Oleh Harun Keuchik Leumiek
PENEMUAN mata uang emas (dirham Aceh) dalam jumlah yang cukup banyak oleh seorang pencari tiram di Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, yang sempat menghebohkan belum lama ini, telah membuat saya berinisiatif untuk mengetahui lebih jauh terhadap bentuk dan masa berlakunya mata uang emas tersebut.
Dari pemberitaan yang saya ikuti, sejauh ini belum terungkap pada masa Sultan apa mata uang emas itu dikeluarkan dan berlaku di Aceh. Itu sebabnya, saya bersama Kepala Musium Aceh Drs Nurdin AR MHum, yang juga seorang filologi mencoba meneliti sekitar 300 koin dirham Aceh hasil temuan itu.
Dirham yang jumlahnya diperkirakan mencapai ribuan keping itu ketika ditemukan tersimpan dalam sebuah kendi. Namun sayangnya, kendi tersebut telah dipecahkan oleh si penemu, sehingga sebagian koin yang ada di dalamnya tumpah berhamburan di dalam air dan terseret hingga beberapa meter dari tempat kendi itu ditemukan. Bahkan, masyarakat sekitar yang mengetahui penemuan ini, kemudian ikut mengadu peruntungan mencari koin dirham Aceh itu di lokasi tersebut. Mereka yang beruntung mendapatkan ‘harta karun’ ini langsung menjualnya ke toko-toko mas di Banda Aceh.
Masa Sultan Aceh
Dari hasil penelitian yang kami lakukan terhadap 300 keping dari ribuan keping koin dirham emas tersebut diketahui bahwa berdasarkan tulisan kaligrafi Arab yang tertera pada setiap koinnya, ternyata dirham emas yang ditemukan di Gampong Pande itu adalah dirham keluaran pada masa pemerintahan lima orang Sultan yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam sebelum abad ke-16. Ini diketahui dari nama-nama Sultan yang tertulis pada mata uang emas itu, yaitu Sultan Salah ad-Din (1530-1537), Sulthan Ala ad-Din Riyat Syah al-Qahar (1537-1571), Sultan Ali Riayat Syah (1571-1579), Sultan Ala ad-Din bin Amad, dan Sultan Ala ud-Din bin Ala ud-Din.
Pada dirham emas keluaran masa Sultan Salah ad-Din (1530-1537) yang ditemukan di Kampung Pande ini, menurut Filolog Nurdin AR pada bagian muka mata uang tertulis “Salah ibn `Ali Malik az-Zahir” dan bagian belakangnya tertulis “as-Sultan al-`adil”. Sedangkan dirham masa Sultan Ala ad-Din Riayat Syah al-Qahar (1537-1571), bagian muka tertulis “Ala ad-Din bin Ali bin Malik az-Zahir” dan bagian belakang tertulis “as-Sultan al-adil. Kedua dirham ini profilnya sama, yaitu berdiameter 11 milimeter, berat 0,600 gram (600 miligram), dan kadar emasnya 18 karat.
Penggunaan gelar “Malik az-Zahir” pada mata uang dirham Kerajaan Aceh Darussalam oleh beberapa Sultan --dari Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530) hingga Sultan Muda, anak dari Sultan Ali Riayat Syah (1579)-- adalah gelar yang dirujuk pada mata uang dirham Kerajaan Pasai. Setelah itu, termasuk pada masa Sultan Iskandar Muda dan setelahnya tidak lagi mencantumkan gelar “Malik az-Zahir” dan “as-Sultan al-Adil” pada mata uang emas Kerajaan Aceh Darussalam.
Menariknya lagi, dari 300 keping dirham yang kami teliti itu, beberapa di antaranya terdapat kepingan dirham Turki, yang bentuknya lebih besar dari dirham Aceh. Pada dirham Turki keluaran tahun 1273 M itu tertulis “Sultan Sulaiman Syah bin Salim Syah Khan”, dengan kadar emasnya mencapai 99% atau 24 karat. Kalau dihargai sekarang dirham Turki yang ditemukan di Gampong Pande itu harganya berkisar Rp 5-6 juta per keping.
Di sisi lain, dengan temuan dirham Turki yang bersamaan dengan temuan dirham Aceh itu mengindikasikan bahwa Aceh telah menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Islam Usmaniah di Turki sejak masa Sultan ‘Ala ad-Din Riayat Syah al-Qahar (1537-1568 M), sebagai seorang Sultan Aceh yang paling banyak memproduksi mata uang dirham emas pada masanya.
Pembuatan dirham
Bahan baku pembuatan dirham adalah emas murni (mas 99%) dan dicampur dengan perak sekitar 25%. Capuran perak pada dirham adalah untuk memudahkan pembuatan, di samping akan kelihatan bentuk dirham tampak lebih lembut. Dibandingkan campuran tembaga, pembuatannya agak sukar, kerena bila emas dicampur tembaga agak lebih keras, dan warnanya pun agak lebih merah, dibandingkan dirham bercampur perak, warnanya agak sedikit keputihan dan terkesan lembut.
Dalam sepanjang sejarah kerajaan di Aceh, menurut penelitian para arkeolog hanya ada dua kerajaan yang pernah mengeluarkan mata uang dirham yang terbuat dari emas, yaitu kerajaan Islam Samudera Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam. Kepingan dirham Kerajaan Samudera Pasai lebih tebal dan bentuknya sedikit lebih kecil dari dirham Kerajaan Aceh Darussalam. Sedangkan beratnya sama, yaitu 0,600 gram (600 miligram).
Sekitar 15 tahun yang lalu, di sebuah daerah di Aceh Utara pernah didapati sebuah tempat pembuatan dirham baru. Dirham yang dibuat ini sangat bagus dan rapi, persis dirham asli. Kualitas atau mutu dirham baru ini pun sama persis dengan dirham lama yang asli, baik kadar beratnya maupun tulisan Arab pada permukaan koin dirhamnya. Sehingga kalau orang tidak ahli tentang dirham mereka pasti tertipu untuk membelinya.
Karena saat itu banyak sekali beredar dirham baru di Aceh, sehingga para kolektor dirham dari berbagai negara banyak yang berdatangan ke Aceh, termasuk dari Eropa. Namun mereka sangat teliti dan tahu betul membedakannya antara dirham buatan baru dengan dirham lama (dirham asli). Akibatnya, para kolektor asing itu tak lagi mau datang ke Aceh untuk mencari dirham. Mereka sudah tahu di Aceh banyak sekali beredar dirham palsu. Bahkan akibat beredarnya dirham baru di Aceh saat itu, sempat membuat dirham asli ikut jatuh harganya di Aceh.
Pakar dirham
Prof Dr HT Ibrahim Alfian (amarhum) adalah seorang pakar dirham yang banyak mengoleksi dirham dari berbagai jenis dan tahun keluarannya. Sejarawan asal Aceh yang menetap di Yogya ini, setiap kali beliau datang ke Banda Aceh selalu menjumpai saya, karena banyak dirham yang ada pada koleksi saya tidak beliau miliki untuk beliau teliti. Bahkan hingga beliau meninggal di Yogya pada 2010 lalu, Prof Ibrahim Alfian sedang menyelesaikan buku “Dirham Aceh” yang sangat lengkap dalam dua bahasa (Indonesia-Inggris).
Saat menulis buku yang hingga beliau meninggal sudah rampung sekitar 80% itu, Ibrahim Alfian banyak meminjam dirham yang sudah sangat langka yang ada dalam koleksi saya. Sepeninggal beliau saya sendiri tidak tahu lagi; Apakah buku tersebut ada yang melanjutkan untuk merampungkannya? Kalau tak ada yang merampungkannya, sungguh sangat disayangkan. Buku yang sangat berharga tentang sejarah dirham Aceh itu tidak terwariskan kepada generasi sekarang dan yang akan datang.