Ekonomi

Jejak Sritex Raksasa Tekstil Nasional, Jaya di Pasar Global ke Pailit, Kini Komisarisnya Ditangkap

perjalanan PT Sritex dimulai pada tahun 1966, ketika pendirinya, H.M. Lukminto, merintis usaha sebagai pedagang kain kecil di Pasar Klewer, Solo,

Penulis: Yeni Hardika | Editor: Ansari Hasyim
Wikimedia Commons/Almuharam
Kantor pusat dan kawasan industri PT Sri Rejeki Isman Tbk. Sritex dinyatakan pailit. 

SERAMBINEWS.COM - PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), yang dulu digadang sebagai lambang kejayaan industri tekstil Indonesia, kini tengah berada di ujung tanduk. 

Setelah resmi dinyatakan pailit pada 2024, perusahaan ini kembali menjadi sorotan publik usai Komisaris Utamanya, Iwan Setiawan Lukminto ditangkap oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

Iwan diringkus pada Selasa malam (20/5/2025) di Solo, sebagaimana dikonfirmasi oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febri Adriansyah. 

"Iwan ditangkap semalam di Solo," kata Febri, Rabu (21/5/2025), dikutip dari Kompas.com.

Belum ada penjelasan resmi terkait penangkapan komisaris utama dari raksasa tekstil tersebut oleh Kejagung.

Namun sebelumnya, Kejagung telah membuka penyelidikan atas dugaan korupsi yang diduga terjadi di internal perusahaan tersebut.

Tim penyidik juga turut memeriksa sejumlah perwakilan bank daerah untuk menelusuri lebih lanjut proses pemberian fasilitas kredit kepada Sritex.

Langkah ini diambil mengingat Sritex belakangan menghadapi krisis keuangan hingga resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang.

Berikut jejak dan sejarah panjang Sritex, perusahaan tekstil nasional yang sempat berjaya hingga menembus pasar global namun berakhir pailit dan salah satu bosnya ditangkap Kejagung.

Baca juga: Kejagung Tangkap Dirut PT Sritex Iwan Lukminto, Ini Kasusnya

Sejarah Sritex

Diberitakan Kompas.com (24/10/2024), sejarah PT Sritex tak bisa dilepaskan dari sosok pendirinya, Haji Muhammad Lukminto atau yang juga dikenal sebagai Ie Djie Shien. 

Perusahaan ini merupakan bisnis keluarga Lukminto.

Kepemimpinan perusahaan yang berbasis di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah itu kemudian dijalankan oleh dua bersaudara, Iwan Setiawan Lukminto dan Iwan Kurniawan Lukminto, sebagai generasi kedua. 

Iwan Setiawan Lukminto, yang pernah menjabat sebagai Presiden Direktur Sritex, beberapa kali masuk dalam jajaran 50 orang terkaya di Indonesia menurut majalah Forbes. 

Pada 17 Juni 2013, Sritex telah resmi tercatat sebagai perusahaan publik dengan kode saham SRIL. 

Perusahaan ini beroperasi di sektor tekstil dan mengelola proses produksi secara terpadu. 

Sritex kemudian menjadi perusahaan tekstil terbesar di Indonesia yang menguasai seluruh rantai produksi dari hulu hingga hilir, bahkan dikenal sebagai yang terbesar di kawasan Asia Tenggara. 

Sebanyak 59 persen sahamnya dikendalikan oleh PT Huddleston Indonesia, yang memiliki afiliasi erat dengan Keluarga Lukminto, sedangkan 40 persen sisanya dimiliki oleh publik.

Sejak 2022, Iwan Setiawan menjabat sebagai Komisaris Utama PT Sritex, sedangkan posisi Direktur Utama dijabat oleh sang adik, Iwan Kurniawan Lukminto.

Baca juga: Menguak Aset Kekayaan Iwan Kurniawan Lukminto Usai Sritex Bangkrut hingga PHK Ribuan Karyawan

Dari Pasar Klewer ke Pasar Global

Diberitakan Kompas.com (2/3/2025), perjalanan PT Sritex dimulai pada tahun 1966, ketika pendirinya, H.M. Lukminto, merintis usaha sebagai pedagang kain kecil di Pasar Klewer, Solo, di bawah nama UD Sri Redjeki. 

Dua tahun berselang, ia mendirikan pabrik cetak sendiri, yang kemudian diikuti dengan ekspansi bisnis pada 1982 melalui pendirian pabrik tenun pertamanya.

Puncak kesuksesan datang pada tahun 1994, saat Sritex mendapat kepercayaan untuk memproduksi seragam militer bagi NATO dan Angkatan Bersenjata Jerman.

PT Sritex dikenal sebagai perusahaan tekstil terpadu yang mengelola seluruh rantai produksi secara mandiri, mulai dari pemintalan benang hingga pembuatan pakaian jadi.

Selain memenuhi kebutuhan pasar domestik, Sritex juga menjangkau pasar global dengan jaringan pelanggan yang tersebar di lebih dari 100 negara. 

Wilayah pemasaran utamanya mencakup Amerika Serikat, Eropa, Asia Tenggara, serta Timur Tengah.

Terpuruk hingga dinyatakan pailit

Sritex mulai mengalami tekanan keuangan yang cukup berat sejak 2021.

Dilansir dari Kompas.com, Rabu (21/5/2025), pada Mei 2021, perdagangan saham perusahaan dihentikan sementara akibat keterlambatan pembayaran bunga dan pokok Medium Term Notes (MTN). 

Beban liabilitas Sritex pun terus membengkak hingga mencapai sekitar Rp 24,3 triliun pada September 2023. 

Kondisi ini semakin diperburuk dengan ketatnya persaingan di pasar global, dampak pandemi Covid-19 yang mengacaukan rantai pasokan dan menurunkan permintaan.

Tak hanya itu, situasi geopolitik global turut memukul ekspor tekstil ke pasar utama, seperti Amerika Serikat dan Eropa.

Kondisi keuangan Sritex pun mencapai titik nadir pada 21 Oktober 2024.

Baca juga: Sritex Bangkrut, Iwan Kurniawan Lukminto Tetap Tajir, Istri Tetap Bisa Tenang, Ini Daftar Bisnisnya

Saat itu, Pengadilan Niaga Semarang menyatakan bahwa perusahaan tersebut beserta tiga entitas afiliasinya (PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya) pailit

Pailit merupakan situasi di mana sebuah perusahaan tidak mampu melunasi utang-utangnya yang telah jatuh tempo kepada para kreditur. 

Keputusan ini bermula dari permohonan pembatalan perjanjian damai yang diajukan oleh PT Indo Bharat Rayon, salah satu kreditur Sritex. 

Putusan tersebut kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung pada 18 Desember 2024.

Seluruh operasional dihentikan

Sritex pun resmi menghentikan seluruh kegiatan operasionalnya pada 1 Maret 2025.

Kebangkrutan Sritex menciptakan gelombang pengangguran baru di Sukoharjo, Boyolali, dan Semarang, setelah raksasa tekstil tersebut melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran terhadap karyawannya.

Berdasarkan data dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Tengah yang mengacu pada informasi dari pihak kurator, tercatat sebanyak 10.669 karyawan dari grup Sritex terkena PHK.

Data tersebut menunjukkan pelaksanaan PHK terjadi pada Januari dan Februari 2025 sebagai berikut: 

  • Januari 2025: PHK terjadi terhadap 1.065 orang karyawan PT Bitratrex Semarang.
  • Februari 2025: PHK terjadi terhadap 8.504 karyawan PT Sritex Sukoharjo, 956 karyawan PT Primayuda Boyolali, 40 karyawan PT Sinar Pantja Djaja Semarang, dan 104 orang karyawan PT Bitratrex Industries.

Salah satu bosnya ditangkap Kejagung

Komisaris Utama PT Sritex Iwan Setiawan Lukminto diduga terlibat dalam kasus korupsi pemberian kredit oleh sejumlah bank sebesar Rp 3,6 triliun.

Dilansir dari Kompas.com, Kamis (22/5/2025), penangkapan bos Sritex berawal saat penyedik memeriksa laporan keuangan Sritex untuk menyelidiki dugaan korupsi.

Kejagung kemudian menemukan ada kejanggalan dalam pemberian kredit oleh sejumlah bank kepada Sritex yang tidak sesuai aturan.

Pada 2021, Sritex yang didirikan mendiang HM Lukminto melaporkan kerugian senilai 1,08 miliar dollar AS atau sekitar Rp 15,66 triliun. 

Baca juga: Jumlah Harta Kekayaan Iwan Kurniawan Lukminto, Bos Sritex yang Perusahaannya Pailit Karena Utang

Padahal, Sritex masih mencatatkan keuntungan sebesar Rp 85,32 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,24 triliun pada 2020. 

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar menyebut, kerugian dan keuntungan yang dilaporkan Sritex pada 2020-2021 sebagai hal yang janggal karena perbedaannya yang signifikan. 

Dari situlah, penyidik mendapati temuan bahwa Sritex dan entitas anak perusahaannya mempunyai kredit dari sejumlah bank dengan nilai total outstanding atau tagihan belum dilunasi sebesar Rp 3.588.650.808.028,57 hingga Oktober 2024.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan, kredit itu berasal dari 3 bank daerah dan 1 bank pemerintah.

Namun, berdasarkan temuan saat ini, Sritex diketahui mendapatkan sejumlah kredit dari beberapa bank lain, termasuk pihak swasta. 

"Nah, sementara informasinya kan yang bersangkutan juga atau perusahaan ini menerima fasilitas kredit juga dari berbagai bank termasuk swasta," kata Herli dikutip dari Kompas.com, Kamis (22/5/2025).

"Kita lihat nanti apakah perusahaan ketika diberikan fasilitas kredit ini dalam kondisi baik, capable. Bagaimana kecukupan agunan misalnya, bagaimana prosesnya, apakah sesuai mekanismenya atau tidak. Itu yang sedang dilakukan pendalaman oleh penyidiknya," sambungnya.

(Serambinews.com/Yeni Hardika)

BACA BERITA LAINNYA DI SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved