Opini

Transformasi Aceh 2020  

Editor: hasyim
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Hanif Sofyan Aceh Environmental Justice, tinggal di Tanjung Selamat, Aceh Besar

Hanif Sofyan

Aceh Environmental Justice, tinggal

di Tanjung Selamat, Aceh Besar

Wacana transformasi pernah menjadi materi utama dalam ASEAN 100 Leadership Forum. Indonesia yang ketika itu diwakili oleh mantan presiden SBY mengemukakan; 'transformasi adalah perubahan, kemampuan untuk mendefinisi ulang diri sendiri, membangun paradigma baru untuk menyusun ulang prioritas, mengembangkan keahlian baru, dan menegaskan kembali relevansi kita di dunia yang terus berubah'. Perubahan itu tidak saja membutuhkan daya saing namun juga proses adaptif yang fleksibel.

Berangkat dari premis itu, transformasi harus melahirkan perubahan mendasar. Dalam konteks arah Pembangunan Aceh Hebat, harus bisa bertransformasi dari ekonomi berbasis `konsumsi' (economic consumption base) menjadi ekonomi berbasis komoditi (economic commodity base). Pada gilirannya nanti harus beralih pada ekonomi berbasis produksi (economic production base).

Meluaskan jangkauan multiple effect aktivitas ekonomi untuk mempengaruhi seluruh koneksi pada penguatan kapasitas manusia pada tingkat keterampilan dan keahlian, membuka peluang kerja dan peningkatan produktivitas yang berimbas pada peningkatan perkapita. Tidak ada komponen yang dianggap cateris paribus-diabaikan, sekecil apapun komponen dalam pembangunan bisa berkontribusi positif bagi pembangunan itu sendiri.

Di level politik seperti disampaikan Otto Syamsuddin Ishak, Aceh bertransformasi dari `politik bersenjata' menuju `politik diplomasi'. Namun sayangnya transformasi berhenti di sana, tidak dilanjutkan keberhasilannya di level implementasi sehingga berdampak secara luas pada proses reintegrasi yang nyaris gagal, pembangunan yang tidak punya basis perencanaan yang kokoh dan skala prioritas atas cetak biru perencanaan pembangunan.

                                                                                                                  Gagasan transformasi

Bagaimana upaya mengakselerasikan antara transformasi dengan berbagai persoalan yang membelit Aceh terkini, terdapat beberapa alternatif proses skenario yang melatarbelakangi proses sebuah transformasi agar dapat menjadi bahan introspeksi mencari solusi terbaik bagi pembangunan Aceh kedepan. Terdapat sembilan gagasan soal transformasi yang mengemuka dalam forum besar ASEAN yang dapat dipetik pembelajarannya.

Pertama; tranformasi by krisis. Krisis dapat menstimulasi dan menjadi faktor motivasi untuk sebuah perubahan. Sebagaimana tsunami yang kemudian `memaksa' semua pihak yang terlibat konflik selama beberapa dasawarsa di Aceh untuk duduk di meja perundingan menentukan masa depan Aceh dan berakhir pada perdamaian kedua belah pihak di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

Kedua; transformasi solutif, yang paradigmanya dibangun dari keinginan untuk menciptakan sebuah keharusan untuk mengatasi kekurangan yang ada dengan cara membangun asset dan kekuatan baru. Singapura dapat menjadi contoh bagaimana proses transformasi model ini dijalankan, ketika negara pulau kecil dengan populasi migran memutuskan menjadi pusat perdagangan dan jasa, pusat produksi, lalu menjadi pusat keuangan yang menyerap begitu banyak investasi.

Singapura menjadi negara yang kompetitif. Potensi yang serupa dimiliki Pulau Weh, Sabang, apalagi dalam perkembangannya telah menjadi Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang dapat bertransformasi serupa jika ada kesungguhan dari semua pihak. Mengangkat kembali peran Sabang sebagai freeport dan pelabuhan-hub yang menghubungkan kawasan strategis di Asia Tenggara.

Kabar termutakhir, Kerangka Kerjasama Bisnis Sabang-Andaman dalam format Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer-BOT), adalah bukti bahwa Aceh adalah daerah bidikan para investor yang melihat Aceh sebagai potensi yang masih bisa berekspansi dan hanya butuh dukungan kebijakan Pemerintah yang serius. (SI; 7/8/2019).

Ketiga; transformasi berbasis leader (pemimpin). Pemimpin yang mumpuni merancang visi, menyusun agenda, membuka pikiran, menangkap imajinasi publik, berjuang dalam perang politik dan memberi energi pada negara.

Transformasi akan memberi arti dan membawa dampak ketika pemimpin mampu membuat keputusan strategis untuk menciptakan sebuah perubahan. Berbagai diskursus yang muncul ke permukaan di Aceh saat ini adalah akumulasi sebagai bentuk respon dan kritik atas berbagai keresahan akibat ketimpangan pembangunan yang tidak berimbang antara `janji politis' dan implementasi.

Keempat; transformasi jati diri pemimpin. Perubahan arah demokrasi, pertarungan ideologi, membutuhkan banyak persuasi intelektual, manuver politik, dan daya tarik populis untuk mewujudkan sebuah pilihan perubahan. Situasi ini menjadi menguat di Aceh ketika demokrasi mulai tumbuh dan berkembang tidak diikuti dengan transformasi di tingkat kepemimpinan. Pola kepemimpinan menjadi stagnan, ketika pemimpin justru mencari-cari pola kepemimpinan yang tepat untuk meluruskan berbagai kompleksitas masalah yang bergerak lebih cepat. Sebagian kalangan menjadi tidak sabaran dalam melihat realitas pembangunan Aceh terkini.

Tak kurang diskursus meluas hingga berbagai lini multistakeholder ikut sumbang saran, publik, media, politikus, bahkan forum rektor dan kalangan akademia Unsyiah yang secara khusus menawarkan forum Solusi untuk Aceh (SuA).

Kelima; transformasi stimulus atau katalisator yang bisa dibangun dari ide baru; format ekonomi, tehnologi, investasi, pendidikan, dan tata kelola pemerintahan. Pelajaran India dengan pusat rekayasa perangkat lunaknya di Bangalore, Singapura sebagai pusat ekonomi merupakan jawaban prosesi transformasi membentuk sebuah perubahan. Kita memiliki kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET) Sabang yang digunakan sebagai model pembangunan ekonomi daerah. Atau gagasan One Village One Product (OVOP) yang bisa menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi di tingkat basis yang lebih luas.

Keenam; transformasi reformasi institusi. Mereformasi parlemen, sistem pemilu multipartai, dan pemilihan pemimpin secara langsung. Semua itu mengubah panggung politik Indonesia. Mereformasi format master plan, grand strategi atau cetak biru pembangunan Aceh menjadi kebutuhan substansial saat ini.

Belajar dari kelemahan kita dalam mengelola Dana Otonomi Khusus (Otsus) selama delapan tahun belakangan menjadi pembelajaran berharga. Aceh membutuhkan tidak hanya grand strategi yang jitu, namun juga perencanaan yang strategis dengan Blueprint Otsus 2020-2027, untuk memastikan optimalisasi target Otsus 2027 mendatang.

Ketujuh; transformasi implementasi. Kebutuhan paling krusial adalah ketika seluruh perencanaan memberikan hasil optimal dalam implementasinya. Umumnya perencanaan telah dilengkapi payung hukum, namun tetap saja berbagai kepentingan, di tingkat bawah hingga tingkat elit menjadikan perencanaan dan implementasi tidak menemukan singkronisasi output. Realitas inilah yang menjadi diskursus dan kritikan paling `panas', ketika aturan menjadi mainan kepentingan.

Kedelapan; transformasi berkelanjutan. Bagaimana panjangnya proses perdamaian Aceh, merupakan contoh kongkrit berlikunya proses lobi, diplomasi dari medan perang hingga meja perundingan. Dan napak tilas jejak proses perdamaian yang panjang itulah yang mendasari mengapa perdamaian harus dipertahankan sebagai prasyarat tumbuhnya demokrasi dan lancarnya pembangunan. 

Kesembilan; transformasi buatan lokal. Meskipun stimulus datang dari luar, pada akhirnya kitalah yang lebih memahami bagaimana seharusnya transformsi harus dijalankan terutama oleh para tokoh-tokoh nanggroe kita.

Menemukan konsensus dan belajar dari kesalahan masa lalu dalam rangka membangun orde politik, ekonomi, dan sosial yang baru berdasarkan demokrasi, tata pemerintahan yang baik dan rekonsiliasi adalah sebuah kebutuhan paling krusial untuk membangun Aceh Hebat dan menanti momentum Aceh 2020. Akan dibawa kemana lokomotif Aceh yang gerbongnya berisi 163 triliun dana otsus, jika bukan untuk lepas landas Aceh 2027 dan tentunya untuk kesejahteraan rakyatnya sendiri.

Berita Terkini