Manfaat Bajakah Masih Perlu Diteliti, Kolaborasi Dengan Peneliti Lain

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mencoba tetes air yang keluar dari kayu bajakah di hutan rawa Singkil, di kawasan Kecamatan Kuala Baru, Aceh Singkil, Selasa (20/8/2019).

BANDA ACEH - Kayu bajakah secara empiris sudah digunakan untuk terapi kanker, tapi secara ilmiah belum dapat dibuktikan. Karena itu, perlu penelitian atau studi kolaboratif untuk membuktikan manfaat kayu yang baru-baru ini ditemukan juga di hutan Rawa Singkil.

Demikian antara lain disampaikan Prof Dr rer nat Rinaldi, peneliti bidang farmasi yang juga Direktur Program Doktor (S3) Matematika dan Aplikasi Sains (DMAS)  Unsyiah, Selasa (27/8), ketika dimintai tanggapannya soal berita eksklusif Serambi Indonesia edisi Minggu (25/8/2019) berjudul "Kayu Bajakah Hebohkan Singkil."

Menurut Prof Rinaldi, banyak publikasi antikanker dari tumbuhan yang diretracted di jurnal-jurnal internasional bereputasi, karena lemahnya metode yang digunakan oleh peneliti akibat belum dilakukan validasi metode. "Jadi metode yang akan digunakan juga mesti divalidasi sebelumnya dengan baik," ungkap Prof Rinaldi.

Ia menjelaskan, tumbuhan bajakah bersifat sitotoksik dan harus diuji sitotoksisitasnya. Tapi, sambungnya, sampai kini belum pernah diuji toksisitasnya secara saintifik. "Secara umum kita perlu bukti ilmiah terutama uji sitotoksik baik invitro maupun invivo, dosis, uji keamanan, dan uji-uji lainnya baik untuk hewan coba (preklinis), maupun uji pada manusia (uji klinis) yang masih banyak tahapannya. Masih diperlukan riset panjang secara multidisiplin, trans dan interdisiplin, tentu juga mesti di-support oleh pendanaan yang solid," timpal Prof Rinaldi.

Jenis tumbuhan bajakah, katanya, dapat ditemukan hampir di sepanjang pegunungan bukit barisan wilayah Aceh, terutama di daerah hutan lebat. "Saya pernah menemukan beberapa jenis tumbuhan bajakah saat melakukan survei manifestasi geotermal di Gunung Seulawah Agam," ujar Prof Rinaldi yang sudah minum langsung air dari pohon bajakah dan sedang menyusun program riset kayu tersebut.

Ditambahkan, tanaman ini perlu dijaga kelestariannya dalam rangka penelitian lebih lanjut sebagai antijamur, antibakteri, antikanker, dan lain-lain. Menurut Rinaldi, perlu kebijakan khusus dari Pemerintah Aceh, agar tanaman berpotensi menjadi obat yang sangat banyak di Aceh untuk dijaga kelestariannya.

"Saya bersama Dr Khairan Yusuf (Ketua Pusat Riset Tanaman Obat Unsyiah), sudah melakukan skrining tanaman obat sekitar manifestasi geotermal baik daerah yang dominan mengandung air klorida, air sulfat, maupun air karbonat.  Hasilnya, kami sudah menerbitkan 3 buku ber-ISBN, dan dua buku lagi sedang dalam persiapan," kata Prof Rinaldi.

Walau bukan langsung meneliti bajakah, tambah Prof Rinaldi, tapi pihaknya juga akan melakukan hal yang sama terhadap beberapa jenis tanaman bajakah terutama skrining fitokimianya yang meliputi uji flavonoid, alkaloid, fenolik, steroid, tanin, triterpenoid, dan saponin.

Peneliti bidang farmasi Unsyiah, Prof Dr rer nat Rinaldi mengatakan, pihaknya juga berkolaborasi dengan Dr Eko Suhartono dari Fakultas Kedokteran Unlam (yang membimbing dua siswa SMA Dayak penemu bajakah antikanker) dan Prof dr Gunawan Indrayanto dari Fakultas Farmasi Unair dalam skrining fitokimia, uji preklinis, studi metabolomik, validasi metode, dan lain-lain.

"Langkah awal yang akan kita lakukan dari Pusat Studi Herbal adalah ekstraksi bagian, daun, kulit batang, akar dan air yang terkandung pada bajakah, serta uji skrining fitokimia, dan uji aktivitas antimicrobial. Tahap selanjutnya kita tentukan aktivitas sitotoksisitas menggunakan metode MTT assay terhadap sel line kanker. Bila menunjukkan adanya aktivitas, baru kita lanjutkan ke hewan coba. Uji terhadap hewan harus memenuhi ketentuan yang ada, misalnya ethical clearance. Bila semua uji ini menunjukkan aktivitas yang baik, baru kemudian kita coba isolasi senyawa aktifnya. Setelah itu, kita coba lagi ke mikroba, sel kanker, dan hewan coba. Bila semua uji menunjukkan aktivitas yang signifikan baru kemudian dijadikan sebagai kandidat obat," demikian Prof Rinaldi. (jal)

Berita Terkini