Oleh Nurchalis, Ketua Ikatan Saudagar Muslim Indonesia (ISMI) Aceh, Wasekjen DPP Persatuan Sarjana Pertanian Indonesia (PIPSI)
Negara-negara di dunia kini sedang dihadapkan pada tantangan besar penanganan wabah virus corona yang secara resmi diidentifikasi oleh WHO sebagai Corona Virus Desease-19 atau disingkat Covid-19. Pandemi yang bermula dari Kota Wuhan, Cina, ini telah menimbulkan global shock karena memang dalam beberapa dekade terakhir belum pernah kita mengalami serangan wabah virus dengan tingkat dan daya tular begitu cepat dan masif sepertti virus corona ini, jauh di atas sepupunya virus SARS dan MERS, serta Ebola yang juga sempat mengacam beberapa tahun yang lalu, namun dengan cepat dapat teratasi.
Ada banyak spekulasi yang berkembang terkait asal muasal virus ini, dari yang menyebut berasal dari hewan, kelelawar, buatan manusia, hingga tak kurang yang mencurigai virus ini sebagai senjata biologis yang sengaja diciptakan untuk tujuan-tujuan tertentu.
Tentu kita tak berkepentingan terlibat lebih jauh dalam polemik dan ragam praduga ini, karena memang tidak ada yang lebih menyita perhatian dan energi kita untuk saat ini dan ke depan, selain dampak besar yang ditimbulkan pandemi Covid-19 ini. Kita bisa melihat hanya dalam beberapa bulan saja sejak kemunculannya pada Januari lalu pandemi Covid-19 telah menimbulkan dampak yang sangat serius pada hampir seluruh aspek kehidupan manusia di muka bumi. Terutama di sektor ekonomi-meskipun jika kita mau objektif pandemi ini juga telah memberi dampak positif terhadap perbaikan kondisi ekologis bumi-dengan skala dan luasan yang tidak main-main: global, worldwide, seluruh negara di dunia merasakannya.
Dampak terbesarnya adalah mengganggu proses produksi, distribusi, dan konsumsi akibat tingkat dan skema penularan virus yang menyerang aspek paling fundamental dari seluruh akivitas kita, yaitu interaksi fisik antarmanusia hingga memaksa kita menerapkan kebijakan social/phsycal distancing. Sebagai instrumen utama penggerak aktivitas ekonomi, tentu ini akan sangat berdampak. Meskipun ekonomi kita sudah mulai bergerak ke arah digital, namun trend ini tidak cukup kuat untuk menjadi alternatif solusi atas dampak masif dan luar biasa pandemi Covid-19 ini.
Dunia/pelaku usaha baik skala besar maupun menengah kini sudah mulai kelimpungan. Proses input dan output ekonomi macet. Banyak perusahaan menutup usaha dan pabriknya akibat transaksi perdagangan mengalami penurunan akibat kurangnya pembeli serta terbatasnya ekspor sehingga mengalami penurunan omset. Kemudian Pemberhentian Hak Kerja (PHK) terjadi dimana-mana, baik buruh pabrik, karyawan hotel, usaha angkutan, trasnportasi, tempat-tempat pariwisata, dan banyak sektor jasa lainnya. Masyarakat kecil pelaku usaha mikro, sektor riil, hingga petani, pedagang, nelayan, dan buruh yang mengandalkan pendapatan harian bahkan mengalami dampak yang lebih parah hingga kondisi rentan pangan dan ancaman kelaparan.
Sampai sejauh ini kita belum bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 ini akan berakhir, yang jelas kondisi ini akan mengakibatkan aktivitas ekonomi perdagangan baik tingkat lokal, regional, dan internasional akan mengalami ketidakpastian, bahkan sampai pada ancaman berhenti total. Negeri kita meski kita memiliki sumber daya alam yang berlimpah, namun kekayaan alam tersebut belum bisa menciptakan kemandirian ekonomi sehingga masih ada ketergantungan pada negara lain. Diperparah oleh pandemi Covid-19, maka jelas target pertumbuhkan ekonomi kita tidak akan dapat tercapai.
Dalam skup lokal kita di Aceh, kita tahu pondasi ekonomi Aceh sangat bergantung pada sumber daya alam dari sektor agro dan perikanan, namun sayangnya minim nilai tambah karena tidak tumbuhnya industri. Sektor lain yang sebenarnya sangat potensial digarap, namun masih dalam tahap konsolidasi dan sekarang macet karena pandemi Covid-19, adalah sektor pariwisata.
Dengan kondisi ini ekonomi Aceh sangat terpegaruh dinamika pasar di luar Aceh atau supplay chain yang dalam kondisi normal tidak terlalu bermasalah, selain hanya ketimpangan dalam neraca perdagangan Aceh, namun dalam kondisi pendemi ini dapat dipastikan akan membuat ekonomi Aceh mengalami guncangan yang cukup kuat.
Produksi agro Aceh seperti CPO, nilam, pala, dan lain-lain, juga perikanan sampai saat ini masih stabil atau dampaknya belum tampak signifikan. Namun kopi yang merupakan komoditas unggulan dan perikanan darat mengalami dampak yang serius. Dengan berlakunya social distancing--konon lagi jika lockdown, PSBB, atau apapun namanya--dengan pangsa pasar luar negeri, kopi Gayo tak terjual, pemasaran menjadi macet hingga terjadi penumpukan stock kopi yang cukup besar, mencapai 70 persen dari total produksi.
Alhamdulillah kita masih bisa sedikit lega untuk komoditas sawit. Sampai saat ini para petani sawit masih bisa tersenyum karena PMKS (Pabrik Minyak Kelapa Sawit) terus beroperasi sebagaimana mestinya karena buyer-buyer di India, Cina serta negara konsumen Crude Palm Oil (CPO) lainya masih memerlukan bahan baku CPO sehingga petani sawit masih bisa menjual Tandan Buah Segar (TBS) ke pabrik.
Namun, tentu ke depan tidak ada jaminan kondisinya akan bertahan seperti ini. Kita sudah melihat pola bagaiamana dampak skala nasional juga berdampak ke daerah-daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah sekiranya perlu mempersiapkan langkah-langkah strategis yang komfrehensif dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19, baik untuk jangka pendek, menengah, dan panjang. Kita menyambut baik dan mengapresiasi langkah Pemerintah Aceh merolokasi APBA 2020 yang disebut-sebut sebesar Rp 2,3 triliun yang menunjukkan sensitivitas bencana dari pihak pemerintah. Makanya dalam konteks ini kita berharap Pemerintah Aceh hanya fokus pada dampak saat pandemi, tapi juga sudah harus mengantisipasi dampak corona yang berkepanjangan dengan menyusun program proteksi dan stimulus ekonomi Aceh agar tetap survive di masa datang.
Pemerintah Aceh juga perlu mengembangkan program inovatif dalam menciptakan kemandirian dan ketahanan pangan di Aceh. Kita telah belajar dari krisis ekonomi 1998, bagaimana kemandirian pangan, lebih dari aspek atau faktor-faktor lainnya, telah membuat kita mampu melewati badai krisis ekonomi.
Sebagai catatan pamungkas, sekali lagi, penulis melihat sudah sangat urgen Pemerintah Aceh segera menyusun masterplan, rencana induk penanganan dampak ekonomi pandemi Covid-19 agar penanganannya cepat, tepat menyeluruh, dan iterntegrasi. Mempersiapkan stimulus dimana stimulus tersebut mampu menyemangati petani, nelayan, pedagang serta pengusaha lainnya agar aktivitas ekonomi Aceh tetap menggeliat.
Ini juga momentum yang tepat bagi Pemerintah Aceh untuk meredesain program-program strategis ekonomi yang mengalami dampak pandemi covid-19, dengan berpijak pada potensi unggulan Aceh yang tidak terdampak hingga mampu memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di masa pandemi Covid-19. Langkah-langkah ini perlu dituangkan ke dalam narasi master plan yang kemudian menjadi basis kebijakan program pembagunan ekonomi dalam memulihkan ekonomi Aceh yang pandemi Covid-19.
Seraya memohon kepada Allah SWT agar pandemi covid-19 dapat segera berakhir, kirannya langkah-langkah ini dapat disegerakan oleh Pemerintah Aceh.