Setiap daerah memiliki cerita legenda yang turun temurun. Seperti halnya dengan legenda wanita cantik Aceh Putroe Neng dan 99 suaminya yang meregang nyawa, menyisakan misteri.
Menurut cerita, Putroe Neng diduga memiliki ilmu sihir dan racun sehingga bisa membuat semua suaminya meregang nyawa. Uniknya, semua pria ini meninggal dengan cara yang sama yakni terkena racun di alat vitalnya.
Putroe Neng sendiri merupakan wanita berdarah Tiongkok. Ia memiliki nama asli Xiang Lian Khie.
Di usianya yang sangat belia, Putroe Neng menikah dengan Sultan Meurah Johan. Keduanya menikah pada abad ke-16.
Namun, kejadian nahas menimpa sang suami. Ia ditemukan tewas dengan bibir membiru usai melakukan hubungan intim suami istri di malam pertama.
Makam Putroe Neng sendiri berada di Desa Blang Pulo, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe.
Benarkah Kisah Putroe Neng?
Masih butuh banyak literasi sejarah mengungkap tabir penuh legenda ini. Apakah ini hanya sebuah dongeng (lagenda) atau memang kisah nyata?
Juga muncul pertanyaan, apakah suami pertama dari Putroe Neng yang disebut Sultan Meurah Johan itu adalah pendiri kerajaan Aceh di Gampong Pande.
Soalnya, dalam sejarah Kota Banda Aceh, disebutkan bahwa Sultan Meurah Johan adalah raja pertama Kerajaan Aceh yang memerintah dari tahun 601 H/1205 M sampai dengan tahun 631 H/1234 M. Beliau mangkat pada hari Kamis, 1 Rajab 631 H dan dimakamkan di Gle Weueng, Aceh Besar.
Fakta sejarah
Kisah di atas yang menyebut suami ke 100 Putro Neng, yang selamat dari racun, adalah Syeikh Syiah Hudam juga memiliki misteri. Faktanya, nama ulama tersebut merupakan pimpinan pasukan Kesultanan Peureulak yang membantu kerajaan Lamuri di bawah pimpinan seorang ulama Syekh Abdullah Kan’an yang bergelar Syiah Hudan (turunan Arab dari Kan’an).
Syekh Abdullah Kan’an adalah seorang ulama asal Kanaan, Palestina, yang mula-mula menyiarkan agama Islam ke Aceh Besar.
Menurut catatan wikipedia, ia datang ke Aceh Besar bersama Meurah Johan pada tahun 576 H/1180 M. Ia merupakan ahli pertanian yang pertama kali membawa bibit lada ke Aceh.
Namanya dalam masyarakat Aceh dikenal dengan Teungku Chik Lampeuneu’euen dan kampung yang didiaminya dinamakan dengan Lampeuneu’euen, berada Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar.
Dibutuhkan penelitian untuk mengungkap kisah ini agar suatu hari generasi kita tidak menyebut sejarah sebagai sebuah legenda.
Ini bisa saja terjadi karena kurangnya literasi yang kita tinggalkan dan justru dongeng akan dianggap sebagai fakta sejarah.