Gaura Mancacarita, Pria Asing yang Berperan Atas Masuknya Saman dalam Daftar Warisan Budaya UNESCO

Gaura Mancacarita, mengatakan, Tari Saman diusulkan untuk mengimbangi usulan-usulan sebelumnya yang didominasi dari Pulau Jawa.

Penulis: Yeni Hardika | Editor: Mursal Ismail
Serambi Indonesia
Gaura Mancacarita (tengah) foto bersama dengan sejumlah tokoh Aceh. 

Tari Saman mempromosikan persahabatan, persaudaraan dan niat baik dan memperkuat kesadaran akan kelangsungan sejarah masyarakat Gayo.

Namun tarian ini dianggap menghadapi melemahnya mode transmisi informal dan formal.

Itu karena berkurangnya kesempatan untuk pertunjukan serta hilangnya ruang budaya tempat transmisi terjadi.

Terkait dengan perubahan sosial, ekonomi dan politik yang mencakup penetrasi media massa dan pedesaan- migrasi perkotaan generasi muda, pengetahuan tentang unsur tersebut dinilai semakin berkurang dan kegiatan komersial meningkat.

Sehingga akan mengancam kelangsungan makna tari Saman bagi masyarakatnya.

Tari Saman semakin mendunia

Gaura Mancarita menilai, setelah diakui UNESCO sejak 2011, Saman semakin maju.

Menurut Gaura, transmisinya berjalan, sehingga Saman kini diajarkan di sekolah.

Baca juga: Sama-sama dari Aceh, Ini Perbedaan Tari Saman dan Ratoh Jaroe yang Mendunia

"Nah, nanti dipindahkan Saman dari Daftar dengan Perlindungan Mendesak ke Kategori Refresentatif. Itu cita-cita kita," katanya di Jakarta, Senin (18/7/2022).

Ia juga menyarankan agar Saman dijadikan sebagai bahan ajar di sekolah, bukan hanya di Gayo Lues melainkan seluruh sekolah di Indonesia.

"Untuk Aceh, barangkali bisa dibuatkan Peraturan Daerah atau Qanun bahwa Saman itu wajib dipelajari di Gayo Lues maupun di daerah lain," katanya.

Dengan demikian, ucapnya, nilai-nilai Saman bisa ditransmisikan ke generasi penerus.

"Itu bukan berarti semua orang bisa jadi pemain Saman. Tapi paling tidak sebagai apresiasi, sehingga budaya Saman itu akan hidup dan berkembang," ujar Gaura.

Tari Saman gayo diikuti oleh penari yang terdiri dari pria.

Mereka melakukan Saman sambil duduk atau berlutut dalam barisan yang rapat.

Masing-masing mengenakan kostum hitam yang disulam dengan motif Gayo warna-warni yang melambangkan alam dan nilai-nilai luhur.

Pemimpinnya duduk di tengah barisan dan memimpin nyanyian syair, kebanyakan dalam bahasa Gayo.

Ini menawarkan bimbingan dan bisa bernuansa religius, romantis, atau lucu.

Penari bertepuk tangan, menepuk dada, paha, dan tanah, menjentikkan jari, dan mengayunkan dan memutar tubuh dan kepala mereka pada waktunya dengan ritme yang berubah – serempak atau bergantian dengan gerakan penari lawan.

Gerakan-gerakan ini melambangkan kehidupan sehari-hari masyarakat Gayo dan lingkungan alamnya.

Saman dilakukan untuk merayakan hari besar nasional dan keagamaan, mempererat hubungan antar kelompok desa yang saling mengundang untuk pentas.

Setelah diakui UNESCO sejak 2011 lalu sebagai warisan budaya tak benda milik dunia yang wajib dilestarikan dan dipertahankan keberadaannya.

Pada 24 September 2011, Tari Saman berhasil memukau ribuan penonton yang memadati Stadion Seribu Bukit, Gayo Lues, saat rekor MURI dipecahkan oleh 5054 penari.

Berselang 7 tahun kemudian, tepatnya Minggu 13 Agustus 2017, tari saman kembali menarik perhatian puluhan ribu penonton dari daerah itu, maupun dari berbagai penjuru Indonesia.

(Serambinews.com/Yeni Hardika)

BACA BERITA LAINNYA DI SINI

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved