Berita Banda Aceh

KUR Belum Sentuh Pedagang Kaki Lima, Perbankan Enggan Salurkan, Ini Kata Pakar Ekonomi Aceh

Penulis: M Nur Pakar
Editor: M Nur Pakar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pakar Ekonomi dan Politik Aceh, Dr Taufiq A Rahim

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dikucurkan pemerintah ternyata belum menyentuh usaha kecil, seperti pedagang kaki lima dan lainnya.

Pemerintah telah menargetkan penyaluran KUR 2023 dengan jumlah fantastis, sebesar Rp 460 triliun,

Angka nominal ini naik 23,3 persen dari tahun 2022, sebesar Rp 373 triliun.

Namun, untuk KUR Aceh 2023 melalui BSI mendapat plafon Rp 3 triliun dari pemerintah dengan harapan dapat meningkatkan perekonomian rakyat Aceh.

Untuk Provinsi Aceh, tentunya hanya dua bank beroperasi, Bank Aceh Syariah dan Bank Syariah Indonesia (BSI), sedangkan BTN Syariah hanya melayani KPR bersubsidi pemerintah.

Dengan bagi hasil atau bunga yang ditetapkan sangat rendah, tentunya sangat membantu pedagang kecil, tetapi ketidaklayakan menjadi hambatan mendapatkan kredit bersubsidi pemerintah itu.

Tentunya, dengan pinjaman maksimal sampai Rp 500 juta, maka hanya pengusaha menengah yang mampu menjangkaunya

Untuk pengusaha kecil, tentunya dengan pinjaman di bawah, minimal Rp 10 juta.

Kenaikan alokasi KUR ini, ternyata membuat jatah KUR perbankan tumbuh signifikan pada 2023.

Baca juga: Jokowi Kucurkan Rp 3 Triliun Kredit Usaha Rakyat BSI 2023 untuk Aceh

Namun, secara realistis tidak berdampak signifikan kepada rakyat kecil, kecuali pengusaha tertentu yang dianggap layak.

Penyaluran KUR tentunya berbeda dengan bantuan rumah layak huni dari pemerintah dengan penerima manfaat masyarakat kurang mampu.

Berkaca dari itu, pedagang kaki lima yang banyak mendapat bantuan rumah layak huni dengan kategori masyarakat kurang mampu menjadi barometer perbankan menyalurkan KUR dengan penilaian tidak layak.


Dr Taufiq A RahimSE MSi PhD, pakar ekonomi dan politik Aceh, Selasa (21/2/2023) menegaskan KUR saat ini sama sekali tidak mendukung stimulus makroekonomi terhadap pedagang kaki lima.

Termasuk pedagang pasar tradisional, sektor informal, rakyat kecil, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Bahkan, aktivitas produksi sektor basis dan primer, sama sekali tidak mendapat keringanan kredit dari pemerintah.

Dia menjelaskan dalam kehidupan realistik rakyat dengan kemampuan aktivitas ekonomi dan perdagangan pasar tradisional, dapat dinyatakan tidak ramah terhadap KUR.

Ditambahkan, konon pula jika berhubungan dengan lembaga perbankan sebagai penyalurnya.

Sehingga, katanya, sampai saat ini realitas di lapangan, di pasar, kampung-kampung demikian masif beredar usaha pinjaman yang dimainkan oleh rentenir, tengkulak, bank-47 dan berbagai lintah darat lainnya.

Baca juga: Dua Tahun BSI, Laba Tumbuh Impresif 40,68 Persen Capai Rp 4,26 Triliun

Taufiq mengatakan sebenarnya sangat sederhana, proses administrasi serta birokrasi dan surat menyurat di perbankan seharusnya tidak berbelit.

Dikatakan, dengan kondisi itu, maka rakyat dan pedagang kaki lima serta usaha sektor informal lainnya tidak susah memperoleh pinjaman di perbankan.

Sebaliknya, masyarakat kadang-kadang harus terlilit dengan suku bunga, transaksi hutang dan mencekik leher rakyat.

Dikatakan, ada konsekwensi yang harus ditanggung masyarakat, karena aset, rumah dan tanah disita para pelaku praktik rentenir, tengkulak serta lintah darat.

Bukan itu saja, katanya, terjadinya peningkatan pengangguran yang dibarengi kenaikan angka kemiskinan di Aceh.

"Sangat disayangkan saat ini, hampir di seluruh Aceh, rakyat sangat susah berkaitan dengan modal usaha," jelasnya.

Bahkan di desa-desa atau gampong, para kepala desa kewalahan pada saat tertentu, karena harus menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi masyarakatnya.

Padahal, pemengku kekuasaan di desa sangat terbatas untuk menyelesaikannya dan rakyat pasrah menjadi korban penghisap darah rakyat yang berusaha di sektor perdagangan tradisional.

Taufiq mengungkapkan para pemberi modal usaha kredit tersebut sangat banyak berkeliaran di pasar-pasar tradisional, desa dan hampir seluruh sektor ekonomi rakyat menawarkan jasa kredit.

Secara realistis, mereka ada di pasar tradisional dan rakyat sejak dini hari menawarkan modal usaha.

Sementara, perbankan masih tidak ramah dengan cara transaksi rakyat, juga terlalu berbelit-belit dalam administrasi, surat-menyurat, sehingga tidak segera mendapatkan modal usaha yang dibutuhkan segera.

Dikatakan ketidakramahan lembaga keuangan resmi semakin menjadi tidak menarik bagi bagi pegiat usaha kecil.

Disebutkan, perhitungan yang ketat dari lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank yang berkaitan dengan usaha kecil dinilai tidak efisien dalam biaya perhitungan laba-rugi.

Baca juga: Bank Aceh KPO Kembali Latih Pelaku UMKM, Kali Ini Peternak Kambing, Dari Teori Hingga Praktik

Hal itu berdasarkan “operational rational cost” yang akan mempengaruhi perhitungan laba-rugi atau “Benefit-Cost (B/C) Ratio Analysis”.

Makanya, katanya, lembaga keuangan resmi enggan mengurus ekonomi rakyat kecil, yang banyak tersebar sampai pelosok pedesaaan.

Taufiq menjelaskan perbankan melakukan perhitungan praktik mikroekonomi perputaran bisnis (Businees Cycle of Economic) menjadi tidak menguntungkan.

Konon pula, katanya, perbankan di Aceh sangat banyak masalahnya, baik manajemen, penguasaan pasar menjadi praktik “single banking.”

Ditambah lagi, tidak mendapatkan kepercayaan lagi dari rakyat Aceh, karena sama sekali tidak menjadi motor penggerak ataupun stimulus ekonomi.

Dia menjelaskan perbankan di Aceh hanya sebagai tempat simpan uang rakyat dan pegawai negeri sipil (PNS) atau karyawan.

Kemudian, transaksi uang elektronik dan menumpuknya uang proyek dan program Pemerintah Aceh saja.

Dengan kondisi itu, maka program KUR yang secara resmi diluncurkan oleh Presiden RI yang dianggap fenomenal serta fantastis, belum mampu membangkitkan pertumbuhan ekonomi Aceh, katanya.

Dia mengatakan hal yang sangat serius lagi, ekonomi rakyat kecil tidak bangkit di Aceh, karena transaksi jual-beli lemah serta lambat.

Taufiq mengaku telah melihat langsung kondisi pasar dengan pedagang yang mengeluhkan kondisi transaksi ekonomi saat ini.

Kondisi itu diperparah dengan sayur-mayur yang cepat rusak dan membusuk terbuang, karena daya beli masyarakat lemah dan uang yang beredar relatif rendah.

Dengan konsekwensi logis dan ekonomi, Pemerintah Aceh belum mampu mengatasi pengangguran dan tidak dapat mengentaskan kemiskinan.

Dia menyayangkan program KUR yang telah diluncurkan secara resmi, sama sekali belum menyentuh pedagang kaki lima dan ekonomi rakyat di seluruh Aceh.

Padahal, katanya, pelaku usaha kecil sangat membutuhkan modal untuk bangkit dari keterpurukan dampak Covid-19 yang masih terasa.

Dia menjelaskan Aceh masih sulit bangkit dari himpitan jumlah besar pengangguran serta juara miskin se-Sumatera.

Meskipun, katanya, di Aceh banyak uang dari anggaran belanja publik, APBA dan Otonomi Khusus (Otsus), tetapi belum mampu mensejahterahkan seluruh rakyat Aceh.(*)

Berita Terkini