Liputan Khusus

Masih Layakkah Rawa Tripa sebagai Habitat Orangutan?

Editor: Taufik Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Laporan Taufik | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM – Terlahir sebagai satwa yang tak bisa berenang namun hidup di hutan yang terkepung air. Bergerak lamban saat berjalan di tanah, sementara pepohonan tempat ia biasa bergelantungan menghilang dengan cepat. Sungguh ironis nasib Orangutan di hutan gambut Rawa Tripa. Hutannya dirampas oleh 'sepupu dekat' hingga mereka terancam punah di habitat alaminya.

Seorang mantan pencari rotan yang kemudian mendirikan lembaga peduli lingkungan di Nagan Raya, Suratman, dengan lugas mengatakan, “Sejak Rawa Tripa beralih menjadi kebun sawit, sejak itulah kawanan Orangutan di sini banyak yang mati. Mereka tidak bisa bermigrasi secara alami ke hutan di pegunungan, sebab kawasan ini terkurung air,” ungkap Suratman yang gundah dengan masa depan Orangutan di Rawa Tripa --sebuah lansekap hutan gambut di ujung barat Sumatera yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh. 

Suratman semakin miris saat ia mengetahui fakta, bahwa banyaknya Orangutan yang mati dalam 30 tahun terakhir, ternyata sulit tergantikan secara alami. Karena para betina hanya memiliki satu anak saja dalam setiap kelahiran yang dikandung selama 8-9 bulan. Sehingga tingkat penambahan individu Orangutan setiap tahunnya sangat rendah, yang membuat populasi mereka makin rentan.

Bahkan meski hanya 1 persen betina yang hilang setiap tahun dalam satu kawasan oleh berbagai penyebab yang tidak wajar, dapat menempatkan populasi pada lintasan yang tidak dapat diubah menuju kepunahan.

“Di Rawa Tripa, kasus kematian Orangutan bukan hanya disebabkan oleh tekanan akibat alihfungsi lahan, tapi juga karena mereka terisolasi, mereka kehilangan sumber makanan, mereka diburu, mereka ditembaki karena dianggap hama. Mungkin generasi mendatang tidak akan pernah lagi melihat Orangutan di Rawa Tripa ini,” tukas Suratman.

Tim mengevakuasi orangutan di Darul Makmur, Nagan Raya, Sabtu (25/9/2021). (Foto Kiriman Yulham)

Hutan Menjadi Kebun, Kebun Menjadi Neraka

Rawa Tripa adalah kawasan hutan hujan dataran rendah yang amat kaya dengan keanekaragaman hayati. Jaringan Masyarakat Gambut Aceh (JMGA) mencatat, luas kawasan Rawa Tripa mencapai 60.657,29 Hektare, yang membentang di Kabupaten Nagan Raya (37.287 Ha) hingga Aceh Barat Daya (25.941 Ha).

Berbagai tumbuhan khas hutan hujan tumbuh subur di sini. Seperti Pohon Ara (Ficus Sp), mangga, durian, cempedak dan banyak lagi pohon buah-buahan hutan yang menjadi sumber pakan alami satwa liar.

Masyarakat yang tinggal di sekitar Rawa Tripa pun hidup sejahtera dari menjual hasil hutan seperti madu, nira, rotan, umbi-umbian, pucuk pakis, udang, lokan, limbek (sejenis ikan lele), dan beragam hasil alam lainnya yang memiliki nilai ekonomis.

Satwa liar yang mendiami Rawa Tripa pun sangat beragam. Bahkan beberapa satwa liar yang jarang dijumpai di tempat lain seperti burung merak dan macan kumbang, ada di sini. Termasuk Orangutan Sumatra (Pongo abelii), primata langka yang sering disebut 'sepupu dekat' manusia karena 97 persen DNA-nya sama dengan homo sapiens.

“Di era 1980-an, hutan di Rawa Tripa masih sangat lebat, ada ribuan Orangutan hidup di sini, tapi sekarang hanya beberapa Orangutan yang tersisa,” kata Suratman, Ketua Lembaga Mulieng, yang di masa mudanya sering masuk-keluar hutan Rawa Tripa untuk mencari madu dan rotan.   

Menurutnya, kala itu, hanya segelintir warga yang berani masuk ke pedalaman hutan. Kebanyakan masyarakat hanya beraktivitas di pinggirannya saja. “Sebab, hutannya sangat lebat dan banyak sekali hewan liar. Sehingga masyarakat akan sangat resah jika selepas magrib masih ada warga yang belum kembali dari hutan,” ungkap Suratman untuk menggambarkan betapa lestarinya hutan di Rawa Tripa.

Tapi, itu dulu, sekitar empat puluh tahun yang lalu. “Sekarang hutan itu sudah menjadi neraka bagi satwa liar yang hidup di dalamnya,” timpal Indri, seorang pegiat lingkungan yang dijumpai Serambinews.com, ketika ia mendengar cerita nostalgia dari Suratman. 

Indri yang dalam 35 tahun terakhir terlibat aktif mencegah kerusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser, malah mengungkapkan bahwa laju kerusakan hutan di Rawa Tripa sangat massif. Bahkan bisa membuat kita takjub dengan kemampuan manusia dalam menghancurkan alam. “Ekosistem hutan yang terbentuk dalam waktu ribuan tahun, mampu dihancurkan manusia dalam waktu kurang dari 30 tahun,” kata Indri.

Keberadaan Orangutan di Rawa Tripa adalah bukti bahwa kawasan gambut Tripa terbentuk dalam waktu yang sangat lama. Juga dibuktikan dengan lapisan gambutnya yang tebal, bahkan ada yang mencapai 5 meter.

Kondisi kedalaman gambut di Rawa Tripa yang diukur oleh peneliti USK. (Dok JMGA)

Beberapa literatur yang bersumber dari catatan fosil para ahli, menyebutkan bahwa Orangutan berasal dari daratan Asia di suatu tempat di Pegunungan Himalaya (Hooyer 1948; von Koningswald, 1981 dalam Rijksen & Meijaard, 1999). Hingga akhir jaman Pleistosen (2 juta-10.000 tahun yang lalu), orangutan masih ditemukan di sebagian besar hutan dataran rendah Asia Tenggara seperti Vietnam Utara, Myanmar dan Indonesia.

Saat lapisan es yang menutupi bumi mulai mencair, koloni Orangutan terperangkap di beberapa pulau besar seperti Sumatera dan Kalimantan (Borneo). Orangutan Sumatra dan Orangutan Kalimantan ini pun terpisah secara geografis paling sedikit sejak 10.000 tahun yang lalu, saat terjadi kenaikan permukaan laut antara kedua pulau itu (Delgado& van Schaik, 2000, Groves, 2001, Zhang et al., 2001).

“Karena Orangutan adalah spesies payung (umbrella species) yang berperan penting dalam membangun dan menjaga ekosistem hutan dengan memencarkan biji-biji dari tumbuhan yang dikonsumsinya, maka bisa jadi ekosistem hutan di Rawa Tripa ini terbentuk seiring dengan adanya Orangutan yang mendiami kawasan itu sejak ribuan tahun lalu,” tukas Indri.

Sangat disayangkan, proses panjang terbentuknya ekosistem hutan di Rawa Tripa hancur seketika sejak masuknya industri perkebunan sawit di kawasan itu pada tahun 1994. Saat itu, ada lima perusahaan besar yang mendapat izin konsesi menggarap lahan di kawasan gambut Tripa. Yakni PT Agra Para Citra, PT Gelora Sawita Makmur, PT Patriot Guna Sakti Abadi II, PT Kallista Alam, dan PT Cemerlang Abadi yang masing-masing mendapat izin mengelola lahan seluas 5.000 hingga 14.000 hektare.

Saat izin HGU diberikan, sebagian besar lahan itu masih berupa hutan primer dan hutan sekunder. Sebagian lahan masuk dalam kawasan permukiman penduduk, sebagiannya lahan transmigrasi, dan sebagian lainnya adalah kebun warga yang kemudian diserobot oleh perusahaan perkebunan, sebab dianggap lahan tidur yang ditinggalkan warga saat konflik Aceh berkecamuk.

“Tahun 1998, saya masuk ke hutan Rawa Tripa untuk melakukan pemantauan. Saat itu aktivitas pembukaan lahan sudah berjalan, namun kondisi tutupan hutan masih baik, pepohonan besar masih banyak dengan tingkat kerapatan yang tinggi. Jumlah Orangutan di kawasan itu kami perkirakan mencapai 3.000 individu,” kata Indri.

Berselang 10 tahun kemudian, seiring dengan dimulainya program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) di tahun 2008, Indri kembali melakukan pemantauan di kawasan yang sama. Betapa terkejutnya ia saat melihat kondisi hutan yang dulu dilihatnya masih lebat, kini sudah rata sejauh mata memandang.

“Saat itu, kami mencatat ada 50 unit beko  yang beroperasi di kawasan Rawa Tripa, termasuk di Kuala Batee dan Babahrot (Abdya). Bahkan bagian rawa yang terendam air cukup dalam, mampu dikeringkan dan bisa ditanami  sawit,” ungkap Indri.

Ternyata pihak perusahaan perkebunan melihat lahan gambut sebagai lahan potensial yang sangat menguntungkan. Karena kawasan ini memiliki kelimpahan air dengan unsur hara yang tinggi. Mereka pun belajar dengan cepat bagaimana merekayasa lahan estuaria menjadi kebun sawit yang produktif.

Pengetahuan tentang teknik land clearing di lahan gambut pun mengalami kemajuan pesat. Cara-cara konvensional seperti melakukan penebangan menggunakan chainsaw dengan mempertimbangkan konservasi tanah dan air, mulai ditinggalkan.

Teknik pembersihan lahan pun beralih menggunakan metode Slash and Burn, dengan membuldozer seluruh vegetasi, mengeringkan lahan dengan cara mengalirkan air melalui kanal buatan, kemudian dibakar.

“Metode Slash and Burn ini mulai populer di Nagan Raya dan Abdya sejak tahun 2008, karena persentase areal yang dibersihkan akan lebih besar dengan biaya lebih murah daripada metode tanpa bakar. Jadi, tidak ada istilah lahan terbakar saat pengerjaan forest land clearing. Itu memang sengaja dibakar sesuai prosedur kerja slash and burn,” ungkap Indri.

Petugas menyiramkan air ke lahan gambut yang terbakar di Desa Gunong Reubo, Kecamatan Kuala, Nagan Raya, Selasa (8/2/2022). (DOK BPBD NAGAN RAYA)

Penggunaan teknik Slash and Burn memang menguntungkan perusahaan, namun sangat merusak lingkungan. Karena akan meningkatkan laju erosi, mengurangi infiltrasi air, menyebabkan rusak dan hilangnya mikrofauna dan mikroflora, merusak kondisi fisik dan kimia tanah, hilangnya fungsi penyerap karbon, dan menimbulkan polusi udara.

Pada lahan gambut, metode pembakaran seperti ini akan berdampak lebih parah, karena membuat hilangnya bahan organik pada tanah atau lantai hutan yang sudah terbentuk sejak ribuan bahkan jutaan tahun. Iklim mikro di hutan yang terbentuk dalam waktu lama dengan fluktuasi yang kecil, akan berubah secara drastis dengan fluktuasi yang besar, sehingga menimbulkan perubahan iklim lokal secara mendadak. Penglepasan karbondioksida dalam jumlah besar, akhirnya meningkatkan emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global.

Meski pemerintah sudah melarang tindakan pembakaran dalam kegiatan pembukaan lahan, metode Slash and Burn masih terus digunakan. Bahkan hingga tahun 2022, pembakaran lahan masih terus terjadi.

“Pembakaran di lahan gambut yang sudah dikeringkan airnya, sering kali tak mampu dikontrol hingga berakibat fatal. Malah pernah sampai membakar barak pekerja PT SPS II. Meski sudah ada perusahaan yang diproses hukum karena pembakaran lahan, tapi metode Slash and Burn masih dilakukan sampai sekarang,” ungkap Indri.

Kini, ribuan hektare hutan gambut di Rawa Tripa menghilang bersama ribuan satwa liar yang dulu pernah hidup di dalamnya. Tak ada lagi merak yang menari memikat pasangan, tak ada lagi macan kumbang yang tidur di dahan, tak ada lagi Orangutan yang bergelantungan. Rawa Tripa kini adalah barisan pohon sawit ‘bengkok’ karena dipaksa tumbuh di lahan gambut, yang selalu banjir saat hujan dan terus terbakar saat kemarau.

Hamparan kebun sawit di Rawa Tripa, Nagan Raya (ist)

Populasi Orangutan Rawa Tripa Diambang Kepunahan

Di tahun 1990, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mencatat ada 3.000 individu Orangutan yang hidup liar di hutan Rawa Tripa. Pada tahun 2012, jumlah Orangutan di kawasan itu berkurang drastis hingga tersisa 250-300 individu.

“Saat ini, kami memperkirakan jumlah Orangutan di Rawa Tripa tidak lebih dari 200 individu,” kata Panut Hadisiswoyo, dari Orangutan Information Center (OIC) yang dihubungi Serambinews.com, Jumat (10/3/2023).

Itu artinya, hanya dalam tiga dekade, jumlah Orangutan yang hilang dari kawasan itu mencapai 2.800 individu.

“Orangutan bukan satwa yang banyak diburu untuk diperdagangkan organ tubuhnya seperti harimau atau gajah. Bukan juga satwa liar yang dikonsumsi dagingnya seperti rusa atau kambing hutan. Juga bukan jenis hewan yang sering dipelihara untuk hobi atau status sosial seperti burung atau ikan hias. Jadi, tingkat perburuan Orangutan oleh manusia sebenarnya tidaklah tinggi. Mereka juga jauh dari jangkauan predator alami karena biasa beraktivitas di pepohonan yang tinggi dan jarang turun ke tanah. Karena itu, bisa dipastikan bahwa tingginya tingkat kematian Orangutan di Rawa Tripa disebabkan rusaknya habitat mereka dalam skala yang amat sangat parah,” kata Irwan, pegiat lingkungan di Nagan Raya yang mendedikasikan dirinya untuk penyelamatan Orangutan Rawa Tripa.

Meski sudah lama berkecimpung dalam dunia konservasi, namun ia mengaku baru beberapa tahun ini fokus pada upaya penyelamatan Orangutan. Dan untuk seseorang yang ‘baru’ sekalipun seperti Irwan, kematian satwa dilindungi yang mencapai ribuan dalam waktu 30 tahun tetap saja tidak masuk akal.

“Masyarakat internasional sudah berupaya melindungi Orangutan di Indonesia sejak 1931. Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) sejak 1978, dan Undang-Undang tentang Konservasi SDA dan Ekosistemnya sudah dibuat sejak 1990. Bagaimana bisa 2.800 Orangutan hilang dari habitatnya yang hanya seluas 60 ribu hektare?” tanya Irwan entah ke siapa.

Pada Februari 2023, Serambinews.com mencoba melihat langsung kondisi habitat Orangutan yang tersisa di Rawa Tripa. Lokasi yang dituju berada di Desa Gunung Samarinda, Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) yang berbatasan dengan Kabupaten Nagan Raya.

Lokasi ini dipilih secara acak, karena kebetulan ada warga mengaku pernah melihat Orangutan berkeliaran di kawasan itu dan sering melihat sarang Orangutan di sana, dan pastinya cukup jauh dari area perkebunan sawit.

Setelah mengisi perut yang kosong di Rumah Makan Adik Kakak di seberang SMPN 4 Babahrot, kami pun bergerak ke arah utara menggunakan sepeda motor menyusuri jalan tanah di antara kebun warga.

Setelah menempuh perjalanan selama 47 menit, kami berhenti dan mencari dataran yang lebih tinggi untuk mengamati lingkungan sekitar. Di sebelah timur, terlihat jelas kawasan hutan yang baru dibuka dan masih menyisakan bekas pembakaran. “Tidak mungkin ada Orangutan di sini,” kata Fikri, teman yang menjadi penunjuk jalan.

Kami pun mengambil langkah ke barat hingga bertemu aliran sungai Seumayam Cut, lalu menyusur ke hulu. Tak banyak pepohonan besar di sini, tapi terlihat ada beberapa pohon Ara (Ficus Sp) yang buahnya digemari Orangutan.

Setelah dua jam berjalan, kami melihat beberapa sarang Orangutan di pepohonan yang tingginya hanya 7-8 meter. Sarang itu tampak masih baru, dan ada yang berukuran kecil. Mungkin dibuat oleh anak Orangutan yang sedang belajar membuat sarang.

Membuat sarang adalah aktivitas harian Orangutan di alam liar, yang digunakan untuk istirahat siang dan tidur malam. Esoknya, mereka akan membuat sarang lain.

Sarang Orangutan yang ditemukan di Hutan Babahrot, kawasan Desa Gunung Samarinda, Abdya.

Biasanya, sarang Orangutan dibuat di kanopi pepohonan sehingga jauh dari jangkauan predator. Sarang itu dibuat dengan memelintir ranting-ranting lunak dan menutupinya dengan dedaunan hingga berbentuk bulat. Di dalam sarang itu akan ditumpuk ranting kering dan dedaunan sebagai tempat untuk duduk dan tidur.

Perilaku Orangutan hampir secara eksklusif arboreal, yang artinya hidup di antara pepohonan hutan. Betina hampir tidak pernah bepergian di tanah dan jantan dewasa pun jarang melakukannya. Itu sebabnya, sarang Orangutan hampir tidak pernah ditemukan di sekitar permukaan tanah.

Perilaku ini tidak hanya milik Orangutan Sumatra. Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) juga memiliki perilaku yang sama, meski kedua sub-spesies ini sudah terpisah sejak ribuan tahun lalu.

Saat ini, keberadaan kedua spesies Orangutan di alam liar sangat terancam dan rentan terhadap kepunahan. Pada tahun 2002, lembaga International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) menetapkan Orangutan Kalimantan berstatus “endangered” (genting). Sementara untuk Orangutan Sumatra yang kondisinya lebih kritis, IUCN memasukkannya dalam kategori “critical endangered” (kritis).

Setelah tiga jam menjelajah hutan Babahrot, perjalanan kami mencari keberadaan Orangutan pun terhenti oleh tatapan sinis dari seorang pendodos sawit yang menenteng senapan angin.

Dengan alasan sebentar lagi akan turun hujan, pekerja kebun yang mengaku berasal dari Nias itu pun ‘menggiring’ kami ke luar dari hutan sambil memamerkan senapan angin merk Night Furry di pundaknya.

Tidak ada bincang-bincang hangat di antara kami. Dan kami pun langsung pergi, bahkan berharap tidak bertemu Orangutan saat berjalan bersama orang yang membawa senapan angin pemburu kaliber 4.5 mm itu.

Translokasi Orangutan Solusi Terbaik?

Rabu 15 Maret 2023, satu induk Orangutan bersama anaknya dievakuasi dari kebun sawit di Babahrot, Abdya, oleh relawan organisasi lingkungan dan petugas BKSDA Aceh. “Mungkin ini Orangutan yang sarangnya pernah kita lihat dulu, Bang,” kata Fikri, teman yang menjadi penunjuk jalan saat Serambinews.com mencari keberadaan Orangutan di Hutan Babahrot, sebulan lalu.

Fikri mengaku lega, induk dan anak Orangutan itu diamankan sebelum ditembaki sampai mati, karena dianggap hama yang sering memakan pucuk sawit –-sebuah perubahan perilaku Orangutan yang biasanya memakan buah-buahan.

Di tahun 2022, ada 4 individu Orangutan dari Nagan Raya dan Abdya yang dievakuasi dari lokasi terkurung di antara kebun sawit dan rawa. Karena tidak ada koridor yang aman bagi mereka yang menghubungkan satu kawasan hutan di Rawa Tripa dengan hutan di bagian pegunungan. Bahkan sempadan sungai pun kini dipenuhi tanaman sawit.

Pada Agustus 2018, satu Orangutan berumur 30-35 tahun juga dievakuasi dari Desa Blang Me, Kecamatan Kuala Batee, Abdya, karena terjebak di kebun sawit setelah terdesak dari habitatnya yang sering terbakar di Rawa Tripa.

Dalam beberapa tahun terakhir, jika ada Orangutan yang ditemukan di Rawa Tripa dan sekitarnya, mereka akan diambil untuk dipindahkan ke Stasiun Reintroduksi Orangutan (SRO) di Jantho, Aceh Besar. Sejak tahun 2018 hingga 2023 saja, sudah 282 individu yang dipindahkan ke SRO Jantho untuk adaptasi dan kemudian dilepasliarkan di hutan Cagar Alam Jantho.

Pemindahan (translokasi) Orangutan yang terjebak di kebun sawit dan permukiman warga ke lokasi lain yang lebih aman, belakangan lebih sering dilakukan karena dianggap sebagai solusi terbaik yang bisa dilakukan saat ini, untuk menghindari kepunahan akibat mati tercebur di rawa, atau mati terkena jerat, atau mati tertembak senapan angin, atau bahkan mati terpanggang saat terjadi kebakaran hutan.

Dua Orangutan asal Rawa Tripa yang disita dari rumah mantan pejabat di Nagan Raya, mencoba beradaptasi di hutan Cagar Alam Jantho, Aceh Besar.

Peristiwa kematian Orangutan di Rawa Tripa sudah sering terjadi. Seperti pada tahun 2012, satu Orangutan dewasa ditemukan mati di kawasan Darul Makmur, Nagan Raya, dengan puluhan proyektil senapan angin di tubuhnya.

Ketua Lembaga Muling, Suratman, juga mengaku pernah menemukan tengkorak primata yang terpanggang di lokasi bekas kebakaran hutan di Nagan Raya pada 2013. Dia meyakini itu adalah tengkorak Orangutan. Namun untuk membuktikannya, harus melalui uji laboratorium yang tak mungkin dilakukan Suratman.

“Saya sudah menyampaikan informasi itu ke pihak berwenang, karena saya yakin itu tengkorak anak Orangutan yang mati terpanggang, bukan tengkorak monyet. Tengkorak itu kemudian diambil oleh petugas tapi kemudian tidak ada informasi lanjutan, apakah diperiksa di laboratorium atau dibawa kemana, saya tidak tau,” ujarnya.

Suratman menambahkan, banyak kasus kematian Orangutan di Nagan Raya dan Abdya. Namun jarang terekspose, bahkan terkesan sengaja disembunyikan. Sebab, selain akan berdampak hukum bagi sejumlah pihak, hal ini juga akan menjadi aib bagi instansi terkait. Karena akan sangat menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam hal penyelamatan satwa dilindungi. Bahkan bisa menuai kecaman dari lembaga donor internasional yang selama ini banyak membiayai kegiatan konservasi di Indonesia.

Jika melihat dari aspek ancaman yang tinggi dan dampaknya terhadap Orangutan Rawa Tripa yang kehilangan habitatnya, upaya translokasi ini bisa jadi merupakan solusi terbaik yang cukup realistis untuk dilakukan. Tapi, membiarkan seluruh Orangutan menghilang dari habitat aslinya di Rawa Tripa, mungkin akan menjadi preseden buruk bagi pemerintah dan instansi yang dibentuk untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Karena itu, Pemerintah melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh masih menaruh harapan agar populasi Orangutan di Rawa Tripa dapat dipertahankan, khususnya di area seluas 11.000 hektare yang berstatus lindung untuk ditetapkan sebagai hutan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value), dengan bergantung pada komitmen dari perusahaan-perusahaan pemegang konsesi di kawasan Rawa Tripa yang selama 30 tahun sudah terbiasa merusak hutan.

“Di areal yang ada saat ini, selain ada komitmen pemilik konsesi untuk ditetapkan sebagai areal bernilai konservasi tinggi, tetap dipertahankan terhubung dengan hutan lindung di sekitarnya yang diharapkan dapat dijadikan koridor bagi Orangutan untuk bergerak, tidak terisolir di satu lokasi. Kami mendorong penetapan areal bernilai konservasi tinggi, tapi saya belum tau apa saat ini sudah ditetapkan apa belum,” kata Kepala BKSDA Aceh, Gunawan Alza yang baru dilantik Jumat (17/2/2023) menggantikan Agus Arianto yang kini menjabat Kepala BKSDA DKI Jakarta.

Pernyataan yang terdengar lebih diplomatis disampaikan Irmayuni, staf BKSDA Aceh untuk bidang Pengendali Ekosistem Hutan, ketika Serambinews.com menanyakan kepadanya: apakah Rawa Tripa masih layak sebagai habitat Orangutan?

Irmayuni menjawab, “Sebenarnya masih layak jika tutupan sisa hutan tidak lagi dibuka, tapi dikelola sebagai HCV (High Conservation Value) khususnya yang berada di dalam area konsesi. Dan sisa hutan yang berada di luar area konsesi ditetapkan sebagai Kawasan Lindung Gambut. Untuk itu, diperlukan komitmen parapihak dalam kawasan untuk mewujudkan area bernilai konservasi tinggi. Diperkuat dengan pembangunan koridor hidupan liar yang menghubungkan sisa tutupan hutan tersebut ke kawasan yang tutupan hutannya lebih luas,” ujarnya.

Jika pertanyaan yang sama ditujukan kepada Anda, bagaimana jawaban Anda. Masih layakkah Rawa Tripa sebagai habitat Orangutan?(*)

Berita Terkini