Loloskan Napi Koruptor Jadi Bakal Caleg, Bawaslu Dianggap Cederai Pemilu Berintegritas

Editor: Faisal Zamzami
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bakal calon legislatif yang merupakan mantan narapidana korupsi kembali diloloskan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

SERAMBINEWS.COM - Badan Pengawas Pemilu kembali loloskan bakal calon legislatif mantan narapidana korupsi.

Bakal caleg tersebut berjumlah tujuh orang, masing-masing berasal dari Bulukumba, Palopo, DKI Jakarta, Belitung Timur, Mamuju, dan Tojo Una-Una.

Sebelumnya, Bawaslu juga meloloskan lima bakal caleg mantan napi korupsi asal Aceh, Toraja Utara, Sulawesi Utara, Rembang, dan Pare-Pare.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan membenarkan adanya 12 mantan koruptor yang diloloskan sebagai bakal caleg oleh Bawaslu.

"Infonya begitu," kata Wahyu saat dihubungi Kompas.com, Minggu (2/9/2018).

Pada masa pendaftaran bacaleg, 12 mantan koruptor tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU.

Mereka lantas mengajukan sengketa pendaftaran ke Bawaslu dan Panwaslu setempat. Hasil sengketa menyatakan seluruhnya memenuhi syarat (MS).

Keputusan tersebut diambil Bawaslu lantaran mereka mengklaim berpedoman pada Undang-Undang Pemilu nomor 7 tahun 2017 yang tidak melarang mantan narapidana korupsi untuk mendaftar sebagai caleg.

Sementara KPU, dalam bekerja berpegang pada Peraturan KPU (PKPU) nomor 20 tahun 2018 yang memuat larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon wakil rakyat.

Berikut daftar 12 caleg eks koruptor tersebut berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas.com:

1. M Nur Hasa, mantan napi korupsi asal Rembang, bakal caleg Hanura.

Nur Hasan tersangkut korupsi proyek pembangunan mushola senilai Rp 40 juta pada tahun 2013.

2. Ramadan Umasangaji, mantan napi korupsi asal Pare-Pare, bakal caleg Perindo.

Ia pernah divonis penjara atas kasus pemberian tunjangan sewa rumah kepada Anggota DPRD Kota Parepare periode 2004-2009.

3. Joni Kornelius Tondok, mantan napi korupsi asal Toraja Utara, bakal caleg Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Joni pernah menjadi terpidana kasus korupsi dana pemberdayaan perempuan, pengadaan barang dan jasa, biaya mobilitas, kegiatan DPRD tahun 2002-2003 saat menduduki Anggota DPRD Tana Toraja dengan vonis dua tahun penjara.

4. Syahrial Kui Damapolii, mantan napi korupsi asal Sulawesi Utara .

Ia merupakan mantan Ketua DPRD Sulawesi Utara yang pernah menjadi terpidana korupsi Manado Beach Hotel pada 2012 lalu.

5. Abdullah Puteh, mantan napi korupsi asal Aceh.

Saat menjabat sebagai Gubernur Aceh, ia terlibat korupsi pembelian 2 helikopter sehingga dihukum 10 tahun penjara.

6. Andi Muttamar Mattotorang, mantan napi korupsi asal Bulukumba, bakal caleg Partai Berkarya.

Andi tercatat pernah mendekam di penjara selama 18 bulan karena kasus korupsi senilai Rp 250 juta dalam proyek Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bulukumba tahun 2013.

7. Abdul Salam, mantan napi korupsi asal Palopo, bakal caleg Partai Nasdem.

8. M. Taufik, mantan napi korupsi asal DKI Jakarta, bakal caleg Partai Gerindra.

Ia tercatat melakukan tindak pidana korupsi sewaktu menjabat sebagai Ketua KPU DKI Jakarta.

Taufik divonis 18 bulan penjara karena merugikan uang negara sebesar Rp 488 juta dalam kasus korupsi pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004.

9. Ferizal, mantan napi korupsi asal Belitung Timur, bakal caleg Partai Gerindra.

10. Mirhammuddin, mantan napi korupsi asal Belitung Timur, bakal caleg Partai Gerindra.

11. Maksum Dg. Mannassa, mantan napi korupsi asal Mamuju, bakal caleg Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

12. Saiful Talub Lami, mantan napi korupsi dari Tojo Una-Una, bakal caleg Partai Golkar.

Baca: Koneksi Internet di Disdukcapil Agara Bermasalah, Proses Cetak e-KTP Terhenti

Baca: Seharian tak Nampak, Sopir di Lhokseumawe Ditemukan Terbujur Kaku di dalam Mobil L-300

Sebelumnya, Ketua Badan Pengawas Pemilu (RI) Abhan membantah jika pihaknya memiliki penafsiran semaunya terkait Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Legislatif dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemilu.

Abhan menilai, putusan Bawaslu meloloskan sejumlah caleg dari kalangan mantan narapidana korupsi sudah sesuai dengan kedua aturan tersebut.

"Kami bukan interpretasi sendiri. Coba dibaca, PKPU 20 itu di pasal 7 tidak ada syarat persoalan napi korupsi itu tak ada. Persis itu di Undang-undang (nomor) 7," kata Abhan di Gedung Bawaslu, Jakarta, Jumat (31/8/2018).

Menurut dia, apabila pasal 7 memuat syarat tersebut, Bawaslu bisa memahaminya.

Oleh karena itu, kata Abhan, dengan tidak adanya syarat tersebut, seorang mantan narapidana korupsi bisa ikut menjadi caleg.

Ia mengatakan, PKPU tersebut hanya mengatur larangan mantan narapidana korupsi, kejahatan seksual terhadap anak dan narkoba dalam bentuk pakta integritas sebagaimana yang termuat pada pasal 4.

Pakta itu harus ditandatangani oleh ketua umum partai dan sekretaris jenderal partai.

Pasal 4 Ayat 3 PKPU disebutkan, dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka, tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.

Kemudian, dalam Pasal 6 Ayat 1 Huruf e diyatakan bahwa pimpinan parpol sesuai tingkatannya menandatangani dan melaksanakan pakta integritas pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ayat 3.

Formulir pakta integritas itu berisi tiga poin, di antaranya jika ada pelanggaran pakta integritas, berupa adanya bakal calon yang berstatus mantan napi bandar narkoba, kejahatan seksual anak, dan korupsi, maka bersedia dikenai sanksi administrasi pembatalan pencalonan.

"Kalau sebuah perikatan yang wanprestasi itu adalah ketum dan sekjen, hukum lah partainya, bukan calonnya. Ini kan di syarat pencalonan, bukan syarat calon," ujarnya.

Selain itu, Abhan juga tak menemukan aturan soal sanksi di PKPU tersebut jika partai tak memenuhi pakta integritas.

Ia menyimpulkan, tindakan Bawaslu sudah sesuai aturan.

"Jadi kami merujuk pada undang-undang dan merujuk pada PKPU 20 juga. Cobalah dibaca lagi," kata dia. "Sekali lagi di PKPU itu syarat calon tak muncul yang melarang napi koruptor itu," kata dia.

Baca: Empat Polisi Kawal Penembak Faisal di RSUD Cut Meutia

Baca: Ustaz Abdul Somad Batalkan Jadwal Ceramah di Pulau Jawa, Mengaku Dapat Ancaman dan Intimidasi

Sementara itu, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyoroti dua keputusan Bawaslu RI yang dinilai memunculkan gelombang kritik dan protes publik.

Dia menjelaskan, dua kasus tersebut yaitu pertama keputusan sejumlah Panwaslu daerah yang meloloskan gugatan sejumlah mantan napi koruptor setelah sebelumnya diputuskan tidak memenuhi syarat oleh KPU karena melanggar ketentuan PKPU No 20 tahun 2018.

Lalu, kasus kedua terkait keputusan Bawaslu yang menyatakan kasus dugaan mahar politik yang dilakukan Sandiaga Uno tidak bisa diteruskan atau dianggap selesai karena Andi Arief, saksi yang menyebutkan isu mahar politik tak memenuhi undangan datang ke Bawaslu.

"Dua kasus mutakhir yang sama-sama bermuara pada Bawaslu sebagai pengawas pemilu patut dikritik karena menggangu kewarasan berpikir kita khususnya terkait kualitas dan integritas penyelenggaraan Pemilu," ujarnya dalam sesi diskusi bertema "Bawaslu Macam Mandor di Zaman Belanda" di D'Hotel, Jakarta Pusat, Minggu (2/9/2018).

Menurut dia, kedua kasus itu mengundang gelombang kritik dan protes publik. Kritik untuk kasus pertama karena Bawaslu mengabaikan PKPU 20/2018 yang dijadikan dasar KPU dalam menentukan syarat meloloskan caleg pada tahapan Daftar Calon Sementara (DCS) lalu.

Dia melihat, alasan Bawaslu yang merujuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagai acuan tak mampu menjawab kegusaran publik yang menganggap alasan itu hanya kamuflase dari sikap dasar Bawaslu kompromistis dengan mantan napi koruptor.

"Mereka bisa mengancam kepastian penyelenggaraan Pemilu ketika tidak konsisten memakai semua aturan terkait penyelenggaraan pemilu termasuk PKPU yang sudah sah berlaku," kata dia.

Sementara itu, untuk kasus kedua, kata dia, Bawaslu terlalu cepat memutuskan kasus mahar politik dengan juga memilih alasan tertentu sembari mengabaikan alasan lain sekedar untuk memperkuat keinginan mereka untuk menghentikan kasus ini.

Padahal, dia menjelaskan, ada pilihan-pilihan pertimbangan yang tidak fair dari Bawaslu misalnya hanya menggantungkan masalah tersebut pada kesaksian Andi Arief dan mengabaikan keterangan dari Sandiaga.

"Dan dengan itu Bawaslu malah berani menghentikan kasus mahar politik ini," tuturnya.

Melihat dua kasus tersebut di atas, dia menilai, sikap dan keputusan Bawaslu ini jelas mencederai misi pemilu berintegritas yang didambakan. Sehingga, begitu mudah dan ringan memutuskan kasus atau masalah mendasar terkait dengan integritas peserta pemilu.

Jika pengawas pemilu begitu mudah atau menganggap remeh penyelesaian untuk masalah-masalah di atas, maka ke depan masalah-masalah serupa akan begitu banyak bermunculan.

Selain itu, sikap Bawaslu itu membuka celah bagi rusaknya integritas Pemilu dan juga integritas hasil pemilu berupa wakil rakyat dan capres-cawapres terpilih nanti. Padahal, dia menambahkan bobot masalah dari kedua kasus di atas sama-sama sangat mendasar.

"Dan dengan keputusan dan sikap Bawaslu yang tidak serius mengungkap tuntas dan menyelesaikan dua kasus di atas, maka harapan akan pemilu berintegritas itu nampak masih menjadi mimpi saja," tambahnya.(Kompas.com/Tribunnews)

Baca: Tragis! Tiga Penambang Emas di Geumpang Pidie Tewas Kehabisan Oksigen di Lubang Galian

Baca: Menpora Ungkap Saldo Untuk Bonus Atlet, Milik Jafro Megawanto Paling Tinggi, Segini Jumlahnya

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bawaslu Sudah Loloskan 12 Bakal Caleg Eks Koruptor"

Berita Terkini