Kisah Nita Guru Aceh Utara, Rela Tahan Lapar dan Jauh-Jauh ke Jakarta Demi Perjuangkan Kuota PPPK

Penulis: Yeni Hardika
Editor: Muhammad Hadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Guru asal Aceh Nita Erna Ramisah (57) saat diwawancarai dalam aksi Forum Passing Grade (FPG) P3K Kemenag di gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (6/11/2023). (KOMPAS.com/XENA OLIVIA)

SERAMBINEWS.COM - Demi memperjuangkan haknya, seorang guru asal Aceh Utara rela jauh-jauh terbang ke Jakarta.

Ia rela menempuh jarak jauh dengan menggunakan uang pribadinya demi berkumpul dengan ratusan guru lainnya di Gedung DPR RI, Senin (6/11/2023).

Di tengah teriknya matahari di Ibu Kota, guru yang sudah berusia 57 tahun itu masih begitu semangat menatap gerbang gedung para perwakilan rakyat yang berlokasi di Senayan tersebut.

Matanya begitu menyala, meski wajahnya tampak lelah dan perutnya menahan lapar.

Namun semua itu tak menyurutkan semangat dan harapannya untuk mendapatkan haknya sebagai guru PPPK.

Sosok perempuan tangguh itu ialah Nita Erna Ramisah (57), guru Madrasah Tsanawiyah (MTs) asal Dewantara, Kabupaten Aceh Utara.

Dilansir dari Kompas.com, Nita merupakan satu dari tiga perwakilan guru asal Aceh yang hendak menuntut penambahan formasi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) bersama Forum Passing Grade (FPG) PPPK Kementerian Agama (Kemenag).

Baca juga: Kukuhkan 357 Guru Profesional PPG Kelompok 1 Tahun 2023, Rektor UIN Ar-Raniry Ingatkan Satu Hal

Ia berharap segera mendapat kuota untuk menjadi guru PPPK pada tahun ini.

Sebab, ia tak punya banyak waktu jelang masa pensiunnya tiga tahun mendatang.

“Saya mendapatkan nilai passing grade. Seharusnya saya (dianggap) lulus, tetapi saya tidak dapat penempatan.

Saya berharap, kami yang sudah lulus passing grade-nya ini mendapat kuota di tahun 2023,” kata Nita saat diwawancarai di depan Gedung DPR.

“Kalaupun itu tidak bisa ter-cover untuk saya, minimal berikan saya inpassing di akhir masa purnabakti saya. Tiga tahun lagi saya pensiun,” sambung dia.

Tahan lapar dan lelah dalam perjalanan ke Jakarta

Nita bersama anggota FPG PPPK Kemenag lainnya yang berasal dari Sabang sampai Merauke menggunakan anggaran pribadi untuk datang ke Jakarta.

Nita mengaku menggunakan berbagai cara untuk mencukupi kebutuhan biaya demi bisa terbang ke Ibu Kota.

“Saya datang kemari jauh-jauh dengan berbagai cara. Pinjam-meminjam, ada dapat donasi sedikit. Kami ingin memperjuangkan (hak) ke orangtua kami, DPR RI yang sudah kami pilih. Perwakilan kami. Baik dari Aceh maupun seluruh Indonesia,” tutur Nita.

Baca juga: Seleksi PPPK Lhoksseumawe, Sebagian Ikut Ujian Kompetensi di Medan dan Bengkulu

Ibu satu putri itu berangkat dari Aceh ke Bandara Kualanamu, Medan, Sumatera Utara, pada Kamis (2/11/2023) siang.

Perjalanannya menggunakan bus memakan waktu satu malam. 

Dari Bandara Kualanamu, Nita melanjutkan perjalanan menggunakan pesawat ke Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, pada Jumat (3/11/2023) pagi.

Ia menempuh perjalanan udara lebih dari dua jam menuju Bandara Soekarno-Hatta. “Hari Kamis itu saya masih mengajar delapan jam, pulang jam 13.00 WIB, langsung berangkat ke Kualanamu. Dari pagi saya belum makan,” kata Nita.

“Sampai di Bandara Soekarno-Hatta jam 09.00 WIB lebih, karena pesawatnya berangkat jam 06.45 WIB dari Kualanamu,” imbuh dia.

Nita terpaksa menahan lapar karena memiliki uang terbatas.

Ia dan teman-temannya hanya bisa menelan ludah melihat harga makanan restoran cepat saji di Bandara Soekarno-Hatta yang mencapai Rp 90.000 satu kotak.

“Karena enggak ada uang, kami enggak bisa makan di bandara. Kami duduk, (hanya) bawa air putih dan minum sambil menunggu jemputan,” tutur dia.

Baca juga: Jadwal Ujian Seleksi CASN PPPK Bireuen Tunggu Pengumuman Panselnas

Di Bandara Soekarno-Hatta, Nita dkk menunggu hingga enam jam demi menumpang taksi online dengan tarif lebih murah.

“Awalnya kami lihat Rp 260.0000. Lalu, kami akhirnya dapat yang Rp 162.000. Belum lagi bayar tol, bayar parkir mobil, sehingga ongkosnya jadi Rp 240.000 dari bandara ke Ciputat,” lanjut Nita.

Nita dan teman-temannya pun sampai di rumah kos sewaan putrinya di Ciputat, Tangerang Selatan, sekitar pukul 15.00 WIB.

Sambil tersenyum pasrah, Nita bercerita bahwa dia langsung memesan semangkuk mi ayam setelah tiba di rumah kos putrinya.

Ingin dapat “penghargaan”

Sebagai pendidik generasi muda, Nita berharap bisa mendapat penghargaan lebih dari pemerintah.

Hal yang ia maksud yakni pendidik bisa mendapat gaji lebih layak.

“Kami enggak muluk-muluk minta. Cuma sedikit penghargaan. Jangan lebih tinggi gaji office boy daripada kami pendidik. Tugas kami mencerdaskan anak bangsa. Dari dosen, guru, penyuluh agama, berbagai kalangan kami tak dapat satu penghargaan profesi,” ungkap Nita.

“Coba dibayangkan, masih ada teman-teman kami digaji Rp 240.000 satu bulan. Kami yang mendidik, kami yang mencerdaskan anak bangsa sampai jadi presiden. Itu karena ada gurunya, tidak mungkin mereka jadi sendiri, pintar tanpa kami,” lanjut dia.

Baca juga: Ratusan Tenaga Kesehatan di Aceh Utara Perebutkan 73 Formasi PPPK 

Saat ini, Nita sendiri mendapat gaji sekitar Rp 1,5 juta per bulan.

Itu pun masih di bawah upah minimum provinsi (UMP). Sebab, UMP Aceh berada di angka Rp 3,4 juta.

Nita berharap, para pendidik bisa mendapat gaji lebih layak melalui perjanjian PPPK.

Itulah sebabnya mereka menuntut penambahan kuota formasi tahun ini

Apalagi, mereka telah lulus passing grade pada ujian PPPK Kemenag tahun 2022.

“Kami tidak minta (jadi) PNS. Kami tahu usia kami mengabdi sudah lama. Usia kami sudah tidak mungkin jadi PNS. Kami hanya minta digaji sesuai dengan perjanjian PPPK,” ucap dia.

(Serambinews.com/Yeni Hardika)

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Kisah Guru MTs Asal Aceh, Tahan Lapar dan Lelah demi Perjuangkan Kuota PPPK Kemenag

BACA BERITA LAINNYA DI SINI

 

Berita Terkini