Opini

Kemiskinan vs Pengangguran

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

kemiskinan

Oleh Hamdani Zaima

KEMISKINAN dan pengangguran adalah dua kata yang sangat populer kalau membicarakan perkembangan pembangunan suatu daerah lebih khusus masalah upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Masalah kemiskinan merupakan fenomena sosial, masalah yang kompleks dan bersifat multidimensional, di mana berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya.

Kompleksnya masalah kemiskinan membuatnya terus menjadi agenda rutin setiap tahapan pembangunan di berbagai daerah. Sehingga membuat semua daerah berupaya semaksimal untuk dapat mengurangi tingkat kemiskinan termasuk pengangguran, bahkan ada yang menerapkan berbagai pola khusus lintas sektor dengan mengalokasikan anggaran yang tidak sedikit.

Program-program pembangunan yang dilaksanakan oleh daerah-daerah selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan mengurangi jumlah pengangguran, karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat adalah dari menurunnya angka kemiskinan dan pengangguran.

Oleh karena kemiskinan dan pengangguran merupakan dua indikator yang seringkali dijadikan sebagai patokan utama untuk mengukur keberhasilan dalam mensejahterakan masyarakat, maka tentu banyak daerah yang merasa kurang nyaman kalau perubahan angka persentase jumlah penduduk miskin tidak berbanding lurus dengan angka pengangguran. Artinya, jika suatu daerah pada suatu waktu tertentu telah berhasil menurunkan persentase jumlah penduduk miskin, namun pada waktu yang sama jumlah pengangguran justeru meningkat, ataupun sebaliknya.

Kemiskinan dan pengangguran adalah dua hal yang berbeda. Seseorang bisa menyandang predikat “miskin” dan “menganggur” dalam waktu bersamaan, bisa juga menyandang salah satunya, dan tidak menyandang dua-duanya di waktu yang lain. Seseorang merasa serba kekurangan atau serba berkecukupan, namun dia tetap bekerja sepanjang waktu. Di lain pihak, ada orang yang tidak punya apa-apa atau orang yang memiliki harta berlimpah, namun ada saat-saat tertentu yang tidak bekerja. Jadi kemiskinan dan pengangguran secara bersamaan bisa terjadi perubahan searah dalam waktu tertentu, dan bisa juga saling berlawanan arah pada waktu yang lain.

Kemiskinan
Kemiskinan adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Yang kemudian batasan dari sisi pengeluaran inilah disebut sebagai Garis Kemiskinan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Angka persentase penduduk miskin diperoleh Badan Pusat Statistik dengan melakukan pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan dua kali dalam setahun yaitu setiap bulan Maret dan bulan September di seluruh wilayah Republik Indonesia. Salah satu jenis data yang ikut dikumpulkan dalam Susenas adalah perincian detail pengeluaran Rumah Tangga untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) yaitu untuk konsumsi bahan-bahan makanan dan non makanan.

Pendekatan kebutuhan dasar yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menghitung angka kemiskinan, di mana jumlah komponen kebutuhan dasar makanan setara 2.100 kkl yang diwakili oleh 52 jenis komoditi makanan, dan 51 jenis komoditi bukan makanan di daerah perkotaan dan 47 komoditi di daerah perdesaan. Kebutuhan dasar akan makanan adalah bagaimana seseorang memenuhi kebutuhan fisik minimumnya setara dengan 2.100 kkal perkapita per hari yang dikonversikan dalam satuan rupiah.

Demikian juga dengan kebutuhan dasar bukan makanan yaitu berapa jumlah rupiah yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk dapat memenuhi kebutuhan akan perumahan, fasilitas rumah tangga, pakaian, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Hasil pendataan Susenas akan diperoleh data berapa (rupiah) yang harus dikeluarkan oleh seorang penduduk per bulan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya yang disebut “garis kemiskinan”, dan juga data berapa pengeluaran per kapita per bulan di suatu daerah. Penduduk yang mempunyai pengeluaran per bulan di bawah garis kemiskinan dikatagorikan sebagai penduduk miskin.

Dengan demikian bisa dipahami bahwa karena kemiskinan berhubungan langsung dengan tingkat pengeluaran terhadap makanan dan non makanan, maka secara umum naik turunnya persentase penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor utama, yaitu tingkat pendapatan masyarakat, tingkat harga dan ketersediaan semua paket komoditi (basic needs) di pasaran, dan pola komsumsi masyarakat. Sehingga bisa diprediksi bahwa apabila suatu daerah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat dan mampu menjaga stok barang yang cukup dan dengan harga yang stabil di pasaran, serta dengan pola konsumsi yang benar, maka akan banyak penduduk yang keluar dari “garis kemiskinan”, atau dengan kata lain persentase penduduk miskin akan menurun.

Ketiga faktor berpengaruh tersebut harus diupayakan secara simultan, karena kalau salah satu saja tidak berhasil diupayakan (dikendalikan) maka persentase angka kemiskinan akan cenderung merangkak naik. Kalau pendapatan masyarakat berhasil ditingkatkan, namun harga barang-barang kebutuhan pokok di pasaran merangkat naik, maka posisi “garis kemiskinan” juga akan bergerak naik. Ini berarti, penduduk yang selama ini posisinya berada di atas garis kemiskinan akan bergerak dan berada di bawah garis kemiskinan.

Begitu pula kalau stok barang-barang kebutuhan pokok di pasaran sangat susah didapat (langka), maka masyarakat tidak bisa memenuhi semua kebutuhan pokoknya. Kondisi ini mengakibatkan pengeluaran dalam memenuhi kebutuhan fisik minimum menjadi rendah, sehingga masyarakat tidak bisa melepaskan diri dari jurang kemiskinan. Sama halnya jika harga barang-barang kebutuhan pokok di pasaran bergerak naik, karena daya beli masyarakat rendah sehingga tidak mampu untuk membelinya. Sebagian masyarakat harus menggantikan barang tersebut dengan barang lain yang harganya lebih murah. Akibatnya pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar akan menjadi rendah dan posisinya tetap berada di bawah garis kemiskinan.

Pengangguran
Pengangguran adalah penduduk berusia 15 tahun ke atas yang tidak bekerja, sedang mencari pekerjaan, atau sedang mempersiapkan usaha baru atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena putus asa/merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (discourage worker), atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja/mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (future starts).

Kemajuan teknologi yang kini merambah ke seluruh lapisan masyarakat memang sangat membantu dalam segala bidang pekerjaan. Banyaknya mesin-mesin yang digunakan untuk mempermudah pekerjaan manusia dapat menghasilkan barang yang berkualitas yang tak kalah dengan pembuatan manual oleh manusia. Tetapi hal ini tidak saja membuat pemerintah dan masyarakat lega, namun akibat dari penerapan teknologi padat modal telah menimbulkan masalah baru yang hingga kini belum dapat terselesaikan, yaitu pengangguran.

Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya. Hal ini diperparah lagi dengan kondisi masih adanya angkatan kerja yang terlalu memilih-milih pekerjaan, dan terlalu lama rentang waktu istirahat antara pekerjaan yang telah dikerjakan dengan pekerjaan yang akan dikerjakan selanjutnya.

Angka persentase jumlah pengangguran diperoleh oleh BPS melalui pendataan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan dua kali setahun, yaitu setiap Februari dan Agustus. Rumah tangga yang terpilih sebagai sampel Sakernas sangat beragam, mulai dari petani/nelayan, pegawai negeri/perusahaan, TNI/Polri, buruh, pengusaha/pedagang, dan lain-lain.

Keberhasilan pembangunan di suatu daerah antara lain dapat dilihat dari peningkatan pendapatan penduduk yang ditandai dengan semakin meningkatnya daya beli masyarakat, peningkatan kualitas maupun kuantitas infrastruktur, peningkatan pendidikan secara umum baik kualitas maupun kuantitas, peningkatan kualitas kesehatan, kondusifnya situasi keamanan, dan lain-lain.

Dengan demikian, tujuan akhir dari pelaksanaan pembangunan secara umum adalah untuk menyejahterakan masyarakat yang secara bertahap ditandai dengan semakin menurunnya jumlah masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Namun semua peningkatan tersebut belum tentu akan selalu berbanding lurus dengan perubahan jumlah angka pengangguran di suatu daerah.

Secara umum untuk menjadikan kemiskinan dan pengangguran supaya selalu berbanding lurus setiap terjadi perubahan adalah dengan secara simultan meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat, terpenuhinya kebutuhan fisik minimum, membuka lapangan kerja dan peluang berusaha yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan para pencari kerja dan penganggur, terutama untuk para lulusan perguruan tinggi.

* Ir. Hamdani Zaima, M.S.M., Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banda Aceh. Email: hamdani@bps.go.id

Berita Terkini