BANDA ACEH ‑ Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) angkat bicara terkait pembatalan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tiga tahun lalu. Ketua Komisi I DPRA, Azhari Cagee mengatakan, pihaknya siap 'melawan' karena pembatalan itu dilakukan sepihak.
Apalagi, katanya, pembatalan dilakukan secara diam‑diam oleh Kemendagri tiga tahun lalu, dan baru diketahui publik di Aceh setelah beredarnya surat dari Kemendagri, tertanggal 26 Juli 2016 beberapa hari lalu. "Apabila ini benar, kami menolak secara tegas pembatalan sepihak ini, karena ini di luar prosedur, tidak melalui makanisme, dan tidak pernah dimusyawarahkan dengan DPRA," kata Azhari Cagee kepada Serambi, Jumat (2/8).
Politisi Partai Aceh ini mengatakan, surat yang muncul tiba‑tiba itu terkesan janggal, karena menurutnya, meski sudah dikeluarkan pada Juli 2016 dan ditembuskan ke DPRA, namun hingga kini DPRA belum pernah menerimanya. "Sejak dikeluarkan sampai saat ini belum pernah diterima oleh DPRA. Padahal dalam surat itu ada poin penting yaitu sejak dikeluarkan surat ini sampai jangka waktu 14 hari apabila keberatan bisa mengajukannya ke presiden," kata Azhari.
Oleh karena itu, Azhari Cagee mengatakan, DPRA siap 'melawan' Mendagri yang dianggap membatalkan secara sepihak qanun itu. Pihaknya akan menempuh langkah‑langkah hukum dan langkah politik. "Bagi saya, surat ini adalah pengkhianatan terhadap Aceh, pengkhianatan terhadap perdamaian Aceh, pengkhianatan terhadap MoU dan UUPA, dan tentunya ini tak boleh dibiarkan," tegas Azhari Cagee.
Dia mengatakan, persoalan bendera dan lambang Aceh sebagaimana diketahui bersama, dalam beberapa tahun terakhir masih dianggap 'cooling down' dan belum pernah ada pembahasan apapun untuk pembatalan. "Oleh karena itu, kami menganggap Qanun Nomor 3 Tahun 2013 masih sah secara hukum karena pembatalannya tidak sah. Kalau Jakarta terus‑terusan mengkhianati Aceh seperti ini, tentunya kepercayaan masyarakat Aceh kepada pusat akan hilang. Imbasnya adalah mengancam perdamaian Aceh," demikian Azhari Cagee.
Secara terpisah, Ketua Fraksi Partai Aceh (PA) di DPRA, Iskandar Usman Al‑Farlaky mengatakan, Keputusan Mendagri Nomor 188.34‑4791 Tahun 2016 tentang Pembatalan Beberapa Ketentuan dari Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, telah menuai polemik dan berefek pada kekacauan tertib hukum serta kepastian hukum.
Menurutnya, Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang lahir, ditetapkan, dan diundangkan, masih dalam rezim Undang‑Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dijelaskan, dalam rezim UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana dimuat pada Pasal 144, sebuah rancangan perda/qanun yang telah disetujui bersama disampaikan kepada gubernur, untuk ditetapkan sebagai perda/qanun paling lama 30 hari sejak rancangan disetujui bersama.
"Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004 menggarisbawahi, perda/qanun yang telah ditetapkan itu disampaikan kepada pemerintah paling lama tujuh hari. Apabila bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang‑undangan yang lebih tinggi, dapat dibatalkan oleh pemerintah," kata Iskandar.
Qanun tentang bendera dan lambang Aceh, sambungnya, lahir sesuai proses menurut rezim pemerintahan daerah yang tunduk pada UU Nomor 32 Tahun 2004 dan tidak pernah dikeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkannya. Dalam konteks ini, menurut Iskandar, menteri tidak dapat menetapkan keputusan membatalkan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 dengan menggunakan ketentuan UU Nomor 23 Tahun 2014.(dan)