CHAIRUL BARIAH, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) dan Anggota FAMe Chapter Bireuen, melaporkan dari Pante Gajah, Matangglumpang Dua, Bireuen
Ramadhan adalah bulan yang selalu dinanti oleh semua umat Islam di dunia. Pada bulan ini kita diajarkan untuk menahan lapar, rasa yang hampir selalu dilalui setiap hari oleh para fakir miskin. Mereka tak pernah bisa mengatur menu untuk makan pagi, siang, dan malam, mereka hanya bertanya “hari ini makan apa?” di dalam hatinya.
Perjuangan hidup harus mereka lalui dengan berbagai cara, maka saat inilah waktu yang tepat untuk saling berbagi dan mempererat tali silaturahmi dengan sesama.
Setiap orang diberikan kesempatan untuk berusaha memenuhi kebutuhannya sehari-hari dengan cara yang halal. Saat tiba bulan Ramadhan dapat kita lihat di beberapa tempat para pedagang musiman berlomba-lomba menawarkan makanan berbuka atau takjil dengan aneka ragam sajian, baik itu kue maupun minuman ringan.
Pedagang musiman adalah pedagang yang berjualan hanya pada waktu-watu tertentu saja, sedangkan pedagang tetap melakukan aktivitas berdagang/berjualan setiap saat untuk memenuhi permintaan pelanggannya.
Mengisi waktu menunggu berbuka puasa saya berkesempatan bertemu dengan seorang perempuan penjual kue. Dia bercerita tentang kisah hidupnya jatuh dan bangun untuk bertahan dalam pekerjaan yang ditekuninya.
Kegigihan untuk memenuhi kebutuhan hidup setelah ditinggalkan ayah tercinta dirasakan oleh salah satu dari sekian banyak orang yang berprofesi sebagai penjuan kue legendaris. Dia adalah Nurhayati, anak ketiga dari lima bersaudara, sering disapa dengan “Kak Tie”.
Lulusan SPG Bireuen tahun 1986 ini merupakan penduduk asli Pante Gajah, Kecamatan Peusangan. Dia telah lama menekuni pekerjaan sebagai pembuat dan penjual kue. Putri dari almarhum Abdul Gani dan Rusmi ini lebih kurang 20 tahun lalu memulai usahanya dengan membuat kue. Awalnya hanya berjualan di salah satu SD negeri di sisi jalan nasional Banda Aceh-Medan. Setiap hari pukul 06.30 dengan berjalan kaki ± 500 meter dari rumahnya dia berangkat menuju lokasi berjualan.
Sore itu dia bercerita bahwa setelah lulus SPG dia bekerja sebagai guru yang berstatus honorer di salah satu TK Krueng Mane, Kabupaten Aceh Utara. Namun, karena jaraknya jauh dari tempat tinggal dan karena alasan kesehatan yang tidak mendukung, dia terpaksa mengubur keinginannya menjadi guru.
Sejak remaja dia mengalami nyeri di kaki, terkadang tiba-tiba menyerang ketika sedang dalam perjalanan yang membuatnya harus duduk dan menangis untuk menahan sakit yang luar biasa.
Untuk kesembuhannya dia berusaha berobat alternatif dan medis. Waktu itu dia adalah pasien tetap Amren Rahim, dokter yang menjabat sebagai Kepala Puskesmas Peusangan pada saat konflik bersenjata di Aceh masih membara. Atas kerendahan hati dokter ini Kak Tie tidak pernah membayar jasa dokter. Sebaliknya, dokterlah yang memberinya ongkos pulang.
Setelah sakitnya berkurang, Kak Tie mulai menata kembali hidupknya dengan aktif berjualan. Bermodalkan bahan-bahan kue seadanya dia mulai meracik adonan kue sederhana, seperti pisang goreng, timphan baloen yang terbuat dari tepung terigu, tepung kanji, gula dan kelapa sebagai isinya.
Kue ini dikenal juga dengan sebutan kue dadar, karena pembuatan kulitnya harus didadar terlebih dahulu menggunakan wadah bulat datar. Sedangkan untuk isinya kelapa dan gula, caranya diaduk dan dikukus agar tidak cepat basi atau isinya dapat juga digantikan dengan serikaya dengan aneka rasa, seperti durian, pepaya, nangka, dan lain-lain.
Kue berikutnya yang berhasil dibuat oleh Kak Tie adalah bakwan, terbuat dari tepung terigu dicampur dengan wortel, kol, daun bawang, daun sop, cabai, dan beberapa bumbu untuk menciptakan rasa lezat serta enak di mulut.
Untuk menarik daya beli anak-anak di sekolah tempat Kak Tie berjualan, dia juga menjual mi goreng yang dibungkus dengan daun.