Opini
PON Aceh-Sumut XXI dan Kebangkitan Ekonomi
Kemajuan teknologi sistem pembayaran ini dapat dimanfaatkan Aceh sebagai penopang daya ungkit ekonomi saat penyelenggaraan PON Aceh-Sumut XXI 2024.
Muhammad Indra Saputra, Ekonom Yunior Bank Indonesia Provinsi Aceh
ACEH telah lama dikenal sebagai pusat perdagangan yang inovatif, bahkan sejak era kerajaan. Kini, dalam menghadapi era digital, digitalisasi pembayaran melalui QRIS menjadi kunci untuk mendorong kebangkitan ekonomi dan budaya Aceh. Dengan momentum PON Aceh-Sumut XXI, Aceh memiliki peluang besar untuk menunjukkan bahwa inovasi dalam sistem pembayaran dapat mengangkat potensi ekonomi dan budaya daerah ke tingkat yang lebih tinggi.
Pada masa modern saat ini, sistem pembayaran telah mengarah ke mekanisme non-tunai dan digital. Adanya kemajuan teknologi memungkinkan sistem pembayaran bersifat seamless tanpa bentuk fisik uang, namun tetap memiliki esensi sebagai alat tukar dan alat pembayaran yang sah. Salah satu inovasi sistem pembayaran adalah melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang diinisiasi oleh Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) sejak tahun 2019.
QRIS sebagai salah satu sistem pembayaran non-tunai dan digital memberikan kemudahan dalam melakukan transaksi dan mendukung inklusivitas ekonomi. Melalui QRIS, kemajuan digitalisasi pembayaran dapat dirasakan secara inklusif ke semua lapisan masyarakat, termasuk usaha mikro. Hal ini disebabkan penggunaan QRIS yang Unggul – Universal, Gampang, Untung, dan Langsung – memberikan kemudahan dengan sentralisasi pembayaran dan meminimalisir biaya yang dibutuhkan pelaku usaha.
Pembayaran digital melalui QRIS dapat meningkatkan efisiensi ekonomi dan mengurangi risiko maladministrasi akibat kesalahan pencatatan yang sering terjadi ketika menggunakan mekanisme tunai. Secara makro, adanya digitalisasi pembayaran dapat mengurangi biaya pengelolaan kas dan mengurangi peredaran uang palsu.
Kemajuan teknologi sistem pembayaran ini dapat dimanfaatkan Aceh sebagai penopang daya ungkit ekonomi saat penyelenggaraan PON Aceh-Sumut XXI 2024. Adanya event olahraga nasional terbesar ini berpotensi mendatangkan ribuan pengunjung yang dapat berkontribusi terhadap peningkatan sektor pariwisata Aceh yang didominasi oleh UMKM. Hal ini tentunya memberikan peluang ekonomi yang besar bagi masyarakat Aceh sehingga perlu dipersiapkan sistem pembayaran yang handal dan mudah digunakan oleh pengunjung dari seluruh Indonesia.
Penggunaan QRIS di Aceh juga akan mengakselerasi inklusi ekonomi, terutama bagi UMKM. Per Juli 2024 jumlah merchant QRIS di Provinsi Aceh tercatat sebanyak 158.900 dengan jumlah pengguna sebanyak 598.929 dan jumlah transaksi sebanyak 9,34 juta transaksi QRIS. Jumlah merchant QRIS tersebut masih sebesar 37 persen dari total keseluruhan UMKM Aceh yang sebanyak 424.850 (Diskop Ukm Aceh, 2024).
Apabila dilihat secara nasional, penggunaan QRIS memang relatif lebih cepat diadopsi di kota metropolitan karena memiliki masyarakat yang adaptif dan terbuka dengan inovasi. Akan tetapi, telah diketahui bahwa Aceh memiliki akar budaya yang inovatif dan terbuka pada kemajuan teknologi sistem pembayaran sejak dahulu. Oleh karena itu, sudah seharusnya Aceh beradaptasi dengan sistem pembayaran digital serta dapat lebih memaksimalkan keunggulan QRIS.
Tantangan dan peluang
Persiapan ekstra perlu dilakukan, mengingat ekosistem pembayaran di Aceh memiliki keistimewaan salah satunya melalui peraturan (Qanun) Aceh tentang Lembaga Keuangan Syariah. Dengan peraturan tersebut, perbankan syariah dapat tumbuh dengan baik dan menjadi layanan yang mayoritas digunakan oleh masyarakat Aceh. Konsekuensinya, layanan di luar perbankan syariah menjadi relatif terbatas sehingga berpotensi menyulitkan pengunjung dari luar Aceh dalam bertransaksi.
Kondisi tersebut menjadikan QRIS sebagai solusi terbaik sistem pembayaran di Aceh. Pengunjung tidak perlu khawatir menyimpan uang tunai dalam jumlah besar atau terbebani biaya transfer antar-bank, karena QRIS menyediakan solusi pembayaran yang praktis dan ekonomis. Pembayaran menjadi mudah dilakukan hanya dengan melakukan scan QRIS di merchant UMKM tanpa mempertimbangkan penyedia layanan. Perbedaan layanan antar bank dapat disatukan melalui keunggulan QRIS sehingga sistem pembayaran di Aceh tetap dapat berjalan dengan lancar.
QRIS juga menawarkan kemudahan dan efisiensi yang memberikan manfaat besar bagi merchant. Dari sisi merchant, cukup hanya memiliki satu rekening bank dan mencetak gambar QRIS yang dikeluarkan oleh Bank Penerbit, tanpa perlu memiliki alat khusus lainnya seperti EDC. Merchant juga tidak dikenakan biaya apapun untuk transaksi di bawah Rp100 ribu. Untuk transaksi di atas Rp100 ribu, pedagang mikro dikenakan tarif Merchant Discount Rate (MDR) sebesar 0,3 % .
Tarif tersebut lebih murah dibandingkan metode pembayaran digital lain seperti kartu debit beda bank yang dapat berkisar 0,5 % hingga 1 % . Bahkan MDR QRIS lebih murah dibanding tarif MDR di Malaysia (DuitNow QR) sebesar 0,5 % ; Filipina (QRPH) sebesar 1,25 % hingga 1,6 % , atau Singapura (SGQR) hingga sebesar 0,8 % . Oleh karena itu, melalui efisiensi dan kemudahan dari QRIS, diperlukan akselerasi penggunaan QRIS di berbagai kalangan. Akselerasi tersebut perlu dilakukan oleh seluruh stakeholders terutama dari perbankan syariah sebagai penyedia utama layanan perbankan di Aceh.
Sejarah pembayaran di Aceh
Sejak zaman kerajaan, Bangsa Aceh terkenal mampu beradaptasi terhadap segala perubahan termasuk dalam hal sistem pembayaran dan perdagangan. Kondisi ini tentu akan memudahkan Masyarakat Aceh untuk menerima dan memanfaatkan QRIS sebagai sistem pembayaran masa kini.
Bangsa Aceh pada masa tersebut telah mengadopsi berbagai sistem pembayaran melalui berbagai jenis mata uang.
Aceh terletak di lokasi strategis perdagangan dan menjadi produsen komoditas global seperti lada, yang mendorong aktivitas perdagangan Aceh menjadi sangat maju pada masa itu. Menurut Sudirman (2018), sejak abad ke-12 hingga 13 Masehi, Aceh (Kerajaan Samudera Pasai) telah melakukan perdagangan dengan bangsa Tiongkok dan India menggunakan mata uang perak yang disebut Ketun.
Kemudian, pada saat Bangsa Portugis mendominasi perdagangan, Aceh mulai menggunakan mata uang Riyal atau Ringgit Meriam. Hingga akhirnya di masa Sultan Muhammad Malik Al-Zahir (1297 – 1326 M), dikeluarkan mata uang emas pertama di bekas Kerajaan Pasai berupa Deureuham. Mata uang tersebut pada saat ini diketahui menjadi salah satu mata uang tertua di Nusantara.
Sistem pembayaran melalui penggunaan mata uang yang mandiri juga berlanjut dengan berbagai inovasi yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh, baik dari sisi bahan, spesifikasi, dan ragam mata uang, disesuaikan dengan kebutuhan pada masa itu. Mulai dari Duet Manok (uang tembaga adopsi dari bangsa Inggris), Keuh (mata uang timah), dan Kupang (mata uang dari perak).
Kerajaan Banda Aceh Darussalam pada masa Sultan Alaudin Riayat Syah Al-Kahhar (1537 – 1568 M) bekerja sama dengan Turki Ottoman untuk mengirimkan ahli-ahli pembuatan mata uang ke Aceh.
Inovasi ini dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda dengan mendatangkan ahli pembuatan mata uang dari Prancis ke Aceh. Hal tersebut menggambarkan bahwa sejak dahulu Aceh sangat inovatif dalam hal sistem pembayaran.
Masyarakat Aceh siap
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan masyarakat Aceh akan siap memanfaatkan PON untuk mendorong perekonomian dan budaya melalui digitalisasi. Banyaknya pengunjung yang datang ke Aceh harus dimanfaatkan dengan baik untuk mendorong perekonomian Aceh. Adanya momentum PON XXI ini diharapkan tidak hanya memberikan dampak positif pada saat penyelenggaraan, namun juga dirasakan pasca-acara melalui terciptanya citra positif Aceh.
Dengan demikian, dapat menegaskan citra Aceh sebagai salah satu daerah yang layak untuk kembali dikunjungi. Citra tersebut pada akhirnya menciptakan multiplier effect melalui aspek konsumsi dan investasi sehingga dapat mengangkat perekonomian masyarakat Aceh secara berkesinambungan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.