Opini
Keadilan dalam Warisan
Dari banyak hal yang menjadi perhatian syariat yang berhubungan dengan urusan muamalah adalah perkara hibah, wasiat serta warisan

Pernah suatu ketika seseorang menghadap Rasulullah dengan anaknya, lalu berkata, “Sesungguhnya aku akan memberikan budakku ini kepada anakku ini, Rasulullah bertanya, apakah seluruh anakmu engkau berikan pemberian yang sama? Dia menjawab, “tidak” Rasulullah bersabda “jangan engkau persaksikan aku dengan kejahatan (kezaliman) ini, kemudian Rasulullah melanjutkan apakah engkau mau kalau sikap bakti yang mereka berikan sama? dia menjawab iya, kalau begitu tidak”.(HR: Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits di atas terang sekali bahwa bersikap adil terhadap anak adalah suatu kewajiban agar tidak timbul kebencian dan permusuhan dalam sebuah keluarga.
Dan lebih baik kalau pemberian (hibah) itu dicatat serta menghadirkan saksi guna menghindari perselisihan di kemudian hari.
Sementara wasiat, adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dengan niat sedekah akan tetapi penyerahannya dilakukan ketika si pemiliki harta sudah meninggal.
Sebagai contoh, orang tua memanggil anaknya, lalu berkata bahwa ia hendak mewasiatkan sebahagian hartanya untuk panti asuhan.
Maka anak-anaknya wajib menunaikan wasiat tersebut akan tetapi syariat mengatur besarnya wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggalkan oleh si pemilik harta.
Dan wasiat juga tidak dibenarkan untuk diberikan kepada ahli waris kecuali dengan persetujuan ahli waris lainnya.
Adapun waris, adalah berpindahnya kepemilikan harta dari seorang yang meninggal kepada ahli warisnya secara otomatis (langsung) tanpa harus adanya izin atau wasiat dari si pemilik harta (yang meninggal).
Untuk menghindari sengketa dan perselisihan maka sebaiknya harta warisan langsung dibagikan ketika si pemilik harta meninggal dunia.
Sekilas ada kemiripan dari masing-masing ketiga hal di atas, yaitu samasama berpindahnya harta dari seseorang kepada orang lain baik kepada ahli warisnya ataupun bukan kepada ahli warisnya.
Akan tetapi syariat membedakan ketiga hal tersebut secara rinci.
Maka seorang muslim, harus benar-benar memiliki pengetahuan serta patuh terhadap aturan syari’at ketika menjalankan hal tersebut.
Namun dalam praktiknya, banyak dari masyarakat yang masih menyamakan atau mencampuradukkan ketiga hal di atas.
Atau mungkin sudah ada ilmu terhadapnya akan tetapi mencoba untuk mengelabui atau berusaha untuk mencari dalih atau alasan keadilan lain untuk memperturutkan hawa nafsu.
Mereka ragu dengan keadilan yang telah ditetapkan Allah melalui Alquran dan Rasul- Nya.