OLEH EFFIYANTI HUSSEIN, Mahasiswi Pascasarjana Program Studi Doktor Ilmu Manajemen Universitas Syiah Kuala dan peminat sejarah Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
KEMEGAHAN Kota Banda Aceh yang berusia 815 pada tahun 2020 ini terasa kurang lengkap apabila belum diceritakan tentang sejarah dan alamnya yang indah. Sejak awal lahirnya tanggal 22 April 1205 atau 1 Ramadhan tahun 605 Hijriah, Banda Aceh telah dikenal dengan nama Bandar Aceh. Bandar artinya pelabuhan atau dermaga, aca artinya cantik yang berasal dari bahasa India. Demikianlah kutipan dalam buku Bustanussalatin yang merupakan karya hebat seorang penulis, mufti, dan ulama besar, Syeikh Nuruddin Ar-Raniry.
Syeikh yang berasal dari Gujarat, India, ini menuliskan tentang kemasyhuran Kota Banda Aceh pada masa Kerajaan Aceh abad 17. Buku Bustanussalatin cukup lengkap menuliskan tentang sejarah sosial, budaya, dan keagamaan pada masa kejayaan Aceh yang puncaknya saat dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607-1636.
Raja pertama yang membangun Banda Aceh adalah Sultan Johansyah dengan pusat kerajaan dibangun di Kampong Pande, karena dekat tepi pantai. Setelah beberapa periode dipindahkan ke tempat yang jauh dari pinggir pantai bernama Istana Dalam atau disebut juga pada masa itu Darud Dunya. Posisinya persis di Pendopo Gubernur Aceh sekarang.
Banda Aceh adalah kota pesisir yang dahulunya dirancang dengan baik, terhubung ke alam yang sungguh memesona dengan latar belakang gunung atau bukit-bukit yang menghadap ke laut, dipadukan beberapa sungai yang mengaliri sepanjang sudut kotanya.
Pengaruh alamnya kala itu telah membentuk pertumbuhan Banda Aceh dikelilingi oleh beberapa sungai. Keberadaan sungai difungsikan sebagai jalur transportasi utama pada periode awal, sebelum dan setelah Islam masuk melalui jalur perniagaan. Pada proses perjalanan waktu Banda Aceh adalah kota maritim, pusat perdagangan yang mencapai kegemilangan pada masa lalu, sehingga tak heran bila saat ini Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman, menyebutkan jargon Banda Aceh sebagai Kota Gemilang.
Selain itu, Banda Aceh pada masa kerajaan menjadi pusat agama Islam dan ilmu pengetahuan yang sangat masyhur di Asia Tenggara. Sumber sejarah tentang kemegahan Aceh juga telah digambarkan oleh Tome Pires saat berkunjung ke Sumatra pada abad 16.
Kota Banda Aceh pada awal berdirinya dikenal juga sebagai kota waterfront city (kota tepi laut) dengan banyaknya kapal yang ke luar masuk saat itu. Posisnya di ujung Pulau Sumatra menjadikan Banda Aceh berada pada posisi sangat strategis bagi pedangang yang mencari rempah-rempah yang melimpah di hampir semua wilayah Indonesia. Pada masa awal berdirinya Banda Aceh dibangun dengan konsep pola kota Romawi kuno. Banda Aceh dialiri beberapa sungai, yaitu Krueng Aceh, Krueng Daroy, Krueng Dhoy, Krueng Lueng Paga, Krueng Cut, dan sejumlah anak sungai yang dijadikan jalur transportasi penting pada masa lalu.
Selaku raja Aceh yang terkenal pemberani, Iskandar Muda beberapa kali pergi berperang melawan penjajah, yaitu melawan Portugis yang menduduki wilayah di sekitar Selat Malaka.
Dalam suatu pertempuran, sultan berhasil mengusir Portugis di Pahang, Malaysia. Setelah berhasil memukul mundur bangsa Portugis, kekuasaan pun menjadi milik Kerajaan Aceh, dan selanjutnya sultan membawa lebih kurang seribu penduduk Pahang ke Aceh. Ketika ratu wafat, Iskandar Muda menikah lagi dengan salah satu putri Pahang yang bernama Kamaliah.
Setelah cukup lama tinggal di Kerajaan Aceh, sang Putri Pahang sangat merindukan negerinya yang nun jauh di Malaysia. Kerinduan Kamaliah terhadap keluarganya di Pahang mendorong Sultan Iskandar Muda membangunkan untuknya sebuah monumen yang menyerupai gunung bernama Gunongan. Bangunan yang sangat indah ini menyerupai suasana kampung halaman Putri Kamaliah di Pahang yang merupakan wilayah perbukitan. Gunongan dibangun dalam taman yang sangat luas bernama Taman Bustanussalatin yang berada di sebelah istana.
Selain Gunongan terdapat beberapa bangunan lainnya di taman ini, seperti Pinto Khop dan Kandang (Makam) XII. Raja melengkapi keindahannya dengan sungai bernama Krueng Daroy.
Penggalian sungai yang juga dinamai Darul Isky ini atas permintaan Sultan Iskandar Muda pada tahun 1620. Hulunya berada di sebuah mata air Jabalul A’la di Mata Ie dan mengalir hingga ke Gampong Pande di bagian pesisir Banda Aceh. Oleh Iskandar Muda dibelokkan aliran Krueng Daroy di Desa Geuceu menuju Taman Bustanussalatin untuk menambah keindahan taman. Sedangkan aliran sungai yang menuju Gampong Pande dinamakan Krueng Dhoe (Dhoy).
Krueng Daroy menjadi poros taman yang luas dan menjadikannya jalan masuk ke dalam taman dari ujung tembok paling selatan, di antara dua hutan kecil yang palungnya beralaskan batu, tepi-tepinya berubin warna-warni, undak-undak dari batu hitam yang pada bagian pinggiran dilapisi kuningan yang memungkinkan setiap orang dengan mudah mandi ke dalam sungai. Di tepi kanan Krueng Daroy, yaitu di sebelah timur, terdapat karang dengan ukuran besar bersudut delapan yang biasanya di atas karang itu raja sering duduk berteduh. Area taman Bustanussalatin menjadi tempat favorit bagi sang permaisuri Kamaliah untuk menghabiskan waktunya bersenang dengan sang raja atau dengan anggota kerajaan lainnya. Sebuah lirik lagu Krueng Daroy pernah dipopulerkan lagunya oleh Bung Rafly yang menarasikan keindahan Krueng Daroy pada masa Kerajaan Aceh. ”Pucok Krueng Daroy lam gle Mata Ie, ie jih ile u teungoh Banda, melikok-likok puta lam Taman Putro Phang, meualon-alon alang bak bineh meuligoe raja”.
Di dalam Taman Bustanussalatin yang luas itu, selain terdapat Gunongan dan Krueng Daroy yang mengalir di sebelahnya, terdapat pula pintu (gapura) yang dibuat dari batu, dinamai Pinto Khop. Di seberang Pinto Khop terletak sepetak sawah yang dinamai Radja Umong. Di sebelah timur Radja Umong terletak masjid yang dinamai Masjid Baitur-Rahim. Dalam Kitab Bustanussalatin disebut panjang taman kira-kira 1.000 depa atau 1,78 km yang di dalamnya terdapat bunga dan buah-buahan beraneka rupa serta sebuah kolam ikan. Taman yang luas terbentang di sebelah selatan bangunan istana, dikelilingi tembok batu yang dicat dengan kapur.
Saya yang sejak kecil tinggal di Banda Aceh sangat lekat pengalaman sewaktu masa sekolah dasar bermain kawan sebaya di Taman Putro Phang dan bercengkerama di pinggiran Krueng Daroy karena bertempat tinggal di Jalan Balai Kota waktu itu (sekarang Jalan Abu Lam U). Bila kembali kepada sejarahnya Krueng Daroy sejak dahulu dibuat selain untuk melintasi Taman Bustanussalatin juga mengalir melewati bagian tengah Istana Dalam, Darud Dunya hingga akhirnya ke hilir menuju Krueng Aceh. Tidaklah heran jika Krueng Daroy menjadi jalur transportasi utama dari dan ke luar istana dengan kapal dan perahu. Air Krueng Daroy sangat jernih kala itu sehingga siapa pun yang meminumnya akan sehat dan sembuh penyakitnya.
Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari nilai sejarahnya yang panjang Krueng Daroy sangat lama terabaikan pemeliharaannya. Kini Krueng Daroy baru saja mendapat perhatian dalam penataannya menjadi lebih indah, demikian pula fungsi Taman Putroe Phang telah digairahkan dengan aneka pergelaran seni setiap akhir pekan.
Pembangunan sekitar aliran sungainya telah diperindah dengan fasilitas jalan setapak yang asri bagi pedestrian dan ini program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) yang digagas Wali Kota Banda Aceh. Untuk mengangkat nilai historisnya, pemugaran Krueng Daroy sebaiknya menyelaraskan fungsinya menjadi satu bagian yang tak terpisahkan bersama Pinto Khop dan Gunongan yang kini telah ditetapkan sebagai cagar budaya agar generasi mendatang ikut melestarikan sejarah masa lalu Banda Aceh untuk kembali menjadi kota gemilang. (vinsa24@gmail.com)