Opini

Ibadah  Haji dan Kurban ; Transformasi Nilai Sosial

Ibadah Haji yang secara umum merupakan pelestarian dari ajaran nabi- nabi terdahulu, terutama Nabi Ibrahim as yang dijuluki sebagai Bapak para Nabi

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Ibadah  Haji dan Kurban ; Transformasi Nilai Sosial
FOR SERAMBINEWS.COM
Musliadi, S.Sos.I, MA,  Pegawai pada Dinas Syariat Islam Aceh dan Wakil Ketua PWPM Aceh

Oleh Musliadi, S.Sos.I, MA,  Pegawai pada Dinas Syariat Islam Aceh dan Wakil Ketua PWPM Aceh

Ibadah Haji yang secara umum merupakan pelestarian dari ajaran nabi- nabi terdahulu, terutama Nabi Ibrahim as yang dijuluki sebagai Bapak para Nabi atau Khalilullah (kekasih Allah). Ibadah tersebut merupakan perintah Allah SWT bagi umat Islam yang mempunyai kemampuan secara finansial dan kemampuan fisik. Karena dari seluruh rangkaian ibadah haji itu adalah ibadah yang membutuhkan kesehatan fisik baik secara lahiriah maupun bathiniah.

Di samping itu, seorang yang telah berhaji harus menjadi teladan kejujuran, kerendahan hati, keikhlasan, kedermawanan dan kepedulian sosial yang sangat dibutuhkan oleh orang lain yang masih hidup dalam kondisi belum berkecukupan.

Barangkali inilah spirit dan pesan lain dari ibadah haji yang ditunaikan. Cendekiawan Muslim Ali Shariati dalam bukunya berjudul Haji, menitip pesan moral bagi orang yang melaksanakan ibadah haji:  “Wahai Haji, jadikanlah negerimu sebuah negeri yang aman karena engkau telah pulang dari tanah haram, jadikanlah zamanmu zaman yang mulia seolah-olah engkau tetap berada di dalam keadaan Ihram, jadikanlah dunia ini seakan menjadi masjid suci karena engkau telah pulang dari Masjid Al-Haram; karena seharusnya seluruh permukaan bumi ini merupakan masjid Allah SWT, meski yang engkau saksikan sering tidak demikian” .

Bagi orang-orang yang tidak melaksankan iabadah haji, diperintahkan untuk melaksanakan ibadah Idul Adha. Mulai puasa di hari Arafah, menyertai jamaah haji yang sedang wukuf, shalat ’Id dan menyembelih binatang qurban bagi yang memiliki kemampuan finansial. Dalam ibadah ini manusia diajak untuk meneladani dua kekasih Allah SWT, yakni Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s yang telah lulus dari ujian yang maha berat.

Sebuah pengorbanan yang luar biasa. Betapa tidak, putra yang sudah dinantikan dan didambakan kelahirannya diharapkan kelak menjadi penerus keturunan dan perjuangannya, justru diperintahkan oleh Allah SWT untuk disembelih.

Inilah bentuk pengorbanan yang luar biasa dari diri Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail a.s yang rela menyerahkan jiwa dan raganya untuk mengabdi kepada Allah SWT. Namun, ketika mereka telah memulai melaksanakan perintah itu, Allah SWT pun memanggilnya dan melarang pelaksanaan penyembelihan tersebut, dan untuk meneruskan kurban, Allah swt menggantinya dengan seekor sembelihan yang besar. Peristiwa ini diabadikan oleh Allah SWT dengan disyariatkannya ibadah kurban.

Perintah tersebut disebutkan dalam Alquran ,” Telah kami tebarkan nikmat yang banyak kepadamu, maka dirikanlah shalat dan berkurbanlah(Q.S. 108 : 1-2).

Transformasi nilai Sosial

Teks perintah kurban tersebut tentunya tidak harus diinterpretasi secara leksikal atau tekstual saja, namun perlu dipahami secara kontekstual yang bias dijadikan jawaban atas realitas sosial kekinian, sehingga makna firman Allah SWT tersebut tidak hanya sebagai ritual bacaan semata. Tetapi makna ayat tersebut perlu diimplentasi dan ditransformasikan dalam kehidupan sosial dan bahkan bernegara.

Ibadah kurban merupakan simbol pengorbanan antara hamba dengan Sang penciptanya yaitu Allah SWT yang dalam Islam disebut dengan ibadah. Karena hakikat ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah  SWT dengan menjalankan dan tunduk kepada perintah Allah  dan menjauhi semua larangan-Nya. Sangat tepat pernyataan Allah SWT yang menegaskan bahwa dalam ibadah kurban itu bukanlah daging-daging sembelihan kurban itu yang akan sampai kepada Allah SWT, tetapi ketakwaan orang yang berkurban itulah yang akan sampai kepada Allah (Q.S. Al Haj : 37).

Untuk itu ibadah kurban tersebut mempunyai substansi sebagai bentuk pengorbanan yang mempunyai dampak sosial dalam kehidupan masyarakat sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT agar manusia selalu memperhatikan orang lain. Kekayaan dan jabatan yang dimiliki seseorang harus menjadikan orang lain bahagia bukan malah sebaliknya menjadikan dirinya semakin egois hidup berkecukupan dan bahagia, sementara masih ada orang lain yang memiliki nasip kurang baik dan serba kekurangan.

Allah SWT sudah mengingatkan bahwa orang yang mendustakan agama, dia shalat tapi shalatnya itu sia-sia, yaitu orang-orang yang menghardik anak yatim dan tidak mau memberi makan fakir miskin. Ini jelas peringatan bagi kita agar dalam kehidupan ini tidak cukup hanya beribadah semata, namun agama memerintahkan umatnya untuk selalu berinteraksi sosial dan peka terhadap realita dalam kehidupan bermasyarakat.

Menurut Dr. Kamaruddin Hidayat,  kurban yang benar dapat menumbuhkan sikap dan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga individu dan kelompok sosial terjamin hak-haknya sebagai manusia yang merdeka dan bermartabat. Oleh karena itu, ibadah kurban itu mempunyai dimensi ilahiyah dan kemanusiaan. Satu sisi kurban merupakan pengorbanan seorang hamba kepada Allah SWT, di sisi lain adalah sebagai upaya merekonstruksi dan mengaktualisasikan nilai-nilai sosial dan komitmen solidaritas antar sesame manusia.

Konstruksi nilai-nilai sosial dan komitmen solidaritas tersebut tentunya harus ditransformasikan dalam langkah kongkrit. Saat ini masih banyak saudara-saudara kita yang masih hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan. Maka kepedulian terhadap sesama sangat dianjurkan dalam rangka meringankan beban yang diderita oleh sebagian saudara-saudara kita tersebut.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved