"Kemasan emping melinjo ini untuk dikirim ke luar negeri yaitu Singapore dan Malaysia,"sebut M Dahlan bersama Hj Ismiati
Laporan Idris Ismail I Pidie
SERAMBINEWS.COM, SIGLI - Tugu raksasa 'Aneuk Mulieng' berdiri kokoh di Simpang Lampu Merah, Pidie. Pengerjaan tugu ini menelan anggaran sekira Rp 6,7 miliar menjadi icon gerbang masuk ke ibu kota Kabupaten Pidie.
Ada sekelumit cerita versi pedagang jejak adanya emping melinjo dikait-kaitnya dengan adanya tugu mulieng ini. Ini sebuah gambaran sejarah hingga menjadikan Pidie sebagai gudangnya penghasil kerupuk mulieng.
Meski usia telah sepuh, dua pedagang emping melinjo di pusat pasar Kota Beureunueun, Kecamatan Mutiara, Pidie, Hj Ismiati (68) dan M Dahlan SH (58) Asal Gampong Ukee Mali, Kecamatan Sakti, Pidie ini masih tetap eksis berdagang.
Ditemui Serambinews.com,, Senin (20/2/2023) dipusat pasar emping melinjo Kota Beureunueun, Kecamatan Mutiara, Pidie masih piawai dalam mengemas emping melinjo dalam kemasan plastik.
"Kemasan emping melinjo ini untuk dikirim ke luar negeri yaitu Singapore dan Malaysia,"sebut M Dahlan bersama Hj Ismiati membuka pembicaran dengan Serambinews.com, Senin (20/2/2023).
Lebih panjang, kedua pedagang emping melinjo ini mengatakannya bahwa asal sejarah Emping Melinjo berasal dari Dialek Bahasa Tionghoa Kota Mali.
Hal ini dengan dilatarbelakangi pusat Kota Mali, Kecamatan Sakti, Pidie memiliki kantor pemerintahan atau Ulee Balang diera 1938.
Pada umumnya warga Lamlo secara khusus memiliki usaha khsusus jadi penumpuk emping melinjo.
Hasil home industri ini diboyong untuk dipasarkan ke pusat Kota Sigli, Pidie selaku ibu kotanya Kabupaten Pidie saat ini dengan menggunakan transportasi kereta api dengan rute Kota Bakti (Lamlo)-Kota Sigli yang merupakan pusat pasar terbesar di Pidie pada masa penjajahan Belanda.
Kala itu dilakukan dari pagi hari hingga sore hari.
Selain itu juga, warga Kemukiman Mali menggunakan jasa transportasi tersebut menggunakan kareta api untuk mengangkut hasil home industri (emping melinjo) serta pertanian baik beras hasil tumbukan jeungki.
"Nah salah satu hsil produksi kaum ibu-ibu berupa emping melinjo dari Mali, Kecamatan Sakti tercium ketelinga warga Tionghoa di pusat Kota Sigli,"ujar M Dahlan SH.
Sehingga warga turunan China mempertanyakan asal usul Meulinjo. Mereka menunggu warga Mali yang membawa emping Meulinjo dipusat kota Sigli.
Karena penyebutan dialek bahasa China tak mampu menyebutkan Meulinjo dan menyebutkan Malinjo.
Sehingga menjadilah sebutan Malinjo ini menjadi ikon sebutanan nama Malinjo menjadi Meulinjo. 'Ini adalah dialek warga Tionghoa Kota Sigli.
Ini menjadi dasar sebutan Meilinjo dari pohon Meuling menajdi Meulinjo,"jelasnya.
Disebutkan juga, dierah 1965 sampai 1970 emping telah memiliki produk yang sama (emping melinjo) di kawasan kecamatan Mutiara terutama Beureu eh dan Adan.
Patut digarus bawahi juga bahwa usaha kerajinan emping melinjo memiliki jasa besar untuk menghidupkan biaya keluarga, menyelesaikan pendidikan anak.
Artinya, lewat palu, papan dan penyulik emping telah melahirkan ribuan sarjana warga Pidie.
Karenanya dengan hadir tugu Meulinjo di Simpang Empat Kota Sigli menjadi sebuah Rahmad dalam mengilhami ikonnya masyarakat Pidie dari sektor biji melinjo tersebut.
Persoalan mahalnya tugu bagi sebuah Marwah Daerah tidaklah menjadi persoalan. Sebab, harga diri itu jauh lebih mahal dari hitungan finansial.
Menurut M Dahlan, hanya saja pemerintah Kabupaten Pidie untuk melestarikan kembali tanaman melinjo lewat program reboisasi sebagaimana disaat pemerintahan Bupati Pidie, Ir Abdullah Yahya MS dengan program penanaman sejuta batang bibit Meuling .
'Ini yang harus digugah kembali oleh pemerintah untuk membumikan Tanan melinjo diberbagai pelosok gampong sebagai tanaman 'Pundi' penghasil uang dalam memakmurkan rakyat Pidie,"ungkapnya. (*)