OLEH DRS. MUSTAFA A. GLANGGANG, Ketua Umum PSSB Bireuen dan Bupati Bireuen 2002-2007, melaporkan dari Bireuen
Stadion Cot Gapu Bireuen pernah jadi saksi bisu ketika Darurat Militer diberlakukan di Aceh. Saat itu, tahun 2003, sekitar 10.000 orang selama 45 hari berkumpul dalam status pengungsi di stadion yang kini bersebelahan dengan Kantor Pemerintahan Bireuen yang baru terbakar itu.
Jika hari ini eksistensi Stadion Cot Gapu Bireuen ikut terusik, bukan karena Persatuan Sepak Bola Seluruh Bireuen (PSSB) kini berada pada level Liga 3 Nusantara. Tapi karena, Pemkab Bireuen berencana membangun kawasan terbuka hijau (RTH) di lokasi Stadion Cot Gapu.
Hal ini, menurut Bupati Bireuen, Dr Muzakar A Gani, tujuannya sederhana. Yaitu, untuk memoles “Kota Seribu Kubah” ini agar terbebas dari kekumuhan, khususnya di pusat Kantor Pemerintahan Bireuen. Dengan demikian, Stadion Cot Gapu salah satu yang harus dibongkar.
Namun demikian, niat baik Muzakar A Gani yang juga mantan sekretaris umum PSSB ini ditentang kalangan mantan pemain, pengurus, dan pendukung PSSB. Akibatnya, pro dan kontranya menjadi viral di media dan di sejumlah warung kopi di Bireuen.
Bila dilihat dari segi keindahan Kantor Bupati Bireuen, justru kios-kios yang terbentang secara centang-perenang di sekeliling Stadion Cot Gapulah yang membuat kumuh. Kenapa bukan kios keripik pisang yang dibangun pada masa Nurdin Abdurrahman sebagai Bupati Bireuen itu yang digusur oleh Bupati Muzakar? Baru kemudian giliran Stadion Cot Gapu yang didahului dengan dialog bersama elemen pegiat olahraga, khususnya mereka yang merasa memiliki PSSB Bireuen.
Sebagai orang yang pernah membesarkan PSSB, tentu saja saya tak mungkin membiarkan Stadion Cot Gapu “dicabik-cabik” seperti nasib PSSB yang sempat vakum tujuh tahun lebih sebelum PSSI Aceh menunjuk dan menetapkan pengurus PSSB baru periode 2020-2025.
Stadion Cot Gapu menjadi saksi, setiap PSSB melayani tim tamu, stadion itu penuh sesak oleh penonton, mencapai 30.000 orang. Nah, begitulah sepintas peran Stadion Cot Gapu bila dikaitkan dengan peran PSSB dalam kenangan sejarah masa lalu untuk membawa harum nama Kabupaten Bireuen yang lahir tahun 1999, berpisah dari kabupaten induknya, Aceh Utara.
Begitupun, dalam reportase ini saya tak bermaksud mencari pembenaran terkait gagasan Pemkab Bireuen serta memberikan dukungan kepada masyarakat yang menolak pembongkaran stadion yang dibangun oleh Pemkab Aceh Utara pada awal tahun 1980-an itu.
Seperti yang saya sebutkan di atas, setelah para pengungsi pulang terkait Darurat Militer, kondisi Stadion Cot Gapu sangat memprihatinkan. Lapangannya sudah banyak lubang. Hal ini membuat pengurus PSSB dan Pemkab Bireuen menata kembali. Kala itu, awal tahun 2006 posisi PSSB sudah mendapat tiket promosi Divisi Utama Liga Nasional bersama klub Persija Jakarta, PSMS Medan, Persiraja Banda Aceh, dan beberapa klub elite lainnya di republik ini.
Begitupun, PSSI Pusat mengancam Pengurus PSSB dan Pemkab Bireuen hanya persoalan Stadion Cot Gapu yang dinilai tak layak untuk berlangsungnya lokasi laga Divisi Utama PSSI. Lalu diultimatum: bila ingin menjadi salah satu lokasi tuan rumah, maka Stadion Cot Gapu harus segera diperbaiki dan direhab. Atas kekompakan Pengurus PSSB dengan pemkab setempat, dalam jangka waktu tak sampai 100 hari, semua kekurangan dapat diatasi bahu-membahu. Tribun utama sebelumnya tak ada, walau bukan permanen, tapi dapat dibuat apa adanya. Kamar ganti untuk pemain, untuk juri, dan kamar toilet disulap seperti aslinya. Setiap tim tamu yang berlaga di lapangan Cot Gapu tak mengeluhkan lagi kekurangan fasilitas sesuai standar PSSI.
Melihat animo masyarakat begitu antusias pada setiap pertandingan di Stadion Cot Gapu, maka Pemkab Bireuen pun mewacanakan pemindahan Stadion Cot Gapu yang bersebelahan dengan kantor bupati dan kawasan pendidikan ke lokasi lain. Yaitu, ke Waduk/Paya Kareung yang letaknya sekitar 1 km dari lokasi Stadion Cot Gapu yang sekarang.
Rencana awal pembangunan Lapangan Paya Kareng adalah untuk lokasi arena MTQ Nasional Tingkat Provinsi Aceh di Bireuen tahun 2007. Pembangunannya dimulai dengan pembebasan tanah lokasi MTQ sejak 2005 sampai 2007. Diharapkan, selesai MTQ tahun 2007 lapangan di Paya Kareueng itu segera dipersiapkan sebagai lokasi stadion menggantikan Stadion Cot Gapu.
Ketika Bupati Bireuen dijabat Drs Nurdin Abdurrahman periode kedua (2007-2012) yang juga dipilih sebagai Ketua Umum PSSB, diharapkan dapat melanjutkan pembangunan Stadion Paya Kareung yang dirintis oleh pemerintah sebelumnya.
Mantan perunding GAM itu, walau hanya sebatas membenahi dan membangun pagar pengaman keliling dari besi seadanya untuk lapangan bola kaki sudah dimulainya. Sebaliknya, juga terjadi ketika pemerintahan dijabat duet Bupati Ruslan Daud-Mukhtar Abda (2012-2017). Di akhir kekuasaan mereka, justru dinas olahraga yang mengurus salah satu cabang bola kaki dibubarkan. Akibatnya, nasib Lapangan Paya Kareung makin tak jelas. Termasuk nasib PSSB terancam didegradasi ke Divisi 3 Liga Nusantara. Ketua Umum PSSB kala itu dijabat H Mukhlis AMd tak bisa berbuat banyak, karena kondisi internal PSSB bagaikan benang kusut, termasuk soal finansial yang berbias ke pengurus PSSB 2020-2025. Namun, Stadion Cot Gapu tetap dipertahankan pada era Ruslan Daud. Caranya, gedung DPRK dibangun di lahan bekas lapangan bola kaki milik tujuh desa Kemasjidan Cot Bada dan Cot Keumude, Peusangan. Andaikan dana pembebasan tanah yang direncanakan untuk membangun gedung DPRK dialihkan untuk kelanjutan pembangunan Stadion Paya Kareung, sedikit kelihatan progres pembangunannya.