Opini

Aceh dan IMT-GT

Editor: hasyim
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Oleh Fauzi Umar

ACEH dipercayakan menjadi tuan rumah pelaksanaan pertemuan dan konferensi Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) 2014, yang saat ini sedang berlangsung di Banda Aceh. Pertemuan ini sebagai tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya di Koh Samui, Thailand, dimana Gubernur Aceh Zaini Abdullah dipercayakan sebagai pimpinan delegasi Indonesia. Hasil pertemuan tersebut di antaranya memutuskan Aceh menjadi tuan rumah pelaksanaan IMT-GT.

IMT-GT merupakan satu bentuk kerja sama ekonomi regional yang keanggotaannya melibatkan tiga negara bertetangga di kawasan Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand. Kerja sama IMT-GT dimulai melalui penandatangan agreement pada pertemuan I tingkat menteri IMT-GT di Langkawi, Malaysia pada 20 Juli 1993.

Pertemuan yang direncanakan dibuka Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Chairul Tanjung dilaksanakan pada 11-14 September 2014 dihadiri sekitar 300 peserta dari tiga negara, meliputi sejumlah menteri, para gubernur di Sumatera, pimpinan negara bagian di Malaysia dan Thailand serta hadir para pebisnis, pakar dan diplomat dari ketiga negara.

Pada awalnya kerja sama IMT-GT hanya melibatkan 13 provinsi, yaitu empat provinsi di Indonesia (Aceh, Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Barat), empat negara bagian dari Malaysia (Perlis, Kedah, Penang dan Perak), serta lima provinsi di Thailand (Satun, Yala, Songkhla, Naratthiwat, dan Pattani).

Setiap tahunnya anggota IMT-GT bertambah, sampai saat ini provinsi di Indonesia, Malaysia dan Thailand yang masuk ke dalam kerja sama IMT-GT berjumlah 32 provinsi, yaitu 10 provinsi di Indonesia (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Bengkulu dan Lampung), 14 provinsi di Thailand (Pattani, Songkhla, Yala, Naratthiwat, Satun, Trang, Phattalung, Nakhon si Thammarat, Chumporn, Krabi, Phanga, Phuket, Ranong, Surrathani) serta 8 negara bagian di Malaysia (Perak, Penang, Kedah, Perlis, Selangor, Kelantan, Malaka, dan Negeri Sembilan).

 Sangat strategis
Pertemuan ini sangat strategis dan mengangkat isu-isu utama yang menitik beratkan pada kerja sama dan investasi yang saling menguntungkan memasuki era-komunitas ASEAN yang disebut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), membangun koneksitas antarwilayah antarnegara, serta pengembangan pariwisata terintegrasi dari sejumlah provinsi dari ketiga negara bertetangga itu.

Dalam perkembangan kerjasama regional tersebut hingga saat ini belum banyak memberikan pengaruh dan kemajuan bagi Provinsi Aceh dibandingkan provinsi-provinsi lain seperti Sumatera Utara, Riau, Padang. Apalagi jika dibandingkan dengan kemajuan pada provinsi-provinsi lain di negara Malaysia dan Thailand. Provinsi Aceh harus terus berpacu dan bekerja keras untuk berbenah diri agar dapat maju seperti provinsi tetangga.  

Kalau dilihat selama ini pengusaha-pengusaha provinsi tetanggga mengambil peran yang sangat siqnifikan mengembangkan usahanya  untuk mempercepat kemajuan ekonomi masing-masing wilayah dan bahkan telah ber-ekspansi ke masing-masing negara dalam wadah kerjasama IMT-GT, berbeda halnya dengan pengusaha-pengusaha provinsi Aceh pada saat ini dengan berbagai alasan. Padahal dulu peran dunia usaha Aceh telah diakui secara nasional dan bahkan kiprahnya hingga internasional.

Selama ini banyaknya road show telah dilakukan dan banyak komitmen yang telah dibangun, namun merealisasikan komitmen tersebut bukan merupakan suatu hal yang mudah. Para pelaku dan dunia usaha harus benar-benar diyakinkan Aceh adalah daerah tujuan investasi yang aman dan menguntungkan.

Pemerintah Aceh harus membangun infrastruktur yang mendukung ekonomi, memangkas birokrasi serta memberikan insentif yang dibutuhkan dunia usaha. Insentif tersebut antara lain berupa bebas biaya sewa lahan dan pungutan lainnya dengan rentang waktu 30-50 tahun seperti yang dilakukan Malaysia. Bahkan, kalau perlu, seperti yang dilakukan negara tirai bambu Cina yang menggelar “karpet merah” menyambut kedatangan investor dengan memberikan insentif yang sangat menggiurkan dunia usaha.

Pemerintah Aceh harus berpikir visioner dan menyambut kedatangan investor untuk mendongkrak ekonomi Aceh dalam jangka panjang, seperti yang dicontohkan Malaysia atau Cina yang berhasil membangun kepercayaan investor, sehingga ekonominya tumbuh pesat dan menakjubkan dunia.   

Pemerintah Aceh harus bekerja keras dan mengambil langkah-langkah tepat dan berani untuk menghilangkan stigma Aceh daerah yang tidak aman untuk berinvestasi. Pemerintah Aceh harus membuktikan bahwa Aceh adalah daerah yang menarik untuk investasi dengan kemudahan dan insentif yang diberikan sehingga ekonomi Aceh bangkit dari keterpurukan.

 Etalase Indonesia
Satu daerah potensial dan strategis untuk dikembangkan adalah Sabang. Kota Sabang sebagai satu etalase Indonesia, sudah selayaknya dikembangkan potensi pariwisata terintegrasi berkelas nasional dan internasional. Selain itu Sabang juga sebagai gate way Selat Malaka dan berbatasan langsung dengan negara tetangga IMT-GT sudah seharusnya dikembangkan sesuai amanah Undang-undang No.37 Tahun 2000 dan Undang-undang No.11 Tahun 2006.

Selama ini Kota Sabang terlalu terbuai dengan banyak gelar dan embel-embel yang diberikan seperti freeport dan freetrade zone, Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), Kawasan Strategis Nasional (KSN), kawasan perbatasan negara, DMO (Desstination Management Organization) dan embel-embel yang lain. Padahal kenyataannya Kota Sabang jauh tertinggal dibandingkan kota-kota yang sudah go internasional lainnya seperti Langkawi di Malaysia dan Phuket di Thailand.

Halaman
12

Berita Terkini