Pemkab Jangan Berpangku Tangan, Terkait Anak Gugat Ibu Kandung
Kasus anak menggugat ibu kandung hanya gara-gara harta warisan di Kota Takengon, Aceh Tengah, menjadi sorotan publik
TAKENGON - Kasus anak menggugat ibu kandung hanya gara-gara harta warisan di Kota Takengon, Aceh Tengah, menjadi sorotan publik. Bahkan kabar viral ini, sudah menyebar seantero negeri.
Banyak pihak yang menyayangkan tindakan itu. Apalagi dilakukan oleh orang yang konon sudah mengecap pendidikan S3 serta menduduki jabatan penting di jajaran Pemkab Aceh Tengah. Penggugat berinisial AH itu pun kini dicap publik sebagai “anak durhaka”.
Beberapa tokoh Aceh, bahkan tokoh nasional seperti Anggota DPD-RI Haji Uma (Sudirman) dan Anggota DPR-RI, Nasir Djamil, ikut menanggapi kabar yang sedang hangat di kota dingin Takengon itu. Selain senator dan politisi itu, seorang Budayawan yang juga Kolektor Manuskrip Aceh, Tarmizi Abdul Hamid ikut menyoroti persoalan tersebut.
Menurut Cik Midi--sapaan Akbar Tarmizi Abdul Hamid--Pemerintah Aceh Tengah, jangan berpangku tangan karena oknum yang menggugat ibu kandungnya itu, merupakan seorang pejabat di lingkup Pemkab Aceh Tengah.
“Sejatinya, kasus seperti ini tidak layak terjadi di Provinsi Aceh. Terutama di Tanah Gayo yang dikenal sebagai negeri Kerajaan Linge. Apalagi, Gayo dikenal dengan sistem kerukunan rumah tangga yang memiliki etika budaya Islam yang tinggi,” katanya.
Semestinya, lanjut Cik Midi, jika beberapa lembaga terkait ikut berperan, termasuk Pemkab Aceh Tengah, maka kejadian “memalukan” seperti ini, tidak akan terjadi. Bahkan hingga sampai ke lembaga hukum formal. “Masih banyak sekali cara-cara lain yang bisa dilakukan,” lanjutnya.
Menurutnya, Provinsi Aceh memiliki lembaga-lembaga keistimewaan, termasuk di Tanah Gayo, seperti Majelis Adat Gayo (MAG), MPU, serta pemerintah kampung yang juga memiliki wewenang untuk menyelesaikan pertikaian tersebut. “Apakah lembaga-lembaga ini, tidak berfungsi lagi,” tanya Cik Midi.
Dijelaskan, ada beberapa regulasi yang mengatur wewenang dan hak untuk menyelesaikan persoalan diatas. Seperti diatur dalam beberapa Qanun, diantaranya Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Selanjutnya, Qanun Aceh No. 10 tahun 2008 tentang lembaga adat, Qanun No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Qanun No. 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Propinsi Nanggroe.
Kemudian ditambah lagi, selain qanun yaitu Peraturan Gubernur Nomor 60 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa/Perselisihan Adat dan Istiadat. Keputusan Bersama Gubernur, Kepala Kepolisian Daerah Aceh, dan Ketua Majelis Adat Aceh, nomor 189/677/2001, 1054/MAA/XII/2011, B/121/I/2012, tanggal 20 Desember 2011.
“Nah, keberadaan lembaga daerah ini, punya cara tersendiri untuk menyelesaikan sengketa sesuai dengan kearifan lokal, adat dan budaya Gayo dalam bingkai Syariah Islam. Jadi, para orang tua yang duduk di lembaga ini, diharapkan bisa membantu para pihak yang bertikai,” harapnya.
Ditambahkan, sengketa bukan sebuah pertarungan untuk dimenangkan tetapi untuk di selesai kan secara damai sesuai adat istiadat Gayo itu sendiri. Namun sangat disayangkan kejadiannya sudah menjadi viral serta menjadi konsumsi publik yang menyebar hampir di seluruh negeri.
“Apalagi penggugat ini, punya pendidikan yang sangat tinggi serta pejabat pemerintahan setempat. Semestinya dia (AH-red) menjadi panutan masyarakat bukan sebaliknya. Ironisnya, ibu kandungnya sendiri digugat. Apalagi nanti dengan bawahannya,” pungkasnya.(my)