Konflik Palestina dan Israel

ICC Mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan untuk Netanyahu, Gallant, dan Pemimpin Hamas

 "Saya berharap kita bisa segera melihat Netanyahu dan Gallant di penjara," katanya.

Penulis: Sri Anggun Oktaviana | Editor: Amirullah
Reuters
ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, serta pemimpin Hamas Ibrahim Al-Masri. 

SERAMBINEWS.COM- Pada hari Kamis (21/11/2024), Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, serta pemimpin Hamas Ibrahim Al-Masri.

Dilansir dari kantor berita Reuters pada Jumat (22/11/2024), surat perintah ini dikeluarkan atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi selama konflik Gaza, yang dimulai setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.

Para hakim ICC menyatakan bahwa mereka memiliki dasar yang cukup untuk meyakini bahwa Netanyahu dan Gallant bertanggung jawab atas berbagai tindakan kriminal di Gaza.

Tuduhan tersebut termasuk pembunuhan massal, penganiayaan terhadap warga sipil, serta penggunaan kelaparan sebagai senjata perang dalam serangan yang dianggap sebagai "serangan luas dan sistematis terhadap penduduk sipil Gaza.

 Blokade yang diberlakukan terhadap Gaza, yang menyebabkan kekurangan makanan, air, listrik, bahan bakar, dan pasokan medis, juga disebutkan sebagai salah satu faktor yang menciptakan kondisi yang memperburuk penderitaan penduduk sipil.

Keputusan ICC ini disambut dengan beragam reaksi dari berbagai pihak. Shaban Abed, seorang insinyur teknis yang tinggal di Gaza City dan kini mengungsi di Khan Younis, mengatakan bahwa meskipun langkah ini datang terlambat, "tidak pernah terlalu terlambat" untuk menuntut keadilan.

Dia menegaskan bahwa Netanyahu dan Gallant akhirnya akan dibawa ke pengadilan, meskipun hal tersebut mungkin memerlukan waktu yang lama.

Sementara itu, Rabeeha, seorang ibu dari lima anak yang juga tinggal di Gaza City, berharap keputusan ini akan mempercepat berakhirnya perang

 "Saya berharap kita bisa segera melihat Netanyahu dan Gallant di penjara," katanya.

"Sekarang mereka tidak bisa bepergian, sekarang mereka sedang diburu," tambahnya.

Keputusan ICC ini menuai reaksi keras dari Israel dan Amerika Serikat. Kantor Netanyahu menyebut langkah ini sebagai "antisemit" dan menegaskan bahwa Israel tidak akan menyerah pada tekanan internasional. Netanyahu juga menegaskan bahwa Israel tidak akan terhalang dalam mencapai tujuan perang mereka di Gaza.

Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, mengkritik ICC, mengatakan bahwa pengadilan tersebut telah "kehilangan semua legitimasi" setelah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Gallant.

Saar bahkan menyebut keputusan ini sebagai "momen gelap" bagi ICC, dengan menyatakan bahwa pengadilan tersebut mengeluarkan "perintah yang absurd tanpa kewenangan."

Amerika Serikat, sebagai sekutu utama Israel, juga menentang keputusan ini. Pemerintah AS menyatakan bahwa mereka "secara fundamental menolak" langkah ICC ini, menyebutnya sebagai keputusan yang terburu-buru dan penuh kesalahan.

"Kami sangat khawatir dengan langkah jaksa yang terburu-buru untuk mencari surat perintah penangkapan," kata seorang juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih.

Di sisi lain, Hamas menyambut baik keputusan ICC dan menyebutnya sebagai langkah pertama menuju keadilan bagi para korban. Basem Naim, seorang pejabat senior Hamas, mengatakan bahwa surat perintah penangkapan tersebut adalah langkah penting dalam membawa pelaku kejahatan perang ke pengadilan. Dia juga menegaskan bahwa semua negara harus mendukung upaya ini.

Beberapa negara dan organisasi internasional juga memberikan tanggapan positif terhadap keputusan ICC.

 Josep Borrell, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, mengatakan bahwa keputusan tersebut bukan keputusan politik, melainkan keputusan yang dibuat oleh pengadilan dan harus dihormati serta diterapkan.

Borrell menambahkan bahwa tragedi di Gaza harus segera dihentikan.

Menteri Luar Negeri Yordania, Ayman Safadi, juga mendukung keputusan ICC, menyatakan bahwa rakyat Palestina pantas mendapatkan keadilan atas apa yang disebutnya sebagai "kejahatan perang" yang dilakukan oleh Israel di Gaza.

Meskipun surat perintah penangkapan telah dikeluarkan, ICC menghadapi tantangan besar dalam menegakkannya.

Pengadilan ini tidak memiliki polisi sendiri untuk menangkap tersangka, dan bergantung pada kerjasama negara-negara anggotanya untuk melaksanakan perintah penangkapan tersebut.

 Dengan Israel dan negara besar lainnya, seperti Amerika Serikat, yang tidak mengakui yurisdiksi ICC, sulit untuk memastikan bahwa surat perintah ini akan dilaksanakan.

Perang Gaza yang telah berlangsung selama lebih dari 13 bulan ini dimulai setelah serangan yang dipimpin oleh Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan lebih dari 1.200 orang di Israel selatan dan membawa lebih dari 250 orang Israel sebagai sandera.

Sebagai respons, Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza, yang hingga kini telah mengakibatkan lebih dari 44.000 kematian di kalangan warga Palestina dan menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah.

Dalam konteks ini, keputusan ICC untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant mencerminkan upaya untuk membawa mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan perang ke pengadilan internasional.

Meskipun keputusan ini menimbulkan ketegangan antara Israel, Amerika Serikat, dan negara-negara pendukung Palestina, ICC tetap teguh pada posisinya untuk menuntut akuntabilitas atas dugaan pelanggaran hukum internasional.

Keputusan ICC untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu, Gallant, dan pemimpin Hamas Ibrahim Al-Masri menjadi titik penting dalam konflik yang telah berlangsung lama di Gaza.

Meskipun keputusan ini telah menuai berbagai reaksi, baik di dalam negeri Israel maupun di tingkat internasional, langkah ini menunjukkan komitmen ICC untuk menegakkan hukum internasional dan membawa keadilan bagi korban konflik.

 Namun, tantangan besar tetap ada dalam memastikan bahwa para pelaku kejahatan perang ini akan dihadapkan pada pengadilan.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved