Mursyidah, warga Gampong Meunasah Mesjid, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe dituntut 10 bulan penjara. Ia dituntut atas dugaan perusakan salah satu rumah toko (ruko) di desa itu yang dijadikan sebagai pangkalan elpiji 3 kilogram. Tuntutan tersebut disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Lhokseumawe, dalam sidang lanjutan kasus itu di Pengadilan Negeri (PN) setempat, Selasa (29/10/2019).
Sedihnya, tuntutan tersebut harus diterima Mursyidah ketika ia tak lagi bersama suami untuk selama-lamanya. Ya, hari itu bertepatan dengan hari kedelapan Hamdani, suami Mursyidah yang sehari-hari bekerja sebagai buruh bongkar muat, meninggal dunia karena sakit.
Hal lain yang tak kalah menyayat hati adalah, Mursyidah yang selama ini bekerja sebagai tukang cuci dan setrika di rumah-rumah tetangganya serta memproduksi keripik yang dititip pada kios-kios untuk dijual dengan harga Rp 1.000 per bungkus, kini harus menjadi single parent (orang tua tunggal) bagi tiga buah hatinya yang masih kecil-kecil.
Tak hanya itu, Mursyidah bersama anaknya yang sudah yatim yaitu Fitriani (12), M Reza (10), dan M Mirza (4), harus bertahan hidup di rumah berukuran sekitar 4x6 meter peninggalan almarhum suaminya. Dalam rumah yang berlokasi di Lorong Tgk Ibrahim, Dusun Kapten Yusuf, Desa Meunasah Mesjid, itu tak terlihat satu pun perabot yang berharga mahal. Selain itu, ruang tamu dan kamar hanya dibatasi oleh satu lemari bekas.
Karena itu, setelah diberitakan beberapa media, kasus yang menjerat Mursyidah ini langsung mengundang reaksi berbagai kalangan masyarakat. Serambi bersama Keuchik Meunasah Mesjid, Rusli AB, dan sejumlah tokoh masyarakat setempat, Jumat (1/11/2019) siang langsung berkunjung ke rumah Mursyidah. Aroma duka masih ‘sangat kental’ terasa di dalam rumah tersebut.
Keuchik Rusli kepada Serambi, di sela-sela kunjungan itu, mengatakan, ia pada prinsipnya tetap menjunjung tinggi proses hukum yang sedang berjalan di PN Lhokseumawe. Namun, kata Rusli, pihaknya sangat berharap dalam sidang pamungkas kasus itu yang akan berlangsung Selasa (5/11/2019) mendatang, kebijakan atau keputusan yang diambil lebih bijaksana dengan mempertimbangkan kondisi Mursyidah saat ini.
"Bila memungkinkan jangan sampai Mursyidah ditahan. Sebab, kalau dia ditahan, sayang tiga anak yatim yang saat ini bersamanya. Apalagi, Mursyidah dan anak-anaknya juga sedang berduka setelah suaminya meninggal," ungkap Rusli AB. Bila ada peluang Mursyidah tidak ditahan walau harus ada penjamin, sambung Keuchik, dirinya siap untuk menjadi penjamin bagi Mursyidah.
"Saya sudah berkunjung ke rumahnya. Suasana di rumah Mursyidah sangat menyedihkan. Sedihnya lagi nasib ketiga anaknya yang sudah yatim bila nanti Mursyidah ditahan," pungkas Rusli AB dengan mata berkaca-kaca.
Sementara itu, saat Serambi mencoba mewawancarai Mursyidah, tak banyak yang bisa diutarakan janda tersebut. Ia lebih banyak menangis sambil memeluk anak bungsunya. "Saya tidak tahu kalau saya ditahan, bagaimana dan siapa yang pelihara anak-anak saya. Sedangkan bapak anak-anak kini sudah meninggal dunia," katanya sambil terus menangis.
Semasa suaminya masih hidup, sambung Mursyidah, dirinya ikut membantu mencari nafkah dengan menjadi tukang cuci dan setrika di rumah-rumah tetangganya, serta memproduksi keripik untuk dititip pada kios-kios untuk dijual dengan harga Rp 1.000 per bungkus. "Dengan itulah kami bertahan hidup selama ini," timpal Mursyidah.
Namun, kini dia terancam harus menjalani hukuman penjara atas dakwaan merusak pintu dan keramik pangkalan elpiji 3 kilogram dan merusak sejumlah tabung gas. Padahal, saat itu Mursyidah bersama sejumlah warga lain coba menerobos masuk ke dalam pangkalan elpiji tersebut guna memastikan apakah benar stok elpiji yang disubsidi pemerintah itu sudah habis di pangkalan tersebut atau belum.
Kasus itu terjadi pada akhir tahun 2018 lalu. Singkatnya, sidang pamungkas perkara tersebut dengan agenda pembacaan vonis terhadap Mursyidah akan digelar di PN Lhokseumawe, Selasa (5/10/2019) mendatang.
Bila keputusan pengadilan mengharuskan Mursyidah menjalani hukuman di penjara, bagaimanakah nasib ketiga anaknya yang masih kecil-kecil dan sudah berstatus yatim? Siapa yang akan menjaga ketiga anak tersebut. "Saya sebelumnya sudah pernah minta maaf saat kasus ini masih di tingkat gampong," kata Mursyidah sambil terus menangis yang membuat suasana sedih terus berlanjut hingga Serambi meninggalkan rumah tersebut.
Ada kejanggalan
Secara terpisah, Muhammad Fadli, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (FH Unimal) Aceh Utara, mengatakan, ada beberapa kejanggalan dalam kasus yang menjerat Mursyidah. “Hasil analisis kami setelah melihat dan mewawancarai Kak Mursyidah dengan datang ke rumahnya, ada beberapa kejanggalan dalam kasus ini,” ujar Muhammad Fadli, kepada Serambi, Jumat (1/11/2019).
Kejanggalan itu, sebut Fadli, antara lain saat proses penyelidikan, Mursyidah belakangan baru mendapat kuasa hukum karena ia mengaku tidak mengerti hukum. Bahkan, Mursyidah mengaku tidak bisa membaca, sehingga apapun surat yang disuruh teken, langsung ia tandatangani. “CCTV yang ada di toko tersebut tk dihadirkan ketika proses pemeriksaan alat bukti di persidangan. Padahal, CCTV itu bisa menjadi tambahan manifestasi dari alat bukti petunjuk sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tentang alat bukti yang sah,” ujar Fadli.
Karena itu, sambung Fadli, BEM Fakultas Hukum Unimal meminta hakim PN Lhokseumawe untuk melihat kasus tersebut dengan ‘kacamata’ yang objektif dan profesional sebelum membacakan amar putusan yang dijadwalkan pada 5 November mendatang.
“Hakim harus menjadi corong undang-undang sesuai dengan azas Bouchedelaloi, bukan corong hal-hal lain apalagi menjadi corong kepentingan pihak-pihak tertentu. Hakim harus melihat nilai-nilai lain dari kasus ini, bukan hanya dari aspek yuridis. Namun dari aspek sosiologis juga,” pinta Fadli.
Karena itu, tambah Fadli, BEM Fakultas Hukum Unimal meminta majelis hakim PN Lhokseumawe agar memvonis bebas Mursyidah atau maksimal dijatuhi hukuman percobaan. Sebab, menurut Fadli, Mursyidah adalah rakyat miskin. “Rumahnya saja hampir roboh dan kesehariannya ia mencari nafkah dengan cara menjual kerupuk dan menjadi tukang cuci di rumah tetangga,” ungkapnya.
Apalagi, tambah Fadli, suami Mursyidah sudah meninggal dunia sekitar dua pekan lalu. “Beliau (Mursyidah) saat ini menjadi tulang punggung keluarga setelah suaminya meninggal dunia. Bagaimana nasib ketiga anak yatim itu bila Kak Mursyidah di penjara,” ulang Fadli. Karena itu, tambahnya, mahasiswa meminta majelis hakim sebagai perwakilan negara dalam kasus ini untuk membantu rakyat kecil yang tidak berdaya melawan ketidakadilan.
“Kami khususnya BEM Hukum Unimal akan mengawal kasus ini. Bila keadilan tidak didapatkan oleh masyarakat kecil, maka extra parliamentary sebagai cara perlawanan terakhir kami selaku mahasiswa akan kami lakukan untuk membela kebenaran dan memperjuangkan keadilan warga miskin,” tegas Fadli.
Sebab, menurut Fadli, pada prinsipnya keadilan itu tidak terletak dalam undang-undang, tapi berada dalam hati nurani seperti yang disampaikan Profesor Bismar Siregar, mantan Hakim Agung Mahkamah Agung. (saiful bahri)