Wawancara Khusus
Ada Orang Ingin Lakukan Pengacauan
Meski pandemi Covid-19 sudah melanda Tanah Air satu setengah tahun, namun masih ada kelompok masyarakat hingga tokoh agama
MESKI pandemi Covid-19 sudah melanda Tanah Air satu setengah tahun, namun masih ada kelompok masyarakat hingga tokoh agama yang tidak mempercayai virus corona. Wakil Presiden (Wapres) RI, KH Ma'ruf Amin, mengatakan, fenomena yang dialami Indonesia merupakan pengaruh dari fenomena global.
Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya mulai edukasi hingga penjelasan oleh para pihak terkait ke masyarakat. Ma'ruf juga turun tangan untuk bersinergi dengan ulama secara virtual, demi memberikan pengertian kepada masyarakat hingga tokoh agama yang tak percaya corona. "Saya kumpulkan ormas-ormas Islam, dan semua ormas yang sekian ratus itu sepakat bahwa ini harus ditanggulangi dan ini adalah sesuatu yang nyata. Dalam tataran ormas, hampir tidak ada yang berpikiran seperti itu," ujar Ma'ruf, saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra, dan News Manager Tribun Network, Rachmat Hidayat, Kamis (12/8).
Berikut wawancara khusus Tribun Network bersama Wakil Presiden RI, KH Ma'ruf Amin:
Pandemi sudah berjalan 1,5 tahun, namun masih ada kelompok masyarakat bahkan tokoh agama yang tak percaya Covid-19, tidak bersedia menggunakan masker, dan menolak divaksin?
Pertama, fenomena tidak percaya Covid-19 itu bukan hanya kita yang alami.
Ini fenomena global, di Amerika Serikat juga menurut survei ada 30 persenan, di Prancis juga ada.
Jadi, apa yang terjadi di kita itu juga pengaruh dari fenomena global itu.
Pemerintah terus melakukan edukasi, berbagai penjelasan oleh Presiden, Wakil Presiden, para menteri, dan satgas dibantu oleh media secara masif.
Kontranarasinya itu sebenarnya sudah dilakukan dengan baik.
Saya sendiri tentu bicara dengan seluruh ulama di daerah melalui virtual.
Kemudian saya juga mengumpulkan ormas-ormas Islam dan semua ormas yang sekian ratus ormas itu.
Semua sepakat bahwa ini harus ditanggulangi dan ini adalah sesuatu yang nyata. Jadi, kami dalam tataran ormas hampir tidak ada yang berpikiran seperti itu.
Bahkan melalui berbagai kegiatan di pesantren, istighozah, haul, saya sebutkan bahwa persoalan Covid-19 ini bukan sesuatu yang diduga.
Ini menurut ajaran agama begitu, kita harus bersiap terhadap bahaya yang diduga akan datang. Covid-19 ini bukan diduga, tapi sesuatu yang diyakini adanya, nyata.
Persoalan ini kan bahaya yang mengancam negara.
Manakala ada bahaya yang mengancam negara, itu menjadi tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia, terutama ulama.
Covid-19 itu bukan hanya tanggung jawab kenegaraan dan kebangsaan, tapi juga keagamaan.
Sebab, menjaga diri dari wabah ini wajib, maka saya menggunakan istilah penanganan Covid-19 itu masalah agama sesuai syariat, dalam upaya melindungi dan menjaga masyarakat, ini tanggungjawab ulama.
Saya tanyakan mana masyarakat yang masih tidak percaya.
Masih ada sedikit, dan itu digarap.
Buktinya sekarang mereka minta divaksin dimana-mana.
Sampai di daerah kurang vaksin, seluruh daerah menyatakan masih minta vaksin.
Pemerintah terus menyiapkan vaksin supaya mereka bisa divaksin sampai akhir 2021.
Ini akhir 2021 (diharapkan vaksinasi) ini selesai.
Vaksinnya ini sudah kita siapkan, masyarakat juga sudah siap, tapi kecepatan memvaksin ini juga jadi masalah.
Ini bukan masalah gampang, karena harus memvaksin sekian banyak masyarakat dengan daerah yang terpisah-pisah.
Beredar hoaks di masyarakat. Seperti orang yang dirawat di rumah sakit justru meninggal, disuntikkan ke masyarakat itu racun, hingga vaksin itu sesuatu yang bisa mengganggu tubuh.
Berita bohongnya sudah diklarifikasi bahwa itu tidak benar.
Klarifikasi dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dari aspek kesehatan, dari Kominfo bahwa berita itu bohong dan dijelaskanlah bahwa yang meninggal itu bukan karena vaksin tapi karena memang ada penyakit yang dibawa.
Memang, karena ada orang yang ingin coba melakukan pengacauan, di setiap masa pasti ada.
Kalaupun bukan isu Covid-19 ya isu lain, agar membuat tidak percaya kepada pemerintah.
Nah, sekarang ini masalah Covid-19 dan kesulitan ekonomi yang dijadikan isu yang di-blow up terus.
Kelompok-kelompok ini memang yang pada dasarnya tidak suka dengan pemerintah.
Ini yang terus kita lakukan, klarifikasi, edukasi.
Saya bertemu dengan tujuh gubernur di Jawa dan Bali, saya minta kalau di daerah masih ada kelompok tersebut, supaya dilakukan pendekatan dengan baik, dirangkul, didekati secara humanis, diberi pengertian sehingga dia bisa kembali.
Ini terus dilakukan, kita tidak bosan-bosan.
Karena kita beranggapan bahwa kelompok ini akan terus ada. Hanya sekarang memperoleh momentum karena ada medsos.
Jadi ada sarananya untuk membuat kegaduhan.
Medsos era digital di satu sisi menguntungkan, di sisi lain isu negatif juga bisa berkembang dengan cepat.
Ini masa terjadinya keserupaan, kesamaran antara yang benar dan salah.
Nah ini yang saya kembangkan terus kepada masyarakat dan saya minta kiai-kiai juga menyampaikan bahwa jangan terkecoh, karena ini sedang terjadi masa terserupakan antara yang benar dan salah ini samar.
Sehingga kita harus hati-hati.
Adanya gelombang kedua Covid-19, pemerintah menerapkan PPKM Darurat Jawa-Bali, tapi muncul fenomena bendera putih, apakah kita perlu memberi kelonggaran?
Di Jawa sudah mengalami penurunan kasus Covid-19. Walau belum signifikan betul, namun sudah turun.
Tapi, di luar Jawa ada kenaikan di beberapa daerah.
Untuk Jawa, karena banyak kabupaten yang sudah mulai menurun dari level 4 ke level 3, maka diberi kelonggaran.
Soal PPKM, pemimpin di daerah itu masih sporadis, belum semua melakukan sentuhan kultural. Bagaimana Pemerintah Pusat mendorong pemda hingga pemerintah desa untuk menggerakkan kekuatan tokoh-tokoh?
Pemerintah sudah melakukan berbagai arahan petunjuk dalam rakor untuk melakukan.
Makanya disebutkan PPKM itu kan artinya pembatasan sampai ke tingkat mikro, itu mikro sampai ke tingkat RT, jadi ini pengawasannya sampai ke tingkat RT.
Sebenarnya, program itu supaya pemda kemudian melakukannya sampai ke tingkat bawah.
Pertemuan saya dengan tujuh gubernur di Pulau Jawa, semua memiliki program-program itu, karena memang mereka menghadapi sendiri.
Persoalannya kalau tidak ada bantuan warga, pemerintah akan berikan solusi.
Saya memang belum bertemu dengan gubernur di luar Jawa, tapi dari program PPKM itu sebenarnya di tingkat mikro pembatasan perlu ada upaya kearifan lokal, jadi kalau memang di Jambi belum terasa itu, saya akan sampaikan kepada provinsi yang masih belum untuk perlu diberikan solusi-solusi.
Soal baliho politik marak dari menteri tertentu, bagaimana tanggapan Pak Wapres? Sebab, menteri-menteri ini punya tanggung jawab yang sangat besar mengatasi masalah pandemi.
Baliho ini memang ini nggak dilarang. Tapi ini sebenarnya memang tanggung jawab kita sendiri ya.
Kalau sebagai pejabat, tanggung jawab itu bagaimana dia melaksanakan jabatannya itu.
Sebenarnya masih terlalu dini (kampanye 2024) tapi sekarang sudah mulai dimana-mana politik, jadi pada takut ketinggalan kereta.
Sebenarnya yang bikin masalah itu media juga sih, media sudah mulai memancing-mancing, akhirnya pada keluar semua. 'Oh si ini surveinya sekian', akhirnya yang ketinggalan nyoba. Jadi ini sudah sesuatu yang memang harus kembali kepada masing-masing tokoh itu sendiri. Kalaupun dia mau, mestinya yang dia jual kinerjanya, kalau kinerjanya baik kan tak usah pasang baliho. Saya kira nanti baliho itu akan ditertibkan supaya jangan mengganggu pemandangan, (tapi) pada saatnya (akan) dibuka, kalau belum saatnya sebaiknya tidak dulu.
Kita sekarang mestinya fokus bagaimana menghadapi Covid-19, apa yang kita pikirkan, omongkan, langkahkan itu bagaimana mengatasi Covid-19.
Ini kan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi sesemuanya bagaimana bisa memberi kontribusi dalam penanggulangan Covid-19.
Jadi harus digalakkan di masyarakat dengan dibantu oleh pers. (tribun network/Vincentius Jyestha)