Rumah untuk Korban Longsor di Lamkleng Mulai Dibangun, Gubernur Aceh Lakukan Peletakan Batu Pertama

Pemerintah Aceh dengan menggunakan dana corporate social responsibility (CSR) PT Bank Aceh Syariah mulai membangun sepuluh dari 18 rumah

Penulis: Yarmen Dinamika | Editor: Amirullah
for Serambinews.com
Edi Fadhil (kiri) dan Munzir (kanan) duduk di depan tenda pengungsian di Gampong Lamkleng, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar, Sabtu pekan lalu. Hari ini (3/7/2021) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah melakukan peletakan batu pertama pembangunan 10 dari 18 rumah untuk para korban tanah longsor di Gampong Lamkleng. 

Laporan Yarmen Dinamika l Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Pucuk dicinta ulam tiba. Harapan 18 kepala keluarga (KK) warga Gampong Lamkleng, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar, untuk mendapatkan rumah baru di lokasi yang aman dari fenomena tanah bergerak (longsor) mulai terkabul.

Pemerintah Aceh dengan menggunakan dana corporate social responsibility (CSR) PT Bank Aceh Syariah mulai membangun sepuluh dari 18 rumah di lokasi baru, jauh dari titik longsor, tapi masih dalam kawasan Gampong Lamkleng.

Lokasi baru tersebut berada di areal persawahan, jauh dari sungai, lebih mengarah ke kaki Gunung Seulawah Agam. Tepatnya berada di sebelah utara desa agraris tersebut.

Sebagai tahap awal pembangunan rumah untuk korban tanah bergerak tersebut, pagi ini, Sabtu (3/7/2021) sekitar pukul 10.00 WIB akan dilakukan acara peletakan batu pertama oleh Gubernur Aceh, Ir Nova Iriansyah MT.

Baca juga: Harga dan Spesifikasi Realme C17, Bisa Menjadi Pilihan Bagi yang Suka Main Game Online

Informasi tentang peletakan batu pertama itu diperoleh Serambinews.com dari Munzir, pelaksana lapangan pembangunan rumah untuk korban longsor tersebut, Sabtu pagi.

Hal senada diakui Edi Fadhil SH dari Yayasan Cet Langet yang dipercaya manajemen PT Bank Aceh Syariah sebagai pihak yang membangun rumah-rumah bantuan tersebut.

Pagi ini Gubernur Nova Iriansyah bertolak dari Banda Aceh didampingi sejumlah kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) terkait.

Ikut serta menghadiri peletakan batu pertama ini Bupati dan Sekda Aceh Besar serta Camat bersama Muspika Kota Cot Glie, Kabupaten Aceh Besar.

Baca juga: CPNS 2021 - Simak Tips Cepat Login dan Unggah Dokumen untuk Daftar CPNS 2021, Dijamin Anti Gagal

Berdasarkan kontrak, rumah bantuan tersebut dibangun dengan biaya Rp 78 juta per unit, tidak termasuk tanah.

Persil tanah untuk pembangunan rumah bantuan tersebut milik pribadi masing-masing korban yang rumahnya berada di lokasi longsor atau terancam longsor.

Sejauh ini, kata Munzir, hanya sepuluh dari 18 KK yang memiliki tanah di lokasi sawah, tempat dibangunnya rumah-rumah baru tersebut.
Oleh karenanya, untuk tahap awal hanya sepuluh rumah yang dibangun.

"Sedangkan sisanya yang delapan unit lagi akan dibangun setelah para korban tanah longsor mendapatkan bantun tanah dari Pemkab Aceh Besar," kata Munzir.

Jadi, pada prinsipnya, Pemerintah Aceh melalui CSR PT Bank Aceh Syariah hanya membantu pembangunan fisik rumah. Sedangkan tanahnya milik masing-masing KK yang terdampak longsor.

Khusus korban tanah longsor yang tak memiliki tanah sawah di lokasi pembangunan rumah baru, akan dibantu pengadaan tanahnya oleh Pemkab Aceh Besar.

Baca juga: Harga Emas Naik Lagi, Berikut Rincian Harga Emas Hari Ini dan Harga Emas Per Gram Sabtu 3 Juli 2021

Lokasi sawah, tempat rumah-rumah bantuan itu mulai dibangun berjarak sekitar 300 meter dari permukiman penduduk.

Terus amblas

Sebagaimana kerap diberitakan Serambinews.com, pelan tapi pasti, permukaan tanah yang kini merekah dan amblas di Gampong Lamkleng, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar, terus bertambah.

Kedalamannya kini sudah mencapai 7,5 meter, panjang 200 meter, dan lebarnya 250 meter (termasuk longsor di kawasan lereng sungai).

Bertambahnya kedalaman, lebar, dan panjang tanah yang longsor tersebut akibat hujan deras akhir-akhir ini yang kerap mengguyur kawasan Aceh Besar dan Banda Aceh.

"Saya ukur kedalaman titik longsor, berkisar antara 7-7,5 meter dalamnya," kata Munzir (35), tokoh pemuda setempat yang dihubungi Serambinews.com via telepon dari Banda Aceh, Sabtu pagi.

Menurut Munzir, warga Gampong Lamkleng kini berada dalam kondisi dilematis. Bila hujan turun maka permukaan tanah terus bergerak dan longsor, meski penurunannya tak sedahsyat pada medio hingga akhir Januari lalu.

Di sisi lain, bila hujan tidak turun tiga hingga enam hari, maka sawah-sawah penduduk Lamkleng kekeringan. "Maklum, sawah di desa ini masih sistem tadah hujan," kata Munzir.

Baca juga: Ini Daerah Tanam Nilam di Aceh, Cara Pemerintah Aceh Mengembangkannya & Harga Minyak Atsiri Kini

Tenaga Administrasi Komputer pada SMP Negeri 1 Kuta Cot Glie ini juga menambahkan bahwa jumlah pengungsi di desa itu kini jauh berkurang. Hanya tinggal satu keluarga lagi.

Mereka masih tinggal di bawah tenda, karena rumah permanennya tak mungkin lagi ditempati. Dapur dan toiletnya sebagian sudah menggantung karena tanah di bawahnya terus amblas. Demikian pula septic tank, pondok, dan rumpun pohon pisang di belakang rumah tersebut.

Pohon-pohon besar di desa ini juga banyak yang bertumbangan karena berada di lokasi tanah bergerak, di antaranya pohon asam jawa, pohon hagu, dan pohon ceubrek.

Di lokasi pohon yang bertumbangan itu terdapat belasan makam tua dan makam baru. Beberapa di antaranya kini tenggelam, tapi kerangka di dalamnya belum terlihat dari luar.

Ceruk atau bidang gelincir yang selama ini turun, kini tambah turun, itulah yang titik terdalamnya mencapai 7,5 meter. Panjangnya bertambah sedikit, dari sebelumnya sekitar 150 meter kita sudah menjadi 200 meter.

Penambahan rekahan yang signifikan justru terjadi di sebelah selatan desa itu, tepatnya arah ke sungai. Di lokasi itu bukan saja rekahannya bertambah banyak dan lebar, dari bawahnya juga keluar air tanah.

Saat hujan deras mengguyur, kata Munzir, di ceruk yang amblas bertahap sejak 10 Januari lalu itu kini terperangkap air hujan sehingga membentuk seperti kolam dangkal. Airnya mengalir deras ke arah sungai bila hujan lebat dan kering saat kemarau.

Dalam suasana kemarau para pengungsi umumnya meninggalkan tenda dan kembali ke rumah. "Tapi bila malam turun hujan lebat, warga kembali ke tenda untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan," kata Munzir.

Di bagian utara desa yang dipimpin Muhammad Fajri itu terdapat hamparan sawah pola terasering.

Terasering adalah suatu pola atau teknik bercocok tanam dengan sistem bertingkat (berteras-teras atau berundak-undak) sebagai upaya pencegahan erosi tanah.

Setelah hamparan sawah tersebut, melebar ke arah selatan sekitar 300 meter terdapat sungai, yakni Krueng Aceh.

Di antara sawah dan tebing sungai itulah terdapat permukiman penduduk. Di tengah permukiman ini ada jalan aspal selebar 3 meter. Satu setengah meter di antaranta ikut amblas sepanjang 40 meter akibat fenomena tanah bergerak sejak 10 Januari lalu.

Bukan saja badan jalannya yang amblas, tapi beton penahan tebing jalan pun ikut patah dan amblas. Pengemudi sepeda motor harus sangat hati-hati melintas di tempat itu, karena hanya setengah meter lagi badan jalan yang tersisa.

Hanya dua meter ke arah selatan badan jalan yang amblas itu terdapat areal kuburan. Beberapa batu nisan kuburan tersebut tampak terguling dari tempat asalnya.

Sejumlah kuburan juga terpotong oleh garis longsoran. Namun, sejauh ini belum ada kerangka manusia yang tersembul atau terlihat dari luar.

Satu-satunya lokasi yang tak terdampak longsor di desa itu adalah areal sawah di sebelah utara desa. Nah, ke areal sawah itulah para korban longsor direlokasi sesuai dengan lokasi kepemilikan tanahnya.

Dengan demikian, rumah yang kini dibangun tidak berdekatan, melainkan terpencar secara sporadis, sesuai dengan lokasi tanah milik para korban longsor. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved