BANDA ACEH - Koalisi Advokasi dan Pemantauan Hak Anak (KAPHA) mengungkapkan data yang mengerikan terkait perkembangan kasus kekerasan terhadap anak di Aceh.
"Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Aceh dalam tiga tahun terakhir terus mengalami peningkatan dan sudah sangat mengkhawatirkan," kata Direktur KAPHA, Taufik Riswan Aluebilie, kepada Serambi, Sabtu (2/10/2021).
Berdasarkan pendataan UPTD PPA Aceh, jelasnya, tercatat kasus kekerasan terhadap anak di Provinsi Aceh mencapai 1.802 kasus pada tahun 2018, 1.375 kasus pada tahun 2019 dan 1.044 kasus sampai dengan pertengahan 2020.
Tingginya kasus kekerasan terhadap Anak, menurut Taufik harus menjadi perhatian semua pihak, terutama pemerintah agar memberikan perhatian dan langkah-langkah perlindungan khusus.
Langkah-langkah antisipasi ini sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014. "Ada banyak faktor yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap anak. Selain kurangnya mendapatkan pengawasan dari kedua orang tuanya, keluarganya dan juga minimnya kesadaran masyarakat," ungkapnya.
Tak hanya itu, juga kurangnya peran sinergi kelaboratif pemerintah dalam upaya mencegah terjadi kekerasan seksual terhadap anak. Menurutnya SKPA dan SKPK masih berlajan sendiri-sendiri.
"Misalnya saja Dinas Kesehatan masih jalan sendiri, Dinas Sosial sendiri, dan Dinas Pendidikan sendiri. Belum bersinergi dalam menggerakkan program pencegahan dan perlindungan anak," kata dia.
Akibatnya ada kesan jika kerja perlindungan anak hanya dijalankan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, atau bidang yang memiliki urusan Perlindungan Anak.
Selain itu, minimnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi (sex education), serta dampak penggunaan teknologi yang tidak terdampingi oleh orang tua seperti memudahnya anak-anaknya mengakses film pornografi dan game online yang berkekerasan.
Disisi lain, tambah Taufik, minimnya efek jera dan kurang tegasnya ancaman hukum tindak pidana terhadap pelaku, tidak memberikan kesadaran publik dengan baik, apalagi mengesampingkan penerapan UU Perlindungan Anak di Aceh.
"Karena adanya pasal dalam Qanun Jinayah yang mengatur soal jarimah anak yang mengalami kekerasan seksual, hal ini memungkinkan pelaku bebas, dan hanya dikenakan cambuk, lalu bebas," ujar Taufik.
"Sementara dampak psikologis dan traumatik yang dialami korban belum tertangani secara komprehensif, apalagi bisa pulih," demikian Direktur KAPHA, Taufik Riswan Aluebilie.(mas)