Oleh Azhari Meugit
Diceritakan, tari meugrob pada awalnya pernah menelan korban di sebuah kampung di Jeunib. Peristiwa berdarah ini konon menyebabkan tarian perlahan redup di kampung tersebut. Di kampung ini, tarian ini digunakan sebagai semacam ruang eksekusi untuk menghukum mempelai pria yang jarang ke meunasah untuk salat jamaah.
Pengantin barulaki-laki yang bersembunyi di rumah, biasanya dijemput sejumlah pemuda ke meunasah ketika mereka sedang menderakkan permainan ini. Begitu permainan memasuki gerakan berdiri sambil memutar, sang mempelai mendadak didorong dalam lingkaran, kemudian dilambung-lambung ke atas dalam tempo lama sehingga tarian ini disebut juga sebagai peugrob linto.
Tapi telah terjadi sesuatu yang di luar rencana. Suatu ketika seorang mempelai yang tidak sudi dipeugrob, mencabut sebilah rencong mertuanya dan menusuk para pemain meugrob.
Sementara di kampung Pulo Lueng Teuga, Sigli, tak ada korban jatuh. Pengantin laki-laki tidak melawan, semata pasrah. Namun selepas dipeugrob, laki-laki itu pindah ke kampung lain dan jarang pulang karena malu.
Meugrob Sigli sama dengan rabbani meugrob Samalanga. Hanya bedanya, di Sigli dibuka sambil duduk setengah lutut lalu bangkit sambil membaca syair:tabeudoh dong nibak taduek, hatee njang khusyuk dalam dada serentak gerakan mengayunkan tangan serentak, berhadapan, saling memegang bahu, berjalan membentuk angka delapan, memutar membuat lingkaran rapat dan akhirnya melompat-lompat sambil memeluk erat sesama.
Pernah pula sebuah tarian menyerupai meugrob muncul di Sigli: Hasan-Husen atau tarian San-Usen. Syair lagu tari ini juga termaktub dalam kitab syair Rabbani Meugrob Samalanga semisal; uroe siploh, buleun Muharam, kesudahan Husen Jamaloi.
Dalam riset kami untuk produksi sebuah film dokumenter di Sigli dan Samalanga, kami menemukan semacam kesamaan dalam tradisi peutamat daruih atau khatam Quran yang sudah pupuler sejak era 50-an, yakni tradisi zikir sambil menggerakan badan dan meloncat-loncat, yang kemungkinan menjadi akar dari tarian ini.
Di beberapa daerah, praktik meugrob terkini sangat beragam dengan nama berbeda pula. Orang Samalanga menyebut gerakan berat rampak menghentak itu sebagai Rabbani Meugrob yang sekilas mirip tarian Rabbani Negar di India di bawah arahan Syaikh Muhammad Abdullah Baba Hidayatullah. Namun pada 1989 Rabbani Meugrob Samalanga diubah nama lagi menjadi Rabbani Wahed oleh TM. Daud Gade bersama koreografer Nurdin Daud yang kala itu adalah pengajar tari Aceh di Institut Kesenian Jakarta. Tarian inilah yang pada 2016 disahkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai salah sekian Warisan Budaya Nasional Bukan Benda.
Di kampung Udan Nagan Raya, terkenal dengan nama Meugrob Bensa atau Rateb Mensa. Tari ini biasa dimainkan pada malam penghabisan Ramadhan. Di Nagan pemimpin ritual disebut Khalifah, sedangkan di Sigli dan Bireuen dijuluki Syeh. Syarat menjadi khalifah, seseorang pernah mengambil ijazah guru atau mursid tariqat.
Snouck Hurgronje pernah menyaksikan atraksi ratib ini di bulan Ramadhan, sebagaimana disebutnya dalam buku Aceh di Mata Kolonial:Mula-mula mereka berkumpul dengan irama sedang mendendangkan ayat-ayat yang memuja kebesaran Allah, tetapi lambat-laun irama tadi bertambah cepat, ayat-ayat yang tidak henti-hentinya diulang bertambah pendek (misalnya: ‘huu Allah! hu da’em! hu!, dan lain-lain), suara pun makin keras dan memekik.
Praktik Meugrob Mensa di Nagan bukan sebatas permainan, tetapi menjelma menjadi ritual. Sebelum dimulai, khalifah menjelaskan tatacara berzikir yang tidak boleh putus walau ada yang pingsan. Zikir harus terus berlanjut, dan yang akan ikut harus suci dari obat bius dan tidak berniat mencelakai kawan. Khalifah memimpin zikir atau ratib dengan mengatur ritme irama zikir. Begitu zikir mulai kencang, pengikut membuat lingkaran dua lapis. Pertama lingkaran kecil yang padat sambil berpelukan dimana orang yang di dalam tidak akan bisa keluar lagi. Kedua, sebuah lingkaran besar untuk membentengi lingkaran kecil yang makin lama semakin kencang sambil melompat-lompat dan pada akhirnya ada yang pingsan tak sadarkan diri.
Begitu ada yang pingsan, akan dipeugrob-peugrob sambil menyebutkan zikir yang sangat keras, setelah itu akan dibawa ke luar lingkaran. Pada saat lingkaran kecil menyusut karena banyaknya yang pingsan, Khalifah akan mendorong lingkaran kedua untuk mengambil alih.
Pergantian ini terjadi terus menerus.
* Azhari Meugit, sutradara film, bergiat di Komunitas Dokumenter Aceh.