Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki (2-Habis)
Di era teknologi digital saat ini, membawa perubahan cara produksi dan marketing usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk go digital sehingga tetap bisa eksis bahkan naik kelas merupakan keharusan. Namun, menurut Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki, mendorong pelaku UMKM untuk melakukan digitalisasi produk dalam negeri dan pemasarannya tidaklah mudah.
Hingga saat ini, baru ada 12 juta pelaku UMKM yang terhubung ke platform digital. Angka yang cukup melonjak dalam setahun terakhir akibat pandemi itu dinilainya masih relatif kecil jika dibanding total UMKM di Indonesia yang mencapai 64 juta unit.
Menurut Teten, lambatnya proses transformasi UMKM ke digital itu antara lain karena kalah bersaing dalam kualitas produk. Selain itu, soal literasi digital yaitu kemampuan UMKM untuk melek digital. Berikut lanjutan petikan wawancara eksklusif Tribunnetwork bersama Menkop dan UKM, Teten Masduki, yang dilakukan pada Jumat (5/3/2021).
Bagaimana perkembangan UMKM di daerah saat ini?
Saat ini, Bank Indonesia (BI) cabang daerah seperti DIY atau Jawa Tengah dan lain-lain banyak resources yang diarahkan untuk membantu para pelaku UMKM. Ini akan kita dorong agar terus kontinyu. Tak terkecuali, virtual-virtual expo di tengah pandemi yang digelar oleh daerah juga cukup efektif untuk meningkatkan penjualan produk-produk UMKM.
Sementara itu, kami di kementerian ikut mendukung dengan mempromosikannya secara online semua produk UMKM tersebut. Makanya, jika ada program-program dari daerah terkait UMKM, silakan kirim surat ke kami, nanti kami coba bantu. Kami ini kementerian mini, jadi program-program kami untuk pelatihan juga kami transfer ke daerah.
Bagaimana upaya untuk meningkatkan UMKM di daerah, misalnya industri rotan?
Suplai industri rotan saat ini tidak berjalan. Di petani itu ada 10.000 ton per hari, tapi yang diserap industri di Jawa, Cirebon, itu hanya 1.000 ton, sementara 9.000 ton lainnya itu catatan Bea Cukai, lagi teliti gimana. Melihat situasi ini, di daerah harus kita arahkan produksi UMKM yang bagaimana? Apakah UMKM di satu daerah itu fokus produk ke makanan dan minuman, kerajinan, atau apa?
Kita harus dorong mereka memilih UMKM prioritas di daerahnya masing-masing, yang tentu suplai bahan bakunya cukup. Termasuk rotan tadi. Rotan itu kalau digarap dengan baik bisa sampai ekspor.
Intinya, harus kita arahkan juga. UMKM itu tumbuh tanpa disaring. Tidak diterima jadi pegawai negeri, di sektor formal, lalu bikin usaha sendiri hanya sekadar untuk menghidupkan keluarga.
Secara nasional, apa potensi produk unggulan UMKM kita?
Yang banyak permintaan dan potensinya besar serta merupakan keunggulan domestik kita adalah kelautan, lebih fokusnya lagi rumput laut. Maka, ini mesti kita arahkan supaya UMKM dengan produk berpotensi tersebut naik kelas. Karena didukung oleh suplai bahan baku yang cukup serta permintaan yang besar, maka seharusnya mampu membuat UMKM tersebut naik kelas.
Berapa jumlah pelaku UMKM yang sudah terhubung ke platform digital?
Sekarang sudah ada 12 juta pelaku UMKM yang terhubung ke platform digital. Awal tahun lalu baru 8 juta, sekarang karena pandemi banyak UMKM beralih ke online. Ini memang masih relatif kecil kalau dibanding dengan total UMKM di Indonesia yang sebanyak 64 juta.
Sejauh ini, apa kendala proses digitalisasi UMKM ini?
Proses digitalisasi UMKM ini setidaknya ada 3 masalah utama. Pertama, banyak pelaku UMKM yang sudah on boarding di platform digital tidak bertahan lama karena kapasitas produksinya terbatas. Kedua, terkait dengan kualitas produk, karena di market place online juga banyak produk usaha besar yang bersaing. Ketiga, kebanyakan usaha mikro ada problem dengan literasi digital, yaitu kemampuan UMKM untuk melek digital, seperti mengoperasikan perangkat, platform digital, marketingnya, strateginya, kan berbeda.
Lalu, apa yang bisa ditempuh untuk mengatasi ini?
Memang tidak semua UMKM bisa berjualan di market online karena keterbatasan SDM. Sebab, di UMKM semua CEO, semua dikerjakan sendiri. Kalau dia harus juga melayani permintaan di online yang harus cepat, bisa-bisa urusan produksi ketinggalan. Untuk mengatasi ini bisa dikedepankan jagoan-jagoan jualan. Misalnya mahasiswa, pegawai swasta atau wartawan menjadi reseller untuk produk-produk UMKM. Seperti Cina juga, justru yang diperbanyak Alibaba itu jagoan-jagoan jualan, sementara UMKM terus fokus memproduksinya.
Dengan persaingan yang cukup ketat di e-commerce, apa yang bisa kita lakukan?
Ada perkembangan baru. Saya kemarin baru meeting dengan asosiasi digital market, asosiasi e-commerce. Sekarang itu ada kebutuhan platform digital di daerah. Jadi, sekarang ini, misalnya, orang daerah kalau mau jual dan beli harus ke platform unicorn, nasional. Padahal produk-produk groceries harus cepat sampai ke konsumen. Maka, justru pendekatan platform digital lokal ini akan memberi kesempatan untuk UMKM yang kapasitas produksinya sedikit itu dengan pasar yang lebih sempit. Mereka bisa bertahan di platform digital dengan platform digital lokal.
Sekarang kan muncul anak-anak muda bikin inisiatif-inisiatif, inovasi produk. Setidakanya ada 30 platform digital baru. Ada yang khusus untuk membantu pedagang warteg. Begitu juga ada tukang jahit tidak laku, lalu lahir platform jahitin. Terus yang bakul-bakul pada tidak laku di pasar, lahirlah platform titipku, misalnya. Nah, saya pikir ini tinggal dimanfaatkan. Daerah-daerah juga kita dorong platform punya daerah atau pun swasta setempat.
Jadi, ini langkah supaya UMKM makin banyak terhubung ke platform digital, tetapi tidak harus market place online unicorn, cukup yang kecil-kecil sesuai kapasitas produksi mereka dan cepat bisa dipenuhi ketika ada permintaan by online. (tribunnetwork/dennis destryawan/tis)