BANDA ACEH - Komisi I DPRA akhirnya menemui pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Jakarta, Selasa (17/6), untuk mempertanyakan kebenaran surat pembatalan Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang beredar luas dua bulan lalu. Ternyata, Kemendagri tidak bisa menunjukkan bukti surat yang telah beredar luas melalui grup WhatsApp itu.
Ketua Komisi I DPRA, Azhari Cagee, mengaku sangat terkejut. “Kita menanyakan kepada Kemendagri terkait surat yang beredar dan meminta untuk ditunjukkan bukti fisik dan administrasi. Ternyata mereka tidak bisa menunjukkan bukti fisik dan administrasi bahwa surat itu ada dan pernah dikirim,” kata Azhari Cagee, menghubungi Serambi dari Jakarta, kemarin.
Ketua Komisi I Azhari Cagee bersama beberapa anggota, yakni Asip Amin, Abdullah Saleh, Iskandar Usman Al-Farlaky, dan HM Saleh diterima oleh Kepala Seksi Otsus Aceh di Kemendagri, Kuswanto, Kasubdit Prodak Hukum Daerah Wilayah I, Roni Saragih, dan Kasubdit Wilayah IV, Agus Rahmanto.
Seperti diketahui, dua bulan lalu, soft kopi surat atas nama Kemendagri beredar di dunia maya. Surat Nomor: 188.34/2723/SJ itu dikeluarkan 26 Juli 2016 dan menyatakan membatalkan Qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.
Sontak, surat itu mengagetkan publik di Aceh, terutama para politisi Partai Aceh yang selama ini vokal memperjuangkan bendera dan lambang Aceh. DPRA menganggap, surat yang muncul tiba-tiba itu janggal, meski dikeluarkan pada Juli 2016 dan ditembuskan ke DPRA, namun hingga kini DPRA belum pernah menerimanya.
Kedatangan Komisi I DPRA ke Kemendagri, kemarin, untuk mengonfrontir terkait keberadaan surat itu, karena surat yang beredar dianggap hoaks oleh DPRA dan Pemerintah Aceh, yang membuat ketikdakpastian hukum terhadap Qanun Bendera dan Lambang Aceh.
“Ini penting sekali, kita ingin kejelasan. Karena beredarnya secara luas surat itu membuat ketidakpastian hukum terkait Qanun Bendera,” kata Azhari Cagee.
Ketua Komisi I Azhari Cagee merasa aneh dengan pengakuan pihak Kemendagri. Menurutnya, elite yang menemui mereka dalam pertemuan kemarin mengaku surat pembatalan Qanun Bendera itu benar adanya, tapi mereka justru tidak bisa menunjukkan bukti fisik dan administrasi.
“Ini kan aneh sekali, masak surat yang sudah dikirim tidak ada fisik dan administrasinya? Jadi, untuk sementara, kita menganggap Qanun Bendera dan Lambang Aceh masih sah, belum dianulir,” kata Azhari Cagee.
Azhari Cagee mengatakan, jika memang surat itu benar adanya, tentu pihak Kemendagri harus mengirim ulang, karena dalam surat itu disebutkan ada masa 14 hari bagi Pemerintah Aceh atau DPRA untuk mengajukan keberatan sejak surat itu diterima.
“Ada wewenang gubernur atau DPRA untuk mengajukan keberatan ke Presiden, 14 hari sejak surat itu diterima. Nah, surat yang lalu itu, kita tidak terima, makanya kita tidak mengajukan keberatan,” kata politisi Partai Aceh ini.
Dalam surat itu pula, ada perintah kepada Gubernur Aceh untuk mencabut dan menghentikan qanun tersebut paling lambat tujuh hari sejak surat itu diterima. Namun, hingga kini, kata Azhari, Plt Gubernur Aceh belum melakukan perintah itu, karena surat tersebut memang tidak pernah diterimanya.
“Maka ini aneh. DPRA dan gubernur tidak pernah menerima. Jika pun dibatalkan, Kemendagri harus berkonsultasi dengan DPRA, berdasarkan Pasal 8 UUPA Ayat 2,” katanya.
Atas pertemuan Komisi I tersebut, kata Azhari Cagee, pihak Kemendagri akan segera membahas polemik surat itu dan nantinya akan dikonsultasi kembali dengan pihak DPRA. “Jika bukti fisik dan administrasi tidak ada, berarti surat itu ya tidak ada,” pungkas Azhari Cagee. (dan)