Diasuh oleh Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA.
Pertanyaan:
Yth. Ustaz Pengasuh,
Assalamualaikum wr wb.
Bersama ini saya ingin sekali mengetahui hukum gadai, terutama hukum memanfaatkan hasil barang gadaian, oleh si pemegang barang tersebut? Apa hukumnya menurut hukum syariat Islam?
Atas keseediaan ustaz menjawabnya, kami haturkan banyak terima kasih,
Alfu Syahrin
Glee Inim, Aceh Besar.
Jawaban:
Sdr Alfu Syahrin, yth.
Waalaikumussalam wr wb.
Meskipun secara lughawy, gadai artinya “tertahan” namun secara istilahi berarti “barang yang dijadikan sebagai jaminan utang apabila tidak dapat melunasinya” (cf, Aunul Ma;bud 9-10).
Para ulama sepakat, hukum gadai secara umum diperbolehkan, berdasarkan antara lain firman Allah Swt: “...Dan jika kamu dalam perjalanan (sedang bertransaksi tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapati penulis, maka hendaklah ada barang gadai (tanggungan) yang dipegang.” (QS. Al-Baqarah:283)
“Aisyah ra juga menceritakan bahwa Nabi saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi, kemudian beliau menggadaikan perisai perangnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari dalil-dalil di atas, dan masih benyak lagi hadis lain, menunjukkan bolehnya pegadaian, baik ketika berpergian (safar) ataupun tidak dalam bepergian. Segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan, boleh dijadikan barang gadaian. Demikian pula apa saja yang tidak boleh diperjualbelikan, maka tidak boleh digadaikan, karena maksud menggadaikan sesuatu adalah untuk jaminan apabila tidak dapat melunasi utangnya. Apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasi utangnya, maka barang tersebut bisa dijual untuk melunasi utang tersebut. Ini akan terwujud dengan barang yang bisa diperjualbelikan.
Oleh karena itu, seandainya seseorang ingin meminjam uang, kemudiaan menggadaikan anaknya, ini tidak diperbolehkan karena anak tidak boleh diperjualbelikan, sesuai sabda Nabi saw: “Ada tiga golongan yang dibantah oleh Allah pada hari kiamat. Di antaranya seseorang yang menjual (orang) yang merdeka dan memakan hasil penjualannya.” (HR. Bukhari)
Seseorang ingin meminjam uang dan menggadaikan hewan-hewan piaraan yang haram hukumnya seperti anjing dan babi, maka ini tidak diperbolehkan karena anjing dan babi tidak boleh diperjualbelikan lantaran barang yang haram tidak boleh diperjualbelikan, sesuai hadis: “Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, pasti mengharamkan harga (jual beli)nya.” (Hadis ini dishahihkan al-Albani dalam Ghayatul Maram)
Seandainya seseorang menggadaikan sebuah rumah, padahal rumah ini adalah rumah wakaf, maka penggadaian ini tidak sah karena sesuatu yang telah diwakafkan tidak boleh dijual, sebagaimana sabda Nabi saw: “Barang wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi dari Ibnu Umar ra)
Mengenai pemanfaatan barang gadaian, jumhur ulama, termasuk madzhab empat bersepakat bahwa barang yang sedang digadaikan tidak boleh dimanfaatkan oleh pemegang barang, kecuali atas seizin pemilik barang dengan sepenuh kerelaan hati, sesuai firman Allah: “Janganlah kamu makan harta orang, kecuali melalui perdagangan yang berlangsung dengan sepenuh kerelaan hati.” Ini sama juga dengan hadis No.7662 yang termuat dalam Jami’ush Shaghir. Inilah ketentuan umum mengenai pemanfatan barang gadaian.
Adapun yang berlaku di sejunlah daerah di Asia Tenggara, kalau barang gadaian itu berupa tanah sawah, maka hasil sawah tersebut dimanfaatkan sampai yang berutang sanggup melunasi utangnya, meskipun memakan waktu sampai puluhan tahun. Ini sebenarnya termasuk ke dalam memakan harta orang tanpa seizin pemiliknya. Sebab, kalau kita tanyakan kepada pemiliknya, apakah ia rela hasil tanahnya itu diambil oleh sipemegang gadaian, meskipun ratusan tahun? Pasti jawabnya tidak setuju.
Malah apabila barang gadai membutuhkan biaya perawatan seperti hewan yang membutuhkan biaya makan, minum dan yang lainnya, maka biaya ini pada asalnya ditanggung oleh penggadai (pemilik barang), karena pemilik barang pada asalnya menanggung semua kerugian dan memiliki semua hasil keuntungan yang timbul dari barangnya. Misalnya; apabila seseorang menggadaikan sebuah tokonya yang besar, sedangkan situasi di tempat tersebut tidak aman dan sangat dikhawatirkan adanya para pencuri yang akan mencuri di toko tersebut, maka pemegang toko boleh menyewa para penjaga toko/satpam untuk menjaga agar toko terebut selamat dari gangguan pencuri, dan yang menanggung biaya sewa satpam adalah penggadai (pemilik toko) itu.
Memang tidak dinafikan, apabila barang yang digadaikan bisa dimanfaatkan, sedangkan barang tersebut membutuhkan biaya perawatan, dan pemilik barang tidak memberi biaya perawatannya, maka pemegang barang boleh memanfaatkannya, akan tetapi hanya sebatas/seimbang dengan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan memelihara barang tersebut.
Abu Hurairah ra, berkata bahwa Nabi saw bersabda: “Punggung (hewan yang dapat ditunggani) boleh ditunggangi sebatas pengganti biaya yang telah dikeluarkan, dan air susu (hewan yang bisa diperah susunya) boleh diminum sebatas biaya yang telah dikeluarkan apabila (hewan-hewan tersebut) sedang digadaikan, serta yang menunggangi dan yang minum susunya harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya.” (HR. Bukhari)
Hadis tersebut menunjukkan, pemegang barang berhak memanfaatkan barang gadai sebatas pengganti biaya yang dikeluarkan untuk perawatannya, seperti biaya makan dan minum setiap hari dan lainnya (cf. Subulussalam, jld.5 hal. 161). Sedangkan barang gadai yang tidak membutuhkan biaya perawatan selama digadaikan seperti perhiasan, alat-alat rumah tangga dan lainnya, tidak boleh dimanfaatkan oleh pemegang barang kecuali dengan seizin pemilik barangnya.
Dan dari hadis di atas pula (dari perkataan “sebatas biaya yang dikeluarkan”), bahwa bolehnya pemegang barang memanfaatkan barang gadai dengan syarat harus seimbang antara pemakaian/pemanfaatan barang dengan biaya yang dikeluarkan untuk biaya perawatan barang tersebut, dan tidak boleh berlaku zalim atau sampai membahayakan barang gadai tersebut.
Misalnya, apabila seseorang menggadaikan sapi perahnya kepada orang lain, maka boleh bagi pemegang barang memerah susu sapi tersebut dan memanfaatkan susunya sebatas pengganti biaya perawatan sapi perah itu. Apabila biaya perawatannya selama seminggu adalah sebesar Rp 100.000 sedangkan hasil perahan susunya selama satu minggu adalah Rp 150.000, maka pemegang barang hanya berhak mengambil yang seimbang dengan biaya perawatannya yaitu Rp 100.000 dan sisanya sebesar Rp 50.000 harus dikembalikan kepada pemilik barang tersebut karena itu adalah haknya (Asy-Syahrul Mumti’ 9/97, dengan perubahan angka dan penyesuaian). Demikian, wallahu a’lamu bish-sahawab.