Opini

Mengapa Tgk Daud Beureueh Berontak Terhadap NKRI?

Editor: Ansari Hasyim
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan MCL MA

Oleh Dr Tgk Hasanuddin Yusuf Adan MCL MA, Dosen Fiqh Siyasah Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

MENGENANG 70 tahun perlawanan Aceh terhadap Indonesia dalam bingkai nasionalis Islam versus nasionalis sekuler yang dipimpin Tengku Muhammad Daud Beureueh versus Soekarno penulis ramu dalam tulisan ini sebagai upaya melawan lupa.

Sejarah telah mencatat bahwa tanggal 21 September 1953 Aceh bergolak dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Imam Besar Teungku Muhammad Dawud Beureueh.

Muncul banyak teka-teki penyebab terjadinya pemberontakan tersebut dalam kalangan masyarakat dari dahulu sampai sekarang ini.

Teungku Muhammad Daud Beureueh adalah mantan Gubernur Aceh dan pejuang kemerdekaan Indonesia. (WIKIPIDEA)

Ada yang beranggapan perlawanan yang mematikan dari Aceh untuk Indonesia itu terjadi karena ketidakadilan Indonesia terhadap Aceh sebagai daerah modal yang membebaskan Indonesia dari agresi kedua Belanda tahun 1948.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer XVI - Daud Beureueh: Kecewa dan Berontak

Ada pula yang menganggap itu terjadi karena perang ideologi Islam Aceh dengan ideologi ateis/komunis Indonesia, ada juga yang menyudutkan penyebab terjadinya gerakan tersebut kepada interes Teungku Muhammad Daud Beureueh sendiri.

Malah terakhir berembus satu video dalam aplikasi berkirim pesan whatsApp yang menyatakan terjadinya DI/TII Aceh karena Soekarno awalnya berjanji memberikan jabatan presiden kepada Teungku Muhammad Daud Beureueh tetapi kemudian tidak diberikan.

Makanya Teungku Muhammad Daud Beureueh berontak.
Tuduhan terakhir tadi sarat dengan nilai-nilai manipulatif yang mengarahkan kepada proses pembodohan anak bangsa karena tidak didasari oleh data-data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XV) - Daud Beureueh: Ulama, Mayor Jenderal, dan Gubernur Militer

Semoga dengan tulisan sederhana ini bangsa Islam di Aceh dapat membuat perbandingan; kenapa, apa sebabnya, bagaimana dan untuk apa terjadinya gerakan DI/TII Aceh tersebut.

Sejauh penelitian yang kami lakukan bertahun-tahun sampai hari ini, inilah beberapa penyebab kenapa semua itu terjadi: (1). Soekarno mengingkari janji dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh untuk menjalankan hukum Islam di Aceh khususnya dan dalam negara Indonesia yang ketika itu penduduknya melebihi 90 persen muslim.

(2). Soekarno tidak menepati janjinya dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh untuk menjadikan Aceh sebagai sebuah daerah otonomi yang memberlakukan hukum Islam secara penuh di dalamnya.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer XVI - Daud Beureueh: Medan Area, Pembentukan TNI, dan Daerah Modal

(3). Dengan terang-terangan Soekarno mendukung, membantu dan berpihak kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) serta menghina Islam.

(4). Mengenyampingkan syariat Islam dengan menjalankan sistem pemerintahan sekuler yang sangat dibenci Teungku Muhammad Daud Beureueh khususnya di Aceh.

(5). Mengacaubalaukan struktur pemerintahan di Aceh dengan memindahkan putra-putra terbaik Aceh keluar Aceh dan menggantikannya dengan orang-orang dari daerah lain yang sebagian mereka non muslim.

(6). Menurunkan pangkat dan jabatan Kolonel Husin Yusuf sebagai orang PUSA dari jabatannya sebagai panglima Divisi X menjadi Komandan Brigade dengan pangkat Letnan Kolonel pada pertengahan tahun 1950. Brigade ini kemudian diletakkan di bawah kekuasaan Panglima Bukit Barisan pimpinan Kawilarang. Seterusnya Husin Yusuf diberhentikan dari tugasnya.

(7). Pemindahan Ketua Polisi Aceh Muhammad Insya, dan Komisaris Muda Polisi, Yusuf Effendi ke Medan merupakan suatu tamparan hebat bagi Aceh.
(8). Pemindahan semua Batalyon tentara yang dipimpin putra Aceh keluar Aceh dan digantikannya oleh orang luar yang kebanyakannya bukan muslim, seperti pemindahan Mayor Hasballah Haji ke Tarutung, Tapanuli yang diganti oleh Letnan Kolonel Nazir (Komunis).

Batalyon T Manyak dipindahkan ke Jawa Barat, Batalyon Alamsyah ke Indonesia Timur, Batalyon Hasan Saleh ke Sulawesi Selatan kemudian ke Maluku Selatan, dan Batalyon Nyak Adam Kamil pun segera dihijrahkan dari bumi Aceh.

Sebagai penggantinya didatangkan sejumlah Batalyon dari Tapanuli seperti Batalyon Manaf Lubis, Batalyon Ulung Sitepu (Komunis), dan Batalyon Boyke Nainggolan.

Orang-orang Tapanuli ini bukan hanya beda agama dengan orang Aceh, akan tetapi cara kerja mereka pun sangat jauh daripada kebiasaan dan akhlak orang Aceh.

Mereka memasuki masjid dengan sepatu berlumpur, menampakkan kemaluan kepada orang perempuan, meminum arak di khalayak ramai. Kerja-kerja  seperti ini bukanlah kesilapan tentara, akan tetapi nampaknya seperti telah diprogramkan lebih awal oleh Komandan Brigade Letnan Kolonel Nazir yang sangat benci wujudnya pemerintahan PUSA (Ulama) di Aceh.

Dan usaha ini pula disengaja untuk memancing kemarahan bangsa Aceh.
Dengan demikian sudah ada alasan bagi Jakarta untuk menghancurkan Aceh dari sebuah provinsi yang islami dan menjadikannya sebuah provinsi sekuler sebagaimana halnya dengan provinsi-provinsi lain.

(9). Pembubaran Provinsi Aceh oleh Perdana Menteri Muhammad Nasir dari MASYUMI yang dibaca dan disiarkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Kutaraja pada tanggal 23 Januari 1951, menjadi sebab utama meletusnya peristiwa berdarah di Aceh.

Dalam versi Ibrahimy, Provinsi Aceh dibubarkan pada 14 Agustus 1950 oleh Kabinet Halim yang berkedudukan di Yogyakarta dengan Perpu No 5 tahun 1950 yang ditandatangani oleh pemangku jawatan Presiden RI Mr Assat dan Mendagri RI Mr Soesanto Tirtoprojo.

Di antara sekian penyebab meletusnya pemberontakan di Aceh, persoalan pembubaran provinsi ini menjadi penyebab utama dalam pandangan masyarakat kita.

Pembubaran provinsi ini lebih didominasi oleh kepentingan politik MASYUMI, dengan perkiraan kalau Aceh tetap menjadi satu provinsi maka partai Islam ini akan menang mutlak di Aceh dan kalah total di Sumatera Utara yang banyak orang Kristen. Untuk mempertahankan kemenangannya di Sumatera maka pimpinan-pimpinan partai tersebut berusaha keras menggabungkan Aceh dengan Sumatera Utara dengan menghilangkan status provinsi.

Untuk mengelak jangan cemar reputasi (nama baiknya), mereka beralasan bahwa ketentuan Konferensi Meja Bundar di Den Haag menetapkan Indonesia menjadi sepuluh provinsi saja, sebenarnya itu bukan suatu ketentuan mutlak.

Sesungguhnya sasaran dan target Teungku Muhammad Daud Beureueh dari pemberontakan tersebut adalah terwujudnya Daulah Islamiyah di bumi Aceh setelah melihat tidak mungkin untuk seluruh Indonesia.

(10). Suatu peristiwa yang sangat pahit dan pedih bagi bangsa Aceh di bawah pimpinan kaum ulama adalah, Razia Agustus 51 atau Razia Sukiman yang menginjak-injak kehormatan kaum ulama sekaligus bangsa Aceh yang dahulu pernah menjadi pionir (pelopor) kemerdekaan Republik Indonesia.

Razia ini diperintahkan Perdana Menteri Dr. Sukiman di seluruh negara untuk mencari sisa-sisa senjata simpanan anggota komunis. Di wilayah lain, perintah itu dilaksanakan dengan baik dan tepat, yaitu tentara-tentara nasional menyita sejumlah senjata yang disembunyikan bekas orang komunis.

Sebaliknya, di Aceh orang-orang komunis sendiri yang mencari-cari kesalahan dan menangkap para ulama PUSA serta menggeledah dan memeriksa rumah-rumah penduduk dengan alasan mencari senjata simpanan.

Menyebar peluru

Strategi yang diterapkan untuk dapat menangkap mereka, tentara-tentara Republik lebih dahulu menaburkan sejumlah peluru ke dalam kandang ayam, kambing, lembu atau kerbau orang yang mau ditangkap di malam hari.

Dengan demikian menjadi alasan yang cukup kuat untuk menangkap pemilik rumah yang mereka rencanakan karena terdapat sejumlah peluru di rumah mereka.
Hal ini dilakukan karena tidak ada jalan lain untuk menangkap mereka yang tidak bersalah, sebab semua senjata yang dimiliki bekas pejuang kemerdekaan di Aceh telah dikumpulkan oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh ke dalam wadah TNI ketika beliau menjadi Gubernur Militer untuk wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo.

Cara-cara jahat seperti itu terus dipraktikkan Jakarta terhadap Aceh terutama sekali dalam kasus Gerakan Aceh Merdeka ketika Jakarta memberlakukan Daerah Operasi Militer tahun 1989-1998 dan Darurat Militer serta Darurat Sipil tahun 2003-2005.
Banyak bekas-bekas pejuang kemerdekaan dan kaum ulama yang jelas tidak bersalah telah dipenjara di beberapa tempat, rumah-rumah mereka diperiksa secara kejam dan biadap. Bahkan ketiga rumah Teungku Muhammad Daud Beureueh pun diobrak-abrik (diperiksa) dengan cara yang sangat kasar.

Semua ini dilakukan oleh TNI atas perintah Nazir yang berusaha membalas dendam atas tahanan rumah yang dahulu dijatuhkan Gubernur Militer terhadapnya karena selalu melanggar perintah Komandan Divisi.

Kerja-kerja tersebut semakin berani dilakukan karena mendapat bantuan dan support yang sangat kuat dari pihak sisa-sisa feodal (Ulèèbalang) di Aceh.

Peristiwa terakhir ini telah menyempurnakan kemarahan orang Aceh yang telah mengorbankan jiwa raga, harta dan nyawa untuk mewujudkan sebuah republik yang ketika itu hampir mustahil terwujud tanpa adanya kerja keras dari cucu-cucu Sultan Iskandar Muda di ujung barat pulau Sumatera.
(11). Penarikan mobil dinas yang sedang dipakai Gubernur Aceh Teungku Muhammad Daud Beureueh secara kasar oleh Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim merupakan satu pukulan berat bagi Aceh dan masyarakatnya.

(12). Pidato Soekarno di kampus Universitas Indonesia Salemba dan di Amuntai Kalimantan Selatan sebagaimana yang ditulis Prof Dr Deliar Noer dalam bukunya: Partai Islam di Pentas Nasional, yang menyatakan: Tidak mungkin kita memberlakukan syariat Islam di belahan bumi Indonesia, bagaimana saudara kita yang Hindu di Bali, dan bagaimana pula saudara kita yang Kristen di Manado.

(13). Gerakan MANIPOLUSDEK dan NASAKOM yang dicetuskan Soekarno di kemudian hari menjadi bukti nyata kalau dia lebih menyatu dengan ideologi komunis dan jauh dari ideologi Islam. Dengan demikian pantas sudah gerakan perlawanan itu terjadi dari seorang ulama kharismatik yang kokoh ‘akidah Islamiahnya yang didukung 100 % oleh bangsanya yang sangat mencintai Islam yang bernama bangsa Islam Aceh.

Akibat dari perlakuan Jakarta terhadap Aceh seperti tersebut di ataslah membuat bangsa Aceh tidak dapat menahan emosi. Dan atas desakan rekan-rekan Teungku Muhammad Daud Beureueh terpaksa mematangkan suasana untuk menuju sebuah pemberontakan.

Perkara ini terlihat ketika beliau memimpin Kongres Alim Ulama seluruh Indonesia yang berlangsung pada 11-15 April 1953 di Medan, dan Kongres untuk menilai hasil Kongres Medan yang berlangsung pada 25 - 29 April 1953 di Langsa.
Setelah dua Kongres ini selesai, Teungku Muhammad Daud Beureueh yang biasanya didampingi Tgk Ismail Yakub dan orang-orang PUSA mengadakan tur (perjalanan) berdakwah keliling Aceh dalam rangka pematangan keadaan dan memberikan pengertian tentang negara Islam sebagai langkah awal menuju sebuah pemberontakan.

Ternyata usaha ini mendapat sambutan yang cukup serius dan meyakinkan dari masyarakat awam. Sumber-sumber kekuatan lama yang tampak kurang bergerak, seperti Pemuda PUSA dan PUSA sendiri kembali diaktifkan.

Organisasi-organisasi massa lainnya seperti Persatuan Bekas Pejuang Islam, Pandu Aceh dan Pandu Islam pun mulai diwujudkan dengan mengangkat AG Mutiara sebagai pemimpinnya.
Ketika suasana semakin hari semakin tidak menentu, banyak pegawai negeri di Aceh yang dahulu cinta pada republik, kini berbalik kepada membencikan republik.

Mustafa (Abdul Fattah) seorang utusan Karto Suwiryo (Pimpinan DI/TII pusat yang berkedudukan di Jawa Barat) datang membawa pesan imam mereka kepada Teungku Muhammad Daud Beureueh. Sebenarnya Mustafa telah mengintip jejak dan langkah Teungku Muhammad Daud Beureueh sejak Kongres Alim Ulama di Medan.

Kedatangan Mustafa ini menambah lagi keyakinan orang Aceh karena sudah ada kawan untuk bergerak.
Dalam kondisi seperti ini, rekan, sahabat dan murid-murid Teungku Daud Beureueh terus mendesak untuk memberontak.

Sebuah rapat yang diadakan oleh Ayah Gani, AR Hasjim, Tgk Abdul Wahab Seulimum dan Hasan Ali di Kutaraja memutuskan untuk berontak. Yang paling keras berpendapat demikian adalah Tgk AR Hasjim dan Tgk Hasan Ali Sementara ide tersebut berasal dari Tgk Abdul Wahab Seulimum sehingga tersebar berita yang mencetuskan gagasan pemberontakan melawan rezim Soekarno adalah beliau.

Akan tetapi beliau sendiri tidak sempat ikut memberontak karena telah berada di Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
Dalam Muktamar Alim Ulama di Medan, Mustafa Rasyid yang menyebut dirinya utusan Karto Suwiryo yang sedang berjihad di Jawa Barat berusaha keras untuk mempengaruhi peserta Muktamar supaya mengikuti Imam mereka.

Ajakan ini ternyata termakan bagi Teungku Muhammad Daud Beureueh, dan setelah Muktamar selesai Beliau membawa Mustafa ke Aceh untuk pembicaraan lebih lanjut. Setelah lebih kurang tiga bulan dia berada di Aceh, dia kembali ke Jawa dan tertangkap oleh Jaksa Tinggi Sunarjo di Jakarta. Bersamanya ditemukan surat pengangkatan Teungku Beureueh sebagai Gubernur Militer DI/TII oleh Karto Suwiryo untuk wilayah Aceh dan sekitarnya serta bocornya list hitam yang berisikan 300 orang Aceh yang akan ditangkap.

Jaksa Tinggi Sunarjo ketika berada di Aceh selalu mengemukakan perkara list hitam tersebut, ini diduga untuk menakut-nakuti orang Aceh supaya cepat memberontak dan ada alasan bagi Jakarta untuk membumihanguskan Aceh. Dengan demikian, orang-orang Aceh terus berkesimpulan; daripada didahului lebih baik mendahului.

Karena suasana semakin hari semakin panas di bumi Aceh ketika itu, Teungku Muhammad Daud Beureueh terus mendapat desakan untuk memulai dari rekan-rekannya. Maka pada tanggal 21 September 1953, sehari setelah presiden Soekarno membuka Pekan Olahraga Nasional (PON) di Medan, beliau resmi mengumumkan berdirinya Darul Islam di bumi Aceh dengan membaca sebuah naskah proklamasi dan keterangan politik serta mengumumkannya di Indrapuri Aceh Besar.

Maka meletuslah pemberontakan mahadahsyat tersebut yang bernama DI/TII Aceh yang kemudiannya dalam beberapa pertimbangan politik dan ideologi diganti dengan nama Negara Republik Islam Aceh (NRIA).(*)

Baca juga: Update Kilas Balik Harga Emas Minggu Ini 25 September - 1 Oktober 2023, Lengkap Harga Terendahnya

Baca juga: Sosok Nardinata Marshioni Suhaimi, Wanita jadi Suami Ida Susanti Selama 21 Tahun, Ancam Bunuh Korban

Berita Terkini