LAMPU Babeleng, begitulah warga Singkil menyebut mercusuar yang terletak di tengah pemakaman umum Desa Pulau Sarok. Sayang, besi mercusuar telah hilang. Yang tersisa tinggal pondasi di empat sudut sebagai saksi sejarah masa lalu di dekat itu terdapat pelabuhan tempat bersandar kapal bangsa Belanda.
Tidak ada yang tahu persis Lampu Babeleng itu didirikan, namun diperkirakan sekitar abad ke-18. Sementara yang mendirikan hampir semua warga setempat menyebutkan Belanda.
Belanda mendirikan mercusuar tersebut untuk membantu navigasi kapal-kapal berbobot ribuan ton pengangkut rempah-rempah, bersandar di Kota Singkil yang diperkirakan menjadi pelabuhan utama, di Pantai Barat Selatan Aceh. Ini juga dibuktikan dengan didirikannya kantor, tangsi militer, kantor pos dan telpon oleh Belanda yang sisa-sisanya masih bisa ditelusuri. “Saya kira Singkil dulunya merupakan pelabuhan terbesar di Pantai Barat Aceh,” kata H Ismail Saleh (69), tokoh masayarakat Singkil, Rabu (11/4).
Sayangnya, peninggalan sejarah yang menunjukan kejayaan maritim Singkil masa lalu nyaris tidak lagi tersisa. Kecuali kuburan Belanda sekitar 500 meter dari mercusuar Lampu Babeleng, masih bisa dilihat dari pinggir jalan raya. “Kantor posnya dulu besar sekali, tapi itulah, sayang tidak ada yang tersisa lagi,” ujar Ismail.
Lokasi Lampu Babeleng di tengah pemukiman saat ini juga menjadi bukti jika sebagian Pulau Sarok, dahulunya merupakan lautan. Kemudian akibat pengaruh alam berubah menjadi daratan. “Dulu mulai dari Kilangan sampai Pulau Sarok, berada di pinggir laut. Di Desa Pasar, terdapat teluk. Sementara kapal bersandar di Pulau Sarok, itulah Lampu Babeleng mercuasarnya,” kata H Ismail.
Lokasi Lampu Babeleng dekat dengan pinggir laut juga dapat dilihat dari pasir pantai yang ada di lokasi. Laut diperkirakan hanya berjarak 100 meter dari mercusuar Lampu Babeleng, yang diperkiran tingginya sekitar 35 meter. Sementara saat ini laut sudah jauh diperkirakan mencapai 1 Km dari lampu babeleng.
Lampu babeleng banyak menyisakan kenangan bagi warga Singkil yang lahir tahun 60-an. Anak-anak remaja pada masa itu kerap memanjat ke atas mercusuar lampu babeleng, untuk menikmati pemandangan dari atas. “Tahun 75-an saya suka manjat lampu babeleng. Enak rasanya melihat pemandangan dari atas,” kata Anwar Tanjung (55).
Sepengetahuan Anwar Tanjung, berubahnya sebagian Pulau Sarok, yang tadinya lautan menjadi daratan diperkirakan sebelum tahun 1975. Sebab, ketika dirinya memanjat lampu babeleng kala itu laut sudah jauh. “Saat saya memanjat lampu babeleng laut sudah jauh, tapi kata orang tua dulunya dekat laut,” jelas Anwar Tanjung.
Sementara itu Asisten I Setdakab Aceh Singkil, Mohd Ichsan mengatakan, Singkil telah ditetapkan sebagai salah satu zona pariwisata. Peninggalan sejarah masa lalu sesungguhnya bisa menjadi daya tarik wisatawan Eropa khususnya Belanda, bahwa nenek moyang mereka pernah tinggal di Singkil. “Selain punya alam, kita juga mempunyai wisata sejarah. Ini menjadi modal yang sedang digali,” kata Ichsan.(dede rosadi)