Perjalanan Pajang 64 Tahun RKUHP hingga Disahkan DPR RI, Jika Belum Sepakat Silakan Gugat ke MK

Dewan Perwakilan Rakyat RI resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP menjadi undang-undang.

Editor: Faisal Zamzami
KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Ilustrasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP 

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat RI resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP menjadi undang-undang. 

Keputusan itu diambil dalam rapat paripurna ke-11 masa persidangan II tahun sidang 2022-2023, Selasa (6/12/2022).

Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan RKUHP sudah melalui perjalanan panjang.

 Jika dihitung masuk ke DPR, RKUHP ini sudah memakan waktu 59 tahun sejak tahun 1963.

Namun, jika dilihat dari proses penyusunan Rancangan Undang-Undang KUHP sudah memakan waktu 64 tahun sejak tahun 1958.

 Eddy Hiariej, sapaan Edward Omar, menegaskan pemerintah siap menjalani perdebatan bila ada yang ingin menggugat pasal-pasal dalam RKUHP di Mahkamah Konstitusi atau MK. 

"Kami sudah siap dan kami yakin betul kalau ini diuji ditolak, ya. Jadi tidak terburu-buru, ini kalau cepat dibilang terburu-buru, kalau lambat dibilang lambat ya. Jadi nggak ada terburu-buru," ujar Eddy di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (6/12/2022).

Sejarah KUHP 

Dalam sejarahnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia merupakan hasil warisan dari hukum kolonial Belanda yang memiliki nama Wetbock van Strafrecht voor Nederlansch Indie atau WvSNI.

 
WvSNI mulai diberlakukan pada 1 Januari 1918. WvSNI adalah produk hukum turunan dari Wetbock van Strafrecht Belanda yang dibuat pada 1881 dan diberlakukan di Belanda pada 1886.

Di masa kemerdekaan 1945 Indonesia perlu memiliki hukum pidana, supaya tidak terjadi kekosongan Presiden pertama RI Soekarno mengadopsi WvSNI menjadi hukum nasional melalui UU Nomor 1 Tahun 1946.

Perjalanan RKUHP 

Dikutip dari Indonesiabaik.id Kominfo, sejarah RKUP mulai muncul pada 1958, yang ditandai dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). 

 
Selanjutnya juga diselenggarakan Seminar Hukum Nasional I pada 1963 dengan inisiasi desakan untuk merumuskan KUHP baru.

Pada 1993 sebenarnya rumusan KUHP praktis telah berhasil dirampungkan, tetapi upaya ini, terhenti saat Menteri Kehakiman berganti di bawa kepemimpinan Oetojo Oesman (1993-1998).

Barulah nanti saat Muladi menjabat menjadi Menteri Kehakiman pada 1998, RKUHP ini kembali diajukan. Agenda ini dilanjutkan saat Yusril Ihza Mahendra pada 2001-2004 menjabat menjadi Menteri Hukum dan HAM. 


 

Pada 2004, RKUHP masuk progam legislasi nasional prioritas. Saat itu kementerian itu dipimpin oleh Hamid Awaluddin (2004-2007).

DPR periode 2014-2019 kemudian menyepakati draf RKUHP dalam pengambilan keputusan tingkat pertama. 

RKUHP ini telah melewati tujuh kali pergantian presiden dan 20 kali pergantian menteri di sepanjang dimulainya upaya untuk merumuskan KUHP sendiri.

 

Menkumham Yasonna: Kita Terlalu Lama Pakai Produk Kolonial

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) resmi disahkan dalam pengambilan keputusan tingkat dua atau Rapat Paripurna DPR, Selasa (6/12/2022), disahkan dengan sejumlah catatan.

Menanggapi pengesahan tersebut, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan telah mengakomodir masukan dari masyarakat.

“Semua masukan masyarakat telah kami terima dengan baik.” Kata Yasonna dalam keterangan persnya, Selasa (6/12).

Namun, kata Yasonna, pada akhirnya RUU KHUP harus disahkan.

Pasalnya, Indonesia telah terlalu lama menggunakan produk hukum kolonial.

“Saya kira kita tidak mau lagi menggunakan produk-produk kolonial terlalu lama, seolah-olah anak-anak bangsa ini tidak mampu melahirkan sesuatu jadi produk undang-undang.” Ujar Yasonna menegaskan.

Meski begitu, menurut Yasonna tidak mudah untuk melepaskan diri dari warisan kolonial.

“Tadi saya katakana ternyata tidak mudah ya, melepaskan diri dari warisan kolonial.” Katanya.

Yasonna Laoly Persilakan PIhak yang Menolak RKUHP untuk Menggugat

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mempersilakan pihak yang tidak setuju dengan pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi

Menurut dia, tidak semua masyarakat akan setuju ketentuan yang termuat dalam rancangan baru Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

  “Kalau untuk 100 persen setuju, tidak mungkin,” tutur Yasonna Laoly, Senin (5/12/2022) yang dikutip jurnalis Kompas TV, Renata.

Pemerintah dan DPR rencananya mengesahkan rancangan baru KUHP itu pada 5 Desember 2022. Setelah disahkan menjadi KUHP, rancangan itu akan menggantikan KUHP lama, yang bersumber pada Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indië dan diberlaku secara nasional mulai 20 September 1958 silam. Sejak diberlakukan secara nasional, beberapa pasal dalam KUHP lama sudah mengalami perubahan.

Rancangan baru KUHP sempat hendak disahkan pada pertengahan tahun 2018. Namun ada penolakan terhadap pemberlakuan sejumlah pasal dalam RKUHP itu yang membuat DPR batal mengesahkannya pada waktu itu.

Yasonna mengatakan, daripada Indonesia masih harus menggunakan KUHP buatan kolonial yang sudah orthodoks, RKUHP yang akan disahkan itu, banyak yang reformatif. Karena itu, Yasonna menyarankan pihak yang tidak setuju untuk mengajukan uji materi.

 
“Daripada kita harus memakai KUHP Belanda yang sudah orthodoks, dalam KUHP ini sudah banyak yang reformatif, bagus, kalau ada perbedaan pendapat sedikit, ya nanti kalo sudah disahkan, gugat aja ke Mahkamah Konstitusi.”

Uji materi ke MK dianggap sebagai mekanisme yang konstitutional. Terlebih, kata dia, RKUHP sudah berkali-kali didiskusikan dan disosialisasikan dengan sejumlah pihak.

“Kita udah berkali-kali, baik dengan LBH, baik dengan Dewan Pers, baik dengan kampus, kan presiden menginstruksikan, tidak hanya kepada kami,” lanjut dia.

“Ada beberapa lembaga, Kemenkominfo, Polri, BIN, kita sosialisasi ke beberapa daerah. Kita tampung semua kok masukan.”

Dari sosialisasi yang dilakukan, kata dia ada sejumlah masukan dan perbaikan pada RKUHP tersebut.

“Ada perbaikan dan masukan-masukan masyarakat. Ada yang kita lembutkan.”

“Kalau ada perbedaan pendapat, ya itu biasa dalam demokrasi, tapi bukan berarti harus membajak sesuatu untuk membatalkannya,” ucap Yasonna.

Terlebih, menurut dia, perbaikan KUHP tersebut sudah dipikirkan sejak puluhan tahun yang lalu, yakni tahun 1963.

“Ini sudah lebih 60 tahun, 63 ini sudah dimulai pemikiran perbaikan ini. Malu kita sebagai bangsa masih memakai hukum Belanda.”

“Saya, guru-guru saya yang saya hormati, sangat mendambakan undang-undang ini disahkan,” imbuh Yasonna.

Ia mengajak semua pihak untuk bertindak dengan cara elegan dalam menyikapi RKUHP.

 
“Jadi, mari sebagai anak bangsa, perbedaan pendapat sah-sah aja, kalau akhirnya nanti saya mohon gugat aja di Mahkamah Konstitusi. Lebih elegan caranya.”

 

Kompas.com: Perjalanan 64 Tahun RKUHP hingga Disahkan DPR

 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved