Rapai Uroeh
Rapai Uroeh Dari Teluk Samawi di Bandar Sumatera
Amin menuturkan tentang rapai dan mengisahkan bagaimana dia memulai karirnya dalam seni warisan indatu tersebut
Muhammad Amin - Nasib Rapai Uroh Duek dari Teluk Samawi Sekarang

Menjelang tengah hari, yang cerah itu, Muhammad Amin duduk di rumahnya, di Gampong Meunasah Dayah (Paloh Dayah), Mukim Paloh Timu, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe.
Pria berusia lebih setengah abad itu mengenakan kain sarung dan kaos jersey sebuah klub sepakbola. Hari itu, dia ditemani anak dan cucunya di rumah, di ujung selatan Paloh Dayah.
Sebagaimana umumnya perkampungan kawasan perbukitan dan persawahan di sana, rumah Amin berada di antara pohon kelapa dan pepohonan rindang. Rumah itu merupakan berupa bangunan semi permanen, di kaki sebuah bukit yang diratakan untuk dudukan rumah.
Paloh Dayah adalah sebuah gampong tanpa dataran, hanya memiliki persawahan dan bukit-bukit becil berbaris yang mengelilingi desa. Apabila ingin membangun rumah, penduduknya harus meratakan sedikit tebing bukit, atau menimbun sawah.
Namun, gampong ini selalu punya lapangan sepakbola. Sampai beberapa tahun lalu, lapangannya adalah sawah kering yang dipinjam pakai. Sekarang, lapangan dipindahkan ke kaki bukit yang diratakan di sebelah sawah milik gampong. Penduduk Paloh Dayah merupakan penggila sepakbola, selain penggila rapa’i (dulu, sebelum dilarang oleh Teungku Imum Meunasah sekarang). Warga di sana juga suka memburu babi hutan.
Udara menjelang siang itu hangat sebagaimana biasanya. Di atas 30 derajat Celcius. Suara kicau burung dan desau angin pada dedaunan selalu terdengar.
Muhammad Amin merupakan seorang kali rapa’i dari Paloh Dayah. Di masa mudanya, dia juga pemain sepakbola handal di kawasan Lhokseumawe. Dia juga mahir memburu babi hutan, yang menjadi hama tanaman ubi, tanaman andalan Paloh Dayah sebagai produsen kerupuk ubi.
Menjelang siang itu, Amin menuturkan tentang rapai dan mengisahkan bagaimana dia memulai karirnya dalam seni warisan indatu tersebut.
Amin belajar rapa’i sudah sejak puluhan tahun lalu di Meunasah Dayah, saat itu masih wilayah Kecamatan Muara Dua, Aceh Utara. Masa itu Kota Administrasi Lhokseumawe belum terbentuk.
Dia belajar rapa’i bertepatan pada masa pipa gas meledak di jalan line pipa, antara Blang Lancang dan Landeng. Perekrutan anggota calon penabuh rapa’i tidak meminta persyaratan khusus, hanya membutuhkan kemauan kuat dari peminatnya. Pada waktu itu, Amin belajar rapa’i bersama belasan warga lainnya.
Amin dan kawan-kawan dibina oleh Muhammad Yusuf dari Lhok Mon Puteh, yang khusus diundang untuk mengajari cara bermain rapa’i. Amin belajar dengan serius sehingga memahami seluruh pelajaran secara cepat. Dia menyukai rapa’i karena suaranya dapat membangkitkan semangat.
Di kawasan Mukim Paloh dan sekitarnya, jumlah perserta setiap kelompok rapa’i untuk tampil saat uroh, idealnya harus berjumlah 25 orang.
“Satu tim harus 25 orang penabuh supaya dapat menjaga suara rapai tetap padu menggema. Dalam satu tim, di antara 25 penabuh, empat orang di antaranya diangkat menjadi kali, empat orang menjadi apet (pengapit) kali, sementara sisanya disebut rakan,” kata Amin.
Dalam arena Rapa’i Uroh, ada satu lagi istilah nama yang sering disebut, yaitu khalifah. Setiap tim atau grup rapa’i uroh memiliki dua orang khalifah hingga di garis pembatas berdiri empat orang khalifah.
“Khalifah bertugas menjaga keamanan saat berlangsungnya uroh. Mereka menjaga supaya tim masing-masing yang tengah bertanding tidak saling mencaci, tidak saling mencela dan tidak membuat kerusuhan,” katanya.
Dalam tiap serangkaian acara Rapa’i Uroh biasanya ada beberapa lagu atau ada cara menabuhnya tersendiri. Permainan rapa’i dimulai dengan tabuhan pembuka. Kemudian dilanjutkan dengan syair saleum (salam) dan diakhiri dengan lagu atau syair Burak Meunari.
Amin membacakan penggalan dari syair Burak Meunari.
“Burak meunari adoe e ateuh rueng gunong. Bak cabeueng bungong limpeuen ngon kala.” (Aceh, terjemahan: Burak menari wahai adik di atas punggung gunung, di cabang kembang limpan dan kalajengking).
“Bek gundah hate peularha bayeuen. Kureung umpeuen jipo lan rimba. Musem mu'ue jiwo saboh. Musem keumeukoh jiwo bandua.” (Jangan gundah hati memelihara beo. Kurang makanan ia terbang ke rimba. Musim menanam kembali satu, musim panen nanti kembali keduanya).
Umumnya, setiap acara Rapa’i Uroh diadakan akan berlangsung selama dua jam dengan sekira tujuh irama lagu dan masing- masing setiap lagu tabuhan membutuhkan waktu sekira 15 menit.
“Dalam keadaan kurang beruntung, terkadang irama lagu tabuhan tak sempat dimainkan seluruhnya disebabkan tabuhan kubu penabuh sebelah lebih kencang. Di saat seperti itu terkadang tinggal menunggu lagu terakhir Burak Meunari,” kata Amin.
Dalam kancah dunia rapa’i sekarang, Amin telah menjabat sebagai kali. Seorang kali bertugas mengontrol memandu suara tabuhan saat tengah uroh. Meski tinggal di kawasan Lhokseumawe yang berdekatan dengan pusat peradaban Pasee di seputaran kawasan Geudong, Aceh Utara, Amin belum pernah memainkan rapa’i uroh dong (Rapa’i Pasee).
Kata Amin, bahan untuk kulit Rapa’i Uroh Duek adalah kulit kambing yang dikeringkan, berukuran sedang. Sementara Rapai Pasee, baloh-nya berukuran lebih besar, membutuhkan kulit yang lebih besar dan tata cara mainnya juga berbeda.
Jika rapa’i berbahan baku langka, yaitu baloh-nya (ring) dibuat dari akar pohon Tualang. Akar Tualang yang membentangi sungai gunung (melintang jurang) adalah terbaik untuk baloh rapai. Untuk baloh rapa’i langka tersebut akan digunakan kulit kambing terbaik.
Rapai dengan baloh langka seperti itu memiliki kekuatan tersendiri, gemanya sangat kuat menggelegar, atau dengan istilah lain disebut “meujen”.
Rapa’i semacam ini disebut “rapai ulee” (rapa’i pemimpin), suaranya terdengar lebih nyaring menggelegar membuat rapa’i lain tanpa sadar mengikuti irama tabuhannya. Grup yang memiliki rapa’i ulee selalu memenangkan tunang (pertandingan rapa’i uroh).
Namun, tidak semua orang dapat menjadi penepuk rapa’i ulee. Tidak semua orang dapat memunculkan suara gema menggelegar dari rapa’i ulee tersebut. Terkadang, rapa’i ulee yang memiliki gaung luar biasa dan dianggap memiliki kekuatan gaib serta sering jadi juara di tunang akan dihargai sangat mahal. Ketika pemiliknya sudah uzur, rapa’i ulee tersebut akan jadi rebutan.
Rapa’i yang sudah menjadi legenda seperti itu biasanya akan menjadi “petualang”, sering berpindah dari satu pemilik ke pemilik lain, dari satu kampung ke kampung lain. Rapa’i jenis ini akan terus dibayar dengan harga mahal oleh para pecinta rapa’i sejati
Bercerita tentang rapa’i berdaya sakti tersebut, Amin juga sempat menyinggung soal rapa’i di kulam peninggalan Teungku Chik di Paloh di Meunasah Dayah. Dalam cerita rakyat, kulam misteri itu menyimpan rapa’i Teungku Chik di Paloh.
Puluhan tahun lalu, sebelum Amin menjadi kali rapa’i duek seperti sekarang, dahulu di Meunasah Dayah, di antara beberapa kali lainnya, ada kali Sulaiman yang memiliki sebuah rapa’i ulee, yang berdaya setengah sakti atau meuasoe (Aceh, terjemahan: berisi kekuatan gaib) buatan Utoh Dadeh.
“Sewaktu muda, saya pernah menyaksikan dan mendengar sendiri gaung khas suara dari rapa’i kali Sulaiman tersebut. Rapa’i nyan bila meugiduk keumong boh kreih, bila meusipak keumong gaki (rapa’i itu, jika diduduki akan membengkaklah kemaluan orang yang mendudukinya, jika disepak akan membengkak kaki yang menyepaknya),” cerita Amin soal rapa’i milik kali Sulaiman.
Muhammad Amin menceritakan, rapa’i milik kali Sulaiman itu kini telah menjadi legenda yang berkelana ke berbagai kampung, diperjual-belikan dengan harga tinggi.
Dalam perjalanan budaya, Aceh memiliki adat. Rapa’i tidak bisa ditabuh sembarang waktu. Pada waktu-waktu tertentu, rapa’i harus digudangkan dimulai dari memasuki 15 Syaban sampai Idul Fitri dan juga saat hari raya Idul Adha, selama musim haji, sampai jamaah haji kembali, dan pantang pula menabuh rapa’i pada bulan maulid Nabi, Rabiul Awwal.
Amin mengatakan, di era tahun 1960-an, tim rapa’i Paloh Dayah satu tim dengan tim dari Blang Lancang dan Meunasah Sukon/Meuria Paloh/Paloh Meuria.
“Sekarang pun di Muara Satu, tidak semua gampong memiliki rapa’I, termasuk Paloh Dayah sendiri. Yang memiliki rapa’i seperti Cot Trieng, Paloh Punti, dan lainnya,” kata Amin, yang pada waktu acara acara rapa’i akbar di Lhokseumawe ikut atas nama gampong lain karena Paloh Dayah tidak memiliki tim rapa’i.
Dalam perjalanan waktu, dari belasan peserta belajar rapa’i se-angkatannya, hanya dia dan beberapa teman yang sering mendapatkan tawaran ikut bermain rapa’i di luar Paloh Dayah. Sekarang, cuma tersisa dia dan satu orang temannya yang sering diundang.
Setelah generasi Amin, di Meunasah Dayah sampai kini belum ada penerus rapa’i. Hal tersebut disebabkan sudah belasan tahun imuem gampong Meunasah Dayah melarang penduduk setempat bermain rapa’i.
Nurlaila Hamjah, S.Sos., M.M, Kepala Bidang Bahasa Dan Seni Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Aceh, mengatakan, Pemerintah Aceh selalu mengupayakan pelestarian seni dan budaya.

“Upaya-upaya dukungan pada dunia seni akan terus kita berikan. Siaran berita ini juga merupakan semua bentuk dukungan supaya pemikiran dari kalangan seniman dapat sampai kepada masyarakat,” kata Nurlaila.
Catatan: Berita ini disiarkan atas kerja sama antara Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Aceh, Bidang Bahasa Dan Seni dengan www.serambinews.com