Pengungsi Rohingya

Mahasiswa Lempari Pengungsi Rohingya, HMI Banda Aceh: Tidak Cerminkan Kaum Terpelajar

Penulis: Sara Masroni
Editor: Taufik Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mahasiswa menggeruduk pengungsi Rohingya saat salat, melempari perempuan dan anak kecil di Balai Meuseuraya Aceh, Banda Aceh, Rabu (27/12/2023).

SERAMBINEWS.COM - Sekelompok mahasiswa melakukan kekerasan dengan menggeruduk pengungsi Rohingya saat salat dan melempari barang-barang ke arah perempuan dan anak kecil di Balai Meuseuraya Aceh (BMA), Banda Aceh, Rabu (27/12/2023).

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Banda Aceh menyayangkan sikap arogansi sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam payung BEM Nusantara itu.

Ketua Umum HMI Cabang Banda Aceh, Zuhal Rizki MF mengatakan, seyogyanya mereka sebagai salah satu elemen dari kaum intelektual yang kritis tidak menghilangkan rasa empati dan sisi kemanusiaannya.

Berbagai umpatan dan narasi hinaan dilontarkan oleh massa aksi kepada pengungsi tersebut, harusnya dipikirkan terlebih dahulu.

Baca juga: Serius Tampung Rohingya, Safaruddin YARA: Kebetulan Saya Punya Kebun di Lamteuba, Aceh Besar 12 Ha 

Baca juga: Kerap Ditanya soal Calon Istri dari Palestina-Suriah, Panglima Laot: Rohingya Belum Ada yang Tanya

Apalagi mereka juga menendang dan melempar barang-barang milik pengungsi tersebut. Hal ini para pendemo menurutnya seperti sekumpulan mamalia.

“Hal ini setidaknya menggambarkan massa aksi tersebut tak lebih dari kumpulan mamalia yang tidak memiliki rasio,” kata Zuhal dalam keterangannya yang diterima Serambinews.com, Kamis (28/12/2023).

 

 

Ketum HMI Banda Aceh itu mengatakan, kaum terdidik mesti paham terhadap tujuan pendidikan itu sendiri sebagaimana mengutip Tan Malaka "Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan".

“Namun apa yang terjadi, hari ini sama sekali tidak mencerminkan diri sebagai kaum terpelajar,” kata Zuhal.

Pendidikan itu menurutnya menghaluskan budi, tidak melahirkan keangkuhan karena merasa lebih tinggi dalam kehidupan sosial.

Tanggung jawab pendidikan dengan kata lain adalah memerdekakan jiwa dan pikiran pembelajar.

“Pramoedya Ananta Toer juga pernah berkata, seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan,” ucap Zuhal.

Baca juga: Mahasiswa Geruduk BMA saat Pengungsi Rohingya Lagi Shalat, Kini Semakin Anarkis: Diangkut Paksa

Selanjutnya, secara kelembagaan HMI Cabang Banda Aceh juga mendesak otoritas berwenang dalam lingkup nasional dalam hal ini Presiden Republik Indonesia dan Gubernur Aceh agar mengambil keputusan yang bijaksana dan solutif dalam koridor hukum Negara.

Hal ini merujuk pada pasal 3 UU Nomor 37 Tahun 1999 yang dijelaskan dalam pasal 3 Perpres 125 Tahun 2016.

Diketahui pengungsi Rohingnya mengalami penderitaan sosial oleh Junta Militer Myanmar dan human trafficking (perdagangan manusia).

“Jangan sampai mereka juga mengalami kekerasan yang dilakukan oleh kaum demagog berjubah almamater,” kata Zuhal.

Terakhir, pemerintah pusat dan daerah seyogyanya juga harus melahirkan kebijakan yang mampu menjawab persoalan sosial ini.

“Sehingga tidak akan melahirkan konflik horizontal di Aceh,” pungkasnya.

Ketua YARA Siap Tampung, Sediakan Lahan Sendiri di Lamteuba 

Di sisi lain, Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin SH MH menyampaikan keseriusannya menampung pengungsi Rohingya yang ada di Aceh.

Hal itu sebagaimana pernyataannya beberapa waktu lalu yang menegaskan siap menampung Rohingya di Aceh.

Awalnya, permasalahan tempat menjadi persoalan serius untuk menampung para pengungsi Rohingya yang terlunta-lunta usai ditolak warga di sejumlah daerah.

Pihaknya kemudian melakukan berkoordinasi dengan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) membicarakan persoalan tempat ini.

Setelah melakukan komunikasi, Ketua YARA itu menyampaikan kesiapannya menampung pengungsi Rohingya di lahan miliknya sendiri.

Lahan seluas 12 hektare milik Safaruddin itu terletak kawasan Lamteuba, Seulimeum, Aceh Besar.

"Kami berinisiatif, biar kami carikan tempat," kata Safaruddin dalam program Serambi Spotlight dipandu Jurnalis Serambi Indonesia, Firdha Ustin di Studio Serambinews.com, Rabu (27/12/2023).

"Kebetulan saya punya lahan kebun yang kosong, saya pikir pakai saja lahan saya itu," tambahnya.

Meski lahan milik sendiri, menurutnya tidak semudah membalikkan telapak tangan memindahkan pengungsi Rohingya ke sana.

Sebab diketahui berbagai tahapan dan aturan mesti dilalui.

Salah satunya dengan berkoordinasi sekaligus meminta izin pemerintah kabupaten/kota setempat.

Oleh sebab itu, Ketua YARA kemudian mengambil langkah dengan menyurati Pj Bupati Aceh Besar dan menyampaikan secara resmi inisiatif tersebut.

"Hari ini mungkin akan saya surati ke Pemerintah Aceh Besar, Pj bupati, supaya lahan itu bisa ditetapkan sebagai lokasi akomodasi sementara," kata Safaruddin.

"Dan itu tidak perlu sewa, tidak perlu bayar. Pemerintah hanya menetapkan saja, supaya ini bisa dijadikan tempat penampungan sementara, supaya mereka ada tempat," tambahnya.

Ketua YARA itu mengaku tidak tega melihat para pengungsi termasuk perempuan dan anak-anak terlunta-lunta dibawa tengah malam.

Mereka dikatakannya, hidup dalam ketidakpastian dan kerap hujan-hujanan diusir dari satu tempat ke tempat lain.

"Bayangkan kita di posisi itu, bagaimana perasaan kita," pungkasnya.

Menolong Pengungsi Diatur Secara Regulasi

Sebelumnya diberitakan, Ketua YARA, Safaruddin SH MH mengatakan, selain bagian dari kemanusiaan, menampung pengungsi Rohingya juga diatur secara regulasi.

Untuk itu, pihaknya menegaskan siap menampung pengungsi Rohingya dan segera membicarakan persoalan ini ke UNHCR.

"YARA siap tampung pengungsi Rohingya," kata Safaruddin dalam Rapat Koordinasi YARA se-Aceh yang dilaksanakan di Hotel Jeumpa Mannheim, Banda Aceh, Sabtu-Minggu (23-24/12/2023).

Aturan menolong pengungsi dijelaskannya, termuat berdasarkan Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951 dan Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2016.

Bila imigran mendapat hak dari negara di mana yang bersangkutan berasal, maka pengungsi ini tidak demikian.

"Karena pengungsi ini seperti warga dunia. Dan yang memberikan hak mereka adalah UNHCR," jelas Safaruddin.

"Sehingga status Rohingya itu pengungsi, tidak bisa ditolak," tambahnya.

Kemudian ketika dihadapkan dengan berbagai persoalan antara pengungsi Rohingya dan warga lokal, menurutnya hal tersebut tentu ada sebab akibat yang mengikutinya.

Dia mencontohkan terkait para pengungsi tersebut yang kerap BAB sembarangan dan meresahkan warga setempat.

Hal ini karena memang tidak adanya toilet yang disediakan kepada pengungsi Rohingya saat mereka mendarat atau bermukim sementara di sebuah wilayah.

"Kalau ada WC mana mungkin BAB sembarangan," kata Safaruddin.

Selanjutnya terkait beberapa pengungsi Rohingya yang tidak bisa membaca Al-Quran, menurutnya justru di sinilah kesempatan masyarakat Aceh jika ingin meraup pahala.

Caranya dengan mengajari mereka yang tidak cukup ilmu untuk mengaji dan tidak punya sekolah di tempat asalnya ini, agar belajar agama saat di Aceh.

"Kalau tidak bisa ngaji kita ajari," kata Safaruddin.

"Mereka kan cuma transit ke sini menuju negara tujuan. Karena dari kampungnya tak ada ilmu, ngaji tidak, sekolah pun tidak," tambahnya.

Dijelaskannya, para pengungsi Rohingya ini dianggap sebagai warga tidak memiliki negara sebab tidak diakui oleh bangsa asalnya.

Ketua YARA itu menegaskan, demi kemanusiaan siapapun wajib ditolong tanpa memandang suku, agama dan bangsa.

"Ketika membutuhkan, YARA siap hadir. Rohingya tidak ada yang tampung, kita siap bantu," kata Safaruddin.

Pihaknya juga akan membangun komunikasi dengan UNHCR terkait penanganan para pengungsi ini agar tidak terlunta-lunta lagi.

"Sayang kita lihat, sapi saja kalau sudah malam kita jemput dari hutan, ini malah manusia dengan kondisi seperti ini kita kasih ke hutan," pungkasnya.

(Serambinews.com/Sara Masroni)

BACA BERITA SERAMBI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Berita Terkini