Jurnalisme Warga
Surat Terbuka dari Seorang Dokter Paru
Face shield dan masker yang saya pakai membuat suasana makin sunyi senyap. Kulit terasa panas, peluh mengalir deras, mulut mulai terasa kering

Lebih pahit lagi, ternyata ibunya telah lama mendahului.
Bagaimana hidup anak Anda nanti, jika ia harus tinggal sebatang kara?
Mungkin saya tidak perlu menanyainya, tapi rasa penasaran saya tak bisa ditahan.
Sejenak saat saya bertanya, bulir panas deras mengalir dari matanya.
Anak Anda terdiam sejenak, lalu menghela napas.
Dia katakan bahwa dia sudah berkali-kali memohon Anda untuk segera divaksinasi.
Tapi Anda bersikeras menolaknya.
Sekarang dia sungguh menyesal, seharusnya dia dulu memaksa dan mendorong Anda untuk pergi ke tempat vaksinasi.
Penyesalannya sangat dalam, tapi kini sudah tak akan berguna lagi.
Memang tidak ikut vaksinasi adalah keputusan Anda, kemauan sendiri, tidak ada yang mengancam.
Tapi saya ingin sekali tahu, apakah penolakan itu sebanding dengan kondisi parah yang terjadi sekarang?
Seorang ayah yang menderita penyakit sangat berat, anak yang sudah kehilangan ibunya dan mungkin beberapa hari lagi akan kehilangan ayah selamanya.
Saya pikir, ini sangat tidak adil.
Anak Anda menangis sepanjang waktu saat saya berbicara dengannya di telepon.
Tangisnya pilu. Saya mungkin akan sangat sulit melupakan kejadian ini.