Masih ingatkah kita akan bencana tsunami yang menerjang kawasan utara Samudera Hindia pada hari Minggu, 26 Desember 2004 lalu? Itulah salah satu bencana alam terdahyat di dunia pada abad ini, dengan korban meninggal atau hilang di kawasan pesisir Aceh lebih dari 170.000 jiwa dan selebihnya, sekitar 60.000 jiwa tersebar di 48 negara lainnya.
Pada saat tsunami menerjang, Minggu pagi sekitar pukul 08.45 WIB atau 30 menit setelah gempa 9,2 skala Richter (SR), gulungan gelombang air laut berdiri tegak di tengah laut, sedang menuju daratan. Tidak banyak yang menduga saat itu, air laut akan menggulung daratan bersama isinya.
Warga baru terkejut, gelombang air laut menjulang tinggi, menutupi bangunan dan pepohonan yang dilewatinya di tepi pantai. Sehingga,
sebagian warga sudah terlambat untuk menyelamatkan diri dan kepanikan pun menyelimuti warga, yang tidak juga mengetahui, bahwa itulah yang disebut tsunami.
Pada hari itu, atau Minggu siang, warga yang selamat mencoba kembali ke tempatnya masing-masing, walau tsunami kecil masih menyisiri sungai dan melihat, kehancuran dimana-mana. Tidak ada lagi rumah yang tersisa, hanya satu atau dua unit rumah lantai dua yang masih berdiri tegak.
Mayat juga terlihat, baik di bawah puing bangunan maupun mengapung di sisa air tsunami di kawasan daratan. Hari demi hari terus dilalui para korban selamat, mulai dari menyengatnya bau mayat sampai membludaknya tempat penampungan sementara, seperti masjid, sekolah atau lainnya atau juga tenda darurat di depan rumah warga.
Dunia pun terkejut melihat tingkat kehancuran yang terjadi di Aceh, sehingga bantuan internasional terus mengalir, sampai terbentuknya BRR NAD-Nias yang menangani rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Tidak perlu menunggu lama, dalam waktu lima tahun, kawasan yang hancur tsunami kembali seperti semula, bahkan lebih baik dibandingkan sebelum tsunami, seperti Kota Banda Aceh.
Saat ini, Kota Banda Aceh yang sempat hancur diterjang tsunami, tumbuh pesat. Mulai dari menjamurnya pembangunan pertokoan, perumahan, pusat perbelanjaan, hotel bintang lima sampai gedung perkantoran yang megah. Tidak ada lagi sisa tsunami yang terlihat, kecuali Kapal Apung dan beberapa lainnya.
Tsunami memang sudah berlalu sembilan tahun, tetapi para warga, khususnya generasi muda tidak boleh lengah dengan tanda-tanda bencana alam itu yang kerap menerjang Jepang. Semoga, bencana itu yang diprediksikan para pakar akan kembali menerjang Aceh, tidak terjadi dan kalaupun terjadi, tidak akan memakan korban dalam jumlah banyak, seperti 26 Desember 2004 lalu.
FOTO: SERAMBI/M ANSHAR
TEKS: SERAMBI/M NUR