Berita Aceh Tamiang

Polemik dengan Masyarakat Berlanjut, Dewan Sarankan PT Rapala Dahulukan Kepentingan Masyarakat

“Perusahaan harus bisa bersinergi dengan masyarakat, harus bisa berdampingan,” kata Suprianto.

Penulis: Rahmad Wiguna | Editor: Saifullah
Serambi Indonesia
Warga Perkebunan Sungai Iyu berkerumun saat Pj Bupati Aceh Tamiang, Meurah Budiman datang ke kampung itu, Selasa (30/5/2023). Kedatangan ini berkaitan dengan babak baru perseilisihan antara masyarakat dengan PT Rapala. 

Laporan Rahmad Wiguna | Aceh Tamiang

SERAMBINEWS.COM, KUALASIMPANG – Ketua DPRK Aceh Tamiang, Suprianto menyarankan, PT Raya Padang Langkat (Rapala) mendahulukan kepentingan masyarakat untuk mengakhiri polemik berkepanjangan.

Saran ini disampaikan Suprianto ketika bersama Pj Bupati Aceh Tamiang, Meurah Budiman dan Wakil Ketua DPRK, Fadlon menemui warga dan perwakilan PT Rapala di Kampung Perkebunan Sugai Iyu, Kecamatan Bendahara, Selasa (30/5/2023).

“Perusahaan harus bisa bersinergi dengan masyarakat, harus bisa berdampingan,” kata Suprianto.

Suprianto mengatakan, dirinya mengikuti persoalan ini sejak awal.

Kasus ini berawal dari peralihan lahan HGU dari PT Parasawit ke PT Rapala, sekira sembilan tahun lalu.

Menurutnya, persoalan ini bisa diselesaikan bila PT Rapala mau mendahulukan kepentingan masyarakat.

“Biar ada solusi, harus ada wilayah administrasi yang diberikan perusahaan,” kata dia.

Wilayah administrasi ini sangat penting karena sebagai legalitas pemerintah kampung.

Warga sempat mengusulkan pelepasan HGU seluas 10,7 hektare, untuk membangun kantor datok penghulu dan fasilitas yang mendukung pemerintahan.

“Hari ini, kantor datok masih menumpang di rumah warga, termasuk Polindes, juga berada di rumah warga,” ujarnya.

Suprianto menyadari kalau HGU sepenuhnya dikuasai PT Rapala.

Namun karena banyak pertimbangan, PT Rapala disarankannya bersedia menyerahkan lahan ini dengan pola pinjam pakai.

“Ini butuh dukungan dan rekomendasi Pemda, makanya nanti diselesaikan ketika HGU Rapala berakhir,” saran Suprianto.

Wakil Ketua DPRK Aceh Tamiang, Fadlon menambahkan kesepakatan yang telah ditandatangani kedua belah pihak sebenarnya sudah menjadi jalan tengah.

Pihak perusahaan membolehkan waga tinggal di perumahan karyawan asal bersedia bekerja di Rapala.

“Ini kan berlaku untuk anak atau kerabat yang masih memiliki hubungan darah langsung, artinya ada upaya agar masyarakat tetap tinggal bersama di sini,” ujarnya.

Begitupun Fadlon mendukung usulan Pj Bupati Aceh Tamiang, Meurah Budiman untuk mengumpulkan kembali perwakilan masyarakat, perusahaan dan seluruh unsur Forkopimda untuk membahas persoalan ini.

“Kami sangat menyayangkan kalau persoalan ini tidak selesai, karena sebenarnya kalau kita duduk dengan kepala dingin, pasti ada solusi,” kata Fadlon.

Babak baru perseteruan kedua belah pihak berawal dari keinginan masyarakat ingin tetap tinggal di perumahan karyawan tanpa harus bekerja di PT Rapala.

Warga beralasan berhak tetap tinggal di perumahan karyawan demi menjaga legalitas kampung.

“Rata-rata yang tinggal di perumahan karyawan itu perangkat kampung, termasuk datok penghulu. Kalau mereka pergi dari sini, artinya administrasi kampung tidak berjalan,” kata Tuha 8 Wali Nanggroe, Khairuddin sebagai utusan warga, Selasa (30/5/2023).

Warga menawarkan opsi kedua, yaitu bersedia meninggalkan perumahan karyawan asal masih boleh tinggal di lingkungan Perkebunan Sungai Iyu yang merupakan HGU PT Rapala.

“Atau pihak perusahaan mengeluarkan sebagian HGU untuk dijadikan balai kampung, polindes dan fasilitas umum,” kata dia.

Namun keinginan ini tidak disetujui PT Rapala karena telah melanggar tiga poin kesepakatan damai yang sudah ditandatangani kedua belah pihak di Ruang Komisi I DPRK Aceh Tamiang pada 22 Mei 2023.

“Ada tiga poin kesepakatan yang melibatkan datok, perangkat kampung dan perwakilan masyarakat, tapi poin pertama dan poin kedua mereka langgar sendiri,” kata Askeb Manajer PT Rapala, Muhammad Arif.

Arif menjelaskan, tiga poin ini tentang membolehkan masyarakat tinggal di perumahan karyawan asal bersedia bekerja di PT Rapala, kemudian bersedia meninggalkan perumahan bila tidak mau bekerja, dan PT Rapala berkomitmen membangun kantor datok penghulu.

“Poin pertama dan kedua mereka langgar, padahal ini sudah disepakati di hadapan Forkopimda,” kata Arif.

Arif menegaskan sikap tegas ini berkaitan dengan aturan hukum dan kewajiban perusahaan terhadap karyawannya.

“Karyawan kami belum punya rumah, harusnya mereka menempati rumah itu, tapi kondisi hari ini dihuni warga,” kata Arif.

Dalam surat lain, warga bersedia meninggalkan perumahan karyawan asal dibolehkan tinggal di dalam lingkungan perkebunan.

Hal ini dinilai Arif janggal karena nantinya akan berdiri tenda sebagai tempat tinggal masyarakat.

“Hari ini, kami (PT Rapala) dianggap paling zalim, padahal kami hanya bercerita tentang hak dan kewajijban,” kata dia.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved