan harga gas dan akibat dari implimentasi Kepmen 89 K dan 91 K terkait penurunan harga gas bumi, yang mana kekuarangan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) akibat penurunan harga tersebut, dikembalikan dari bagian penerimaan negara.
Dalam kesempatan itu delegasi BPMA membeberkan sejumlah persoalan yang masih mengganjal tentang kewenangan BPMA dalam sejumlah regulasi.
Afrul mencontohkan, mengenai penggunaan produk dalam negeri pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bunyi, ternyata belum diatur kewenangan BPMA, begitu juga pedoman pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua, juga belum diatuir kewenangan BPMA.
“Masih terdapat16 poin lagi yang perlu diatur jelas terkait dengan kewenangan BPMA ini,” ujar Asrul. Para pejabat utama BPMA itu juga mengusulkan adanya harmonisasi peraturan dan perundang-undangan lain terkait dengan pengelolaan migas Aceh. “Kami mengharapkan dukungan dari FORBES,” kata Asrul Wahyuni.
Ketua Forbes Nasir Djamil mengusulkan Pemerintah Aceh memfasilitasi pertemuan forum group discusion (FGD) untuk membahas dan menguraikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan migas di Aceh.
“Perbincangkan secara komprehensif, undang ahli-ahli untuk membicarakan hal itu, termasuk ahli bisnis perminyakan. Sehingga kita tahui apa yang menjadi persoalan utama dan bagaimana langkah yang perlu diambil,” ujarnya.
Ia mengharapkan, BPMA menjadi contoh dalam pengelolaan kemandirian migas di Aceh. “Sehingga daerah lain mencontoh Aceh, seperti Riau dan daerah lain, meski belum tentu disetujui Pusat seperti Aceh, karena Aceh punya sejarah sendiri,” ujar Nasir.
Nasir mengaku tidak banyak lagi mengamati jalannya BPMA, setelah dirinya terlibat langsung dalam proses pembuatan UU Pemerintahan Aceh.
“Dulu saat kita bahasa soal pengelolaan migas, adalah pengelolaan yang independen. Tapi karena belum ada pengalaman, makanya disepakati pengelolaan bersama. Tapi ternyata, kita mendengar sekarang sangat rumit, makanya kita perlu forum untuk membedah ini,” ujar Nasir Djamil.